Balas dendam? Sudah pasti. Cinta? Tak seharusnya. Tapi apa yang akan kau lakukan… jika musuhmu memakaikanmu mahkota?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon karinabukankari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 11: Crown of Shadows and Fire
...“Some crowns are made of gold. ...
...Others, of grief and embers.”...
Matahari belum terbit ketika Seraphine dan rombongannya meninggalkan ruang rahasia di bawah istana. Angin pagi menusuk tulang, membawa bau debu dan bara yang tak pernah padam dari tanah Ravennor.
Flick, seperti biasa, yang paling keras bersuara. “Kita sedang menuju lokasi paling berbahaya dalam legenda, dengan dua anak buron kerajaan, satu pangeran nyaris pengkhianat, dan satu orang hebat tapi kelaparan—aku. Jadi, kalau ada yang bawa camilan, waktunya keluarin sekarang.”
Orin menyodorkan roti keras yang sudah disimpan di balik jubah. Flick menerimanya dengan rasa syukur, lalu bergumam, “Dingin. Kayak hati mantan pacarku.”
Seraphine tertawa kecil—untuk pertama kalinya sejak semuanya runtuh.
Tapi tawa itu lenyap begitu mereka menapaki jalan setapak menuju hutan gelap. Di luar gerbang istana, dunia berubah. Tidak ada lagi dinding batu atau karpet merah. Hanya pohon tinggi dan bayangan yang bergerak tanpa suara.
Caelum mendekati Seraphine. “Kau yakin ini jalannya?”
Seraphine mengangguk. “Menurut peta Ayah, kita harus mengikuti bintang keempat saat fajar dan melewati Hutan Arvas.”
Orin menambahkan, “Kalau kita terlambat, jalur cahaya akan tertutup. Dan setelah itu, kita terperangkap di dalam waktu.”
Flick menelan roti kerasnya. “Maaf… waktu? Ini jadi makin menyenangkan…”
Mereka menapaki tanah gelap, dikelilingi kabut yang tak pernah surut. Cahaya dari lentera sihir Orin satu-satunya penuntun mereka. Beberapa kali, suara desiran terdengar dari balik semak. Tapi tidak ada binatang. Tidak ada angin.
“Tanah ini dilindungi,” kata Caelum pelan. “Sihir tua yang bahkan istana tak berani sentuh.”
Seraphine mengangguk. “Karena di sinilah awal semuanya dimulai.”
Langkah mereka terhenti saat mencapai celah batu besar yang membentuk gerbang alami. Di sana, ukiran tua menyala merah—menandai batas antara dunia biasa dan yang terkutuk oleh sihir leluhur.
“Kalau kita masuk, tak ada jalan pulang,” ucap Orin.
Seraphine menatap mereka semua. “Kalau kita tidak masuk, Ravennor tetap jadi tanah para pembunuh dan pembohong.”
Flick mengangkat alis. “Yasudah, masuk aja. Tapi kalau nanti kita semua jadi kambing, jangan salahkan aku.”
Begitu mereka melewati gerbang batu, dunia berubah.
Langit mendung menjadi merah tua. Pohon tak berdaun memekik seperti daging yang tercabik. Tanahnya bergerak—seolah bernapas. Dan di tengah semua itu, berdiri reruntuhan kuil tua yang menyimpan Sumber Cahaya Pertama.
Namun, tidak kosong.
Menunggu mereka di altar, berdiri seorang wanita dengan jubah hitam dan mata putih tanpa pupil. Di belakangnya—makhluk-makhluk bayangan bergerak, bersenjata dan bertaring.
“Selamat datang, pewaris Ravennor,” suara wanita itu melengking. “Kalian terlambat.”
Orin mundur. “Siapa dia?”
Seraphine menjawab lirih. “Penjaga Cahaya. Atau… bekasnya. Dia sudah lama berubah jadi bayangan.”
Penjaga itu tersenyum tipis. “Jika kalian ingin kebenaran, maka kalian harus melewati Api Warisan. Siapa pun yang tidak layak… akan hangus.”
Caelum melangkah ke depan. “Dan kalau kami layak?”
“Salah satu dari kalian akan memakai mahkota yang telah hilang selama dua abad. Dan yang lain… harus memilih untuk melayani, atau mati.”
Flick mengangkat tangan. “Ada pilihan C: hidup bahagia sebagai tukang roti di desa kecil?”
