“Bagaimana jika cinta bukan dimulai dari perasaan, melainkan dari janji terakhir seorang yang sekarat?”
Risa tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah dengan kekasih sahabatnya sendiri—terlebih, di kamar rumah sakit, dalam suasana perpisahan yang sunyi dan menyakitkan. Tapi demi Kirana, satu-satunya sosok yang ia anggap kakak sekaligus rumah, Risa menerima takdir yang tak pernah ia rencanakan.
Aditya, pilot yang selalu teguh dan rasional, juga tak bisa menolak permintaan terakhir perempuan yang pernah ia cintai. Maka pernikahan itu terjadi, dibungkus air mata dan janji yang menggantung di antara duka dan masa depan yang tak pasti.
Kini, setelah Kirana pergi, Risa dan Aditya tinggal dalam satu atap. Namun, bukan cinta yang menghangatkan mereka—melainkan luka dan keraguan. Risa berusaha membuka hati, sementara Aditya justru membeku di balik bayang-bayang masa lalunya.
Mampukah dua hati yang dipaksa bersatu karena janji, menemukan makna cinta yang sebenarnya? Atau justr
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Pagi itu, aroma ayam bakar mulai memenuhi udara di sekitar kedai kecil Risa di depan rumah sakit.
Meskipun matanya masih sembab dan senyumnya belum selebar biasanya, Risa memutuskan untuk kembali membuka usahanya.
“Risa, kamu kuat ya,” ujar Bu Mien pelanggan setia yang datang bersama anaknya.
“Kami semua di sini mendoakan kamu.”
Risa mengangguk pelan, senyum tipis mengembang.
“Terima kasih, Bu... Saya cuma ingin tetap sibuk. Biar nggak terlalu banyak mikir.”
Satu per satu pelanggan berdatangan. Ada yang hanya membeli satu porsi, tapi semua membawa semangat dan doa.
Beberapa memberikan bunga kecil, bahkan ada anak kecil yang memberikan gambar ayam dengan tulisan:
“Semangat Kak Risa!”
Meski hatinya masih patah, perhatian kecil dari orang-orang itu menjadi obat pelan-pelan.
Risa tahu, hidup harus tetap berjalan. Dan mungkin, melalui ayam bakar dan sambal buatannya, ia bisa menyembuhkan sedikit demi sedikit lukanya.
"Aduhh…”
Risa mengerang pelan saat lengannya tanpa sengaja menyenggol sisi panas tungku pembakaran. Sakitnya menyengat, membuat tubuhnya refleks mundur.
Langkah kaki cepat mendekat.
“Risa!” suara Stefanus langsung terdengar panik. Ia baru saja datang dan langsung mendengar keluhan itu.
Stefanus berlari ke arah belakang kedai, melihat Risa memegangi lengannya dengan ekspresi menahan sakit.
“Lho, kenapa kamu?!” tanyanya cemas.
“Nggak sengaja nyenggol tungku, panas banget,” ujar Risa, mencoba tersenyum meski wajahnya sedikit pucat.
“Udah, sini. Ayo cepetan ke dalam, kita kasih salep dulu. Jangan keras kepala,” kata Stefanus sambil memegangi pergelangan tangannya dengan lembut, lalu menggiring Risa masuk.
Saat Stefanus mengoleskan salep di kulit Risa yang memerah, suasana hening sesaat.
“Kamu nggak bisa terus mikirin orang lain dan lupa jaga diri sendiri, Ris…” ucap Stefanus lirih.
Risa menunduk. Luka kecil itu terasa sepele, tapi perhatian Stefanus menyentuh hatinya lebih dari yang ia duga.
Risa menatap luka di lengannya yang kini sudah diberi salep. Sesaat ia terdiam, tapi hatinya terasa begitu sesak.
"Stef…" ucapnya pelan. Stefanus menoleh, menatap wajah Risa yang terlihat begitu serius.
"Sepertinya Mas Aditya masih hidup."
Stefanus mengerutkan dahi. "Ris, kamu…"
"Aku yakin itu," potong Risa, suaranya tegas meskipun pelan.
Matanya berkaca-kaca. "Aku nggak tahu kenapa, tapi ada sesuatu di dalam hatiku yang terus bilang kalau dia belum pergi. Aku bermimpi tentangnya… mimpi itu terasa nyata. Terlalu nyata."
Stefanus menunduk, mencoba menenangkan dirinya sebelum berbicara.
“Kalau kamu yakin… kita cari, Ris. Kita nggak akan berhenti sampai semuanya jelas.”
Risa terkejut, menatap Stefanus penuh haru.
“Kamu percaya?”
“Aku percaya kamu. Kalau kamu yakin… aku akan bantu kamu cari dia.”
Risa menggenggam tangan Stefanus erat. Dalam hatinya, secercah harapan mulai menyala kembali.
“Besok aku akan mengajukan cuti,” ucap Stefanus mantap.
“Aku akan bantu kamu ke London, kita cari informasi langsung tentang kecelakaan pesawat itu.”
Risa terdiam. Dadanya sesak oleh emosi yang berdesakan—antara haru, takut, dan harapan.
“Kamu serius, Stef?”
“Lebih dari serius,” jawab Stefanus, menatap mata Risa.
“Kita nggak bisa terus bergantung pada berita dari media atau maskapai. Kalau memang ada kemungkinan Aditya masih hidup, kita harus ke sana.”
Risa mengangguk pelan, air matanya menetes tanpa bisa ditahan.