Tak ada yang tertawa. Bayangan mulai bergerak. Tanah terbelah, membentuk lingkaran api yang menyala.
Penjaga menunjuk. “Masuk. Siapa pun yang pertama melewati, akan menunjukkan siapa yang benar-benar memiliki darah Cahaya.”
Seraphine menarik napas. Menatap Orin. Menatap Caelum. Lalu berjalan ke arah api.
“Aku tidak takut pada kebenaran,” katanya.
“Kalau begitu,” bisik Penjaga, “mari kita bakar semua kebohongan.”
Api menyambut Seraphine bukan dengan panas, melainkan kenangan. Ia melihat ibunya tersenyum di balkon. Ayahnya memeluk Orin. Dirinya sendiri di malam terakhir sebelum istana dihancurkan. Semua kenangan itu berubah—terbakar, diseret, dibalikkan oleh sihir.
“Siapa kau tanpa balas dendam, Seraphine?”
“Siapa kau… kalau cinta dan benci tak bisa dibedakan?”
Darah di tubuhnya membakar. Tapi ia terus berjalan.
Di luar, api menyalak tinggi. Orin menggenggam medali ayah mereka.
“Dia akan berhasil,” gumamnya.
Caelum menatap api, lalu berbisik, “Dan kalau tidak… maka aku akan masuk bersamanya.”
Flick, memeluk ransel kecil, berkata pelan, “Kalau kalian semua masuk, siapa yang akan bawa cemilan?”
Saat api mereda, Seraphine muncul kembali. Tak ada luka. Tapi matanya kini menyala dengan cahaya samar—bukan sihir hitam, tapi sihir darah sejati.
Penjaga itu berlutut. “Yang Terpilih telah kembali.”
Di belakangnya, mahkota hitam dan emas muncul dari udara, melayang pelan. Tapi saat hampir menyentuh Seraphine—bayangan lain muncul.
Suara berat dan dalam menggetarkan tanah.
“Kau pikir Ravennor akan jatuh tanpa perlawanan?”
Semua menoleh. Dari balik kegelapan, muncul Raja Aldric sendiri, dengan pasukan sihir dan mata merah menyala. Di tangannya—pedang darah yang hanya digunakan dalam peperangan kuno.
“Permainan kalian selesai,” kata Raja.
Dan dengan satu gerakan, langit terbakar.
...“A throne built on blood cannot ...
...stand without sacrifice.”...
Kilatan api menyambar dari langit ketika Raja Aldric turun dari bayangan bersama pasukannya. Tanah tempat mereka berdiri retak, udara bergetar oleh sihir kuno yang baru saja dibangkitkan. Seraphine menatapnya—bukan sebagai putrinya, tapi sebagai musuh.
“Menarik sekali,” suara Aldric menggelegar. “Kau kembali untuk mahkota? Untuk kehormatan? Atau hanya untuk mati seperti keluargamu?”
Seraphine melangkah maju. “Aku kembali untuk mengakhiri kediktatoranmu.”
“Dan menciptakan yang baru atas namamu?” Aldric menyeringai. “Kau tak berbeda dariku, Seraphine. Kau juga membunuh untuk bertahan hidup.”
Caelum berdiri di sampingnya. “Bedanya, dia tidak menikmati darah orang tak bersalah.”
Aldric menatap Caelum. “Dan kau… pengkhianat kecil. Kau akan menyesal telah berdiri di sisi musuh.”
Orin maju sambil menyalakan bola cahaya dari medali warisan ayahnya. “Bukan musuh. Keluarga.”
Flick hanya bergumam dari belakang, “Keluarga ini lebih dramatis dari opera kerajaan mana pun, sumpah…”
Aldric mengangkat tangannya. Dari belakang, pasukan bayangan muncul—makhluk tanpa wajah, tercipta dari sihir darah dan kebencian. Mereka berbaris, bersenjata, dan siap menyerang.
“Kau ingin takhta?” teriak Aldric. “Ambil! Tapi harus melewati tulang dan api!”
Pertempuran pecah.
Seraphine membentuk pelindung sihir berbentuk bunga mawar berapi, menahan semburan energi dari pasukan ayahnya. Orin mengendalikan cahaya seperti cambuk, memukul mundur makhluk-makhluk bayangan. Caelum, dengan mata yang kini menyala keperakan, menyerang langsung ke jantung pertempuran—menebas pasukan dengan sihir yang belum pernah dia kuasai sebelumnya.
“Siapa ngajarin kau sihir api?” tanya Orin sambil menghindar.
“Trauma masa kecil,” sahut Caelum. “Dan mungkin… cinta?”
Flick di sudut medan tempur sibuk melindungi artefak warisan dari dihancurkan. “Kalau ini pecah, semua kerja keras kita berubah jadi abu. Dan aku belum sempat ngeteh sore ini!”
Ledakan sihir mengguncang tanah. Seraphine bertemu pandang dengan Aldric di tengah medan. Mahkota melayang di antara mereka, berputar di udara, seolah belum memutuskan siapa pemilik sahnya.
“Kau tak sanggup melawan darahmu sendiri!” teriak Aldric, melepaskan sihir petir hitam ke arah putrinya.
Seraphine menahan sihir itu dengan perisai api, berteriak balik, “Justru karena aku tahu siapa aku, aku takkan menjadi sepertimu!”
Pertarungan berpindah ke altar kuil. Aldric dan Seraphine bertarung langsung—sihir bertemu sihir, darah bertemu darah. Setiap pukulan membawa kilasan masa lalu: Seraphine saat kecil, tertawa di pelukan ayahnya… kemudian adegan istana dibakar, suara ibu yang berteriak… semuanya kembali.
Seraphine jatuh tersungkur. Tangannya terbakar, matanya berkaca-kaca. Aldric berdiri di atasnya, mengangkat pedangnya.
“Kau terlalu lemah.”
Tapi sebelum tebasan itu turun, suara keras memecah udara.
“Jangan sentuh dia.”
Caelum berdiri di belakang Aldric, sihir di tangannya membentuk tombak cahaya gelap. Dengan satu lemparan, dia menancapkan tombak itu ke bahu Aldric, cukup untuk membuat sang raja tersentak mundur.
Seraphine berdiri perlahan. “Ayah… kau membunuh ibu. Kau menuduh kakakku. Kau memenjarakan adik-adikku.”
Aldric terguncang. “Semua itu… untuk menjaga takhta!”
“Tapi kau lupa,” Seraphine mendekat, sihir di tangannya menyala putih-emas. “Takhta tidak sebanding dengan kebenaran.”
Dia menyentuh dada Aldric—dan sihir murni dari darah Cahaya meledak keluar. Aldric menjerit, tubuhnya terangkat, sebelum akhirnya jatuh diam. Napas terakhirnya hanya gumaman: “Ravennor... hancur…”
Dan diamlah dunia.
Hening menyelimuti reruntuhan kuil. Pasukan bayangan menghilang, pecah menjadi debu. Langit kembali biru keperakan.
Mahkota kini jatuh ke tanah. Tidak ada api. Tidak ada sihir.
Seraphine menatapnya.
Orin berkata, “Mahkota itu hanya benda. Tapi siapa yang memakainya, menentukan masa depan Ravennor.”
Flick menambahkan, “Kalau kalian nanya pendapatku… mending dibuat pajangan di dapur. Biar gak ada yang bunuh-bunuhan lagi.”
Semua tertawa kecil—lelah, tapi hidup.
Seraphine memungut mahkota itu. Tapi bukan untuk dipakai.
“Aku tak akan mengenakan ini… belum,” katanya. “Kita semua harus membangun kerajaan ini bersama, dari awal. Bukan dari tulang dan darah.”
Caelum menggenggam tangannya. “Bersamamu.”
Mata Seraphine menatapnya. “Dan jika kau pernah mengkhianati kata-katamu…”
“Aku akan jadi pembuat roti bersama Flick,” jawab Caelum cepat.
Flick menyeringai. “Akhirnya! Bisnis keluarga!”
Hari itu, dunia berubah. Ravennor tidak lagi di bawah bayang-bayang raja gila. Tapi masa depan masih gelap. Karena meskipun Aldric telah jatuh, reruntuhan rahasia kerajaan tetap tersembunyi. Dan kekuatan yang lebih tua dari darah, lebih dalam dari sihir, mulai bangkit.
Namun untuk sementara, mereka beristirahat.
Dan untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Seraphine tidur… tanpa mimpi buruk.
...“Some thrones are not meant to be sat upon—...