“Terima kasih, Stef. Aku nggak tahu harus bagaimana tanpa kamu.”
Stefanus menghela napas dan mencoba tersenyum.
“Kita akan mulai dari bandara, rumah sakit, bahkan reruntuhan jika perlu. Kita cari tahu semuanya.”
Di dalam hatinya, Risa tahu… perjalanan ini bukan hanya tentang menemukan seseorang yang hilang, tapi juga tentang menemukan dirinya sendiri yang perlahan hancur oleh kehilangan.
****
Bandara pagi itu ramai. Risa menggenggam erat paspornya, sementara Stefanus sibuk mengurus boarding pass.
Di dadanya, jantung Risa berdebar kencang, seakan bisa melompat keluar kapan saja.
“Ini tiket kita,” ujar Stefanus, menyerahkan boarding pass pada Risa.
“Kita transit dulu di Doha sebelum lanjut ke London.”
Risa mengangguk pelan. Matanya menatap langit yang mulai cerah.
“Mas… tunggu aku,” bisiknya lirih, hampir tak terdengar.
Setelah melewati pemeriksaan imigrasi, mereka duduk di ruang tunggu. Stefanus memesan dua cangkir kopi.
“Kamu masih yakin mau melakukan ini?”
Risa menatap jauh ke landasan pacu. “Aku harus yakin. Aku merasa dia masih hidup. Aku mimpi dia beberapa kali. Dan… aku nggak bisa tenang sebelum aku lihat sendiri.”
Tak lama kemudian, pengumuman boarding menggema.
Risa menarik napas panjang dan menggenggam tangan Stefanus. “Ayo, Stef. Kita temukan dia.”
Dan langkah mereka pun dimulai—menuju negeri asing, mengurai misteri yang ditinggalkan angin langit, dan menguatkan hati yang hampir patah.
Hari itu dingin. Kabut tipis menggantung di sepanjang jalan desa-desa kecil di pinggiran London.
Mobil sewaan yang mereka gunakan menyusuri jalan sempit berbatu.
Risa duduk di kursi penumpang, matanya menatap jendela tanpa berkedip. Stefanus di belakang kemudi sesekali meliriknya.
“Kita sudah cek tiga rumah sakit dan dua pusat rehabilitasi,” ujar Stefanus pelan. “Tapi masih belum ada nama Aditya.”
Risa memejamkan matanya sejenak, lalu membuka ponselnya.
Ia menelusuri kembali foto seragam Aditya, tatapan matanya, senyumnya.
"Kita coba ke desa selanjutnya. Aku belum mau menyerah."
Beberapa jam kemudian, mereka sampai di desa kecil bernama Windmere.
Suasananya tenang, seperti tak tersentuh waktu. Ada satu klinik kecil di tepi jalan, tua tapi bersih.
Risa dan Stefanus masuk. Seorang perawat lansia menyambut mereka dengan senyum ramah.
“Ada yang bisa saya bantu?”
“Maaf, kami mencari seseorang. Seorang pria, kemungkinan besar korban kecelakaan pesawat beberapa minggu lalu. Tapi dia tidak ditemukan oleh pihak resmi,” jelas Stefanus.
Perawat itu tampak berpikir. “Oh… mungkin kalian harus bicara dengan Ibu Margareth. Dia tinggal di dekat hutan. Katanya dia menolong seorang pria yang terdampar dan terluka parah beberapa hari setelah kecelakaan itu…”
Risa langsung menatap Stefanus, matanya berkaca-kaca.
“Boleh kami ke sana sekarang?”
Perawat itu mengangguk. “Tentu. Tapi bersiaplah, kondisi pria itu cukup parah…”
Risa menatap jauh ke depan. “Tak apa. Selama dia masih hidup… aku akan menemuinya.”
Mobil yang mereka tumpangi kini bergetar keras melewati jalanan berbatu dan terjal menuju desa Windmere Valley, desa yang disebut-sebut paling terpencil di wilayah itu.
Kabut tebal mulai turun, menciptakan suasana yang seakan membawa mereka ke dimensi lain.
“Jalan ini... makin terjal,” gumam Stefanus sambil menurunkan gigi mobil.
Risa menggenggam erat pegangan pintu. Matanya tidak lepas dari jalan setapak yang hampir tak terlihat.
Pepohonan tinggi menjulang di kiri kanan, seolah menyembunyikan sesuatu.
“Kenapa justru aku merasa semakin dekat,” bisik Risa.
Setelah menempuh jalanan licin dan sempit hampir satu jam, akhirnya mereka sampai di sebuah rumah kayu tua yang tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan pinus.
Seorang wanita tua berdiri di teras rumahnya. Tatapannya tajam, tapi penuh kehangatan. Ia seperti telah menunggu.
“Kalian datang dari jauh...” ucapnya dalam bahasa Inggris dengan aksen lembut.
“Ibu Margareth?” tanya Stefanus.
Wanita itu mengangguk.
“Kami mendengar dari klinik... katanya Anda menolong seseorang.”
Wanita itu menatap Risa. “Pria dengan wajah rusak, tubuh penuh luka... dan mata yang memohon untuk tetap hidup?”
Risa tercekat. Air matanya jatuh tanpa diminta.
“Dia di dalam. Tapi... dia belum sadarkan diri.”
Risa melangkah maju, dadanya bergemuruh.
“Tolong... biarkan aku menemuinya.” ucap Risa yang memohon kepada Margareth.
tata bahasanya bagus, enak dibaca
moga happy ending