...but to be sealed.”...
Tiga hari setelah kematian Raja Aldric, Ravennor seakan membeku dalam ketenangan yang rapuh. Istana dibersihkan dari simbol kekuasaan lama. Lukisan Aldric diturunkan, jubah darah dibakar, dan mahkota kerajaan—yang kini dijaga dalam kotak kaca—diletakkan bukan di atas takhta, melainkan di ruang netral, antara sayap timur dan barat istana.
Seraphine duduk di balkon ruang pribadi barunya, mengenakan jubah sederhana warna malam. “Lucu ya,” gumamnya, “setelah semua yang terjadi, yang tersulit ternyata... hidup.”
Caelum, yang tengah menyeduh teh—mencoba menjadi suami spiritual meski belum resmi—mengangkat alis. “Kalau itu sulit, coba duduk di ruang pertemuan seharian dengerin bangsawan debat soal warna tirai istana.”
“Aku dengar mereka ngotot warna ungu.” Seraphine menyeringai.
“Dan Flick bilang ungu itu warna janda jahat,” tambah Caelum. “Lalu dia mulai drama ala teater jalanan. Bangsawan itu trauma.”
Seraphine tertawa. “Kurasa Flick cocok jadi menteri hiburan.”
Tawa mereka terhenti saat pintu diketuk keras. Orin masuk, wajahnya pucat.
“Ada… sesuatu,” katanya. “Kalian harus lihat ini.”
Mereka mengikuti Orin ke dalam ruang bawah istana yang lama terkunci—arsip istana. Pintu-pintu besi tua dipaksa terbuka oleh sihir. Di dalamnya, debu berabad-abad menutupi rak-rak berisi naskah, surat, dan… peti besar bersegel.
“Apa ini?” tanya Caelum.
“Segel Raja pertama,” jawab Orin. “Peti ini... hanya bisa dibuka dengan darah tiga garis keturunan: Darah Cahaya, Darah Penjaga, dan Darah Mahkota.”
Mereka saling berpandangan. Seraphine, Orin, dan Caelum menyentuhkan tetes darah ke kunci sihir di tengah peti.
Klik.
Peti terbuka perlahan… dan di dalamnya:
— Sebuah tulang tengkorak manusia, dihias mahkota perak yang lebih tua dari zaman Aldric.
— Surat bersegel dengan lambang ular yang menelan matahari.
— Dan sebuah peta tua—dengan satu lokasi melingkar: “Hollow of the First Throne.”
Caelum membaca isi surat keras-keras.
“Jika kau menemukan ini, maka Ravennor belum bebas. Karena sang ‘Raja Gila’ bukan yang terakhir, hanya bayangan dari kegelapan yang lebih tua. Keturunan darah sejati akan bangkit kembali—dan dunia akan bersimpuh, atau terbakar.”
Seraphine menyipitkan mata. “Jadi… Aldric bukan awal? Tapi hasil dari sesuatu yang lebih besar?”
Orin menunjuk lambang di surat. “Lambang itu… pernah kupelajari. Itu lambang Sekte Maltherin. Kelompok penyihir kuno yang menyembah roh kegelapan sebelum Ravennor terbentuk.”
Caelum menggosok pelipisnya. “Kita baru aja selamat dari satu raja gila, dan sekarang ada organisasi pemuja iblis yang sedang bangkit?”
Seraphine mendekat ke peta. Matanya tajam. “Kalau ini benar… takhta sejati Ravennor tidak pernah di istana ini.”
Flick, yang tiba-tiba muncul entah dari mana sambil makan apel, bergumam, “Dan kita yang udah repot cat ulang temboknya. Kesel aku.”
Malamnya, Seraphine kembali duduk sendirian di kamarnya. Ia menatap cermin—dan untuk pertama kalinya, ia melihat bukan hanya dirinya. Tapi juga bayangan seorang wanita tua di balik pantulan. Bibir wanita itu bergerak… meski tak bersuara.
Seraphine mendekat. Wanita itu mengangkat tangan dan menunjuk ke arah... tengkuk Seraphine.
Tiba-tiba, terasa panas membakar di belakang lehernya. Saat ia menyibak rambut dan melihat ke cermin—muncul tanda baru. Seperti ukiran ular melingkar, membentuk angka ∞ kecil.
Dia terdiam.
Dan bisikan itu kembali, kali ini terdengar jelas:
“Blood shall return. The First Throne calls its true Queen.”
Keesokan harinya, Seraphine mengumpulkan Caelum, Orin, dan Flick.
“Kita harus ke Hollow of the First Throne,” katanya tenang. “Sebelum mereka membangunkannya.”
Caelum menghela napas. “Aku baru sempat ngasih kucing liar istana nama… dan sekarang kita ekspedisi ke situs peninggalan kultus iblis?”
Orin menatap serius. “Kalau mereka menghidupkan ‘takhta pertama’, Ravennor bukan satu-satunya yang akan hancur. Dunia ini bisa jatuh.”
Flick hanya mengangkat tangan. “Boleh gak kita bawa tukang masak istana? Aku trauma makan akar hutan.”
Semua tertawa kecil. Tapi tak satu pun dari mereka menyepelekan apa yang akan datang.
Karena di balik mahkota emas yang bersinar… tersembunyi mahkota kedua—terbuat dari tulang dan sihir lama—yang menunggu penguasa sejatinya.
Dan dunia belum siap untuk siapa yang akan bangkit.
Cobalah:
RA-VEN-NOR™
➤ Teruji bikin senyum-senyum sendiri
➤ Kaya akan plot twist & sihir kuno
➤ Mengandung Caelum, Ash, dan Orin dosis tinggi
PERINGATAN:
Tidak dianjurkan dibaca sambil di kelas, rapat, atau pas lagi galau.
Efek samping: jadi bucin karakter fiksi.
Konsumsi: TIAP JAM 11 SIANG.
Jangan overdosis.
Gemetar...
Tangan berkeringat...
Langit retak...
WiFi ilang...
Kulkas kosong...
Ash unfollow kamu di mimpi...
➤ Tiap hari. Jam 11.
Ini bukan sekadar Novel.
Ini adalah TAKDIR. 😭
Aku sudah capek ngingetin kamu terus.”
➤ Novel update jam 11.
➤ Kamu lupa lagi?
Baiklah.
Aku akan pensiun.
Aku akan buka usaha sablon kaus bertuliskan:
❝ Aku Telat Baca Novel ❞
#AyamMenyerah
“Kalau kamu baca jam 11, aku bakal bikinin kamu es krim rasa sihir.”
Caelum (panik):
“Update?! Sekarang?! Aku belum siap tampil—eh maksudku… BACA SEKARANG!”
Orin (pegangan pohon):
“Aku bisa melihat masa depan... dan kamu ketinggalan update. Ngeri ya?”
📅 Jam 11. Tiap hari.
Like kalau kamu tim baca sambil ketawa.
Komen kalau kamu tim “gue nyempil di kantor buat baca novel diem-diem”
Kamu bilang kamu fans Ravennor,
Tapi jam 11 kamu malah scroll TikTok.”
Jangan bikin aku bertanya-tanya,
Apakah kamu masih di pihakku…
Atau sudah berubah haluan.
➤ Novel update tiap hari.
➤ Jam 11.
Jangan salah pilih sisi.
– Orin
Tapi aku perhatikan siapa yang selalu datang jam 11… dan siapa yang tidak.”
Dunia ini penuh rahasia.
Kamu gak mau jadi satu-satunya yang ketinggalan, kan?
Jadi, kutunggu jam 11.
Di balik layar.
Di balik cerita.
– Orin.
Menarik.
Aku kira kamu pembaca yang cerdas.
Tapi ternyata...
➤ Baca tiap hari. Jam 11.
➤ Kalau enggak, ya udah. Tapi jangan salahin aku kalau kamu ketinggalan plot twist dan nangis di pojokan.
Aku sudah memperingatkanmu.
– Ash.
Untuk: Kamu, pembaca kesayanganku
"Hei…
Kamu masih di sana, kan?
Kalau kamu baca ini jam 11, berarti kamu masih inget aku…"
🕚 update tiap hari jam 11 siang!
Jangan telat… aku tunggu kamu di tiap halaman.
💙 – C.
Kucing kerajaan udah ngamuk karena kamu LUPA update!
🕚 JAM 11 ITU JAM UPDATE !
Bukan jam tidur siang
Bukan jam ngelamunin mantan
Bukan jam ngintip IG crush
Tapi... JAMNYA NGIKUTIN DRAMA DI RAVENNOR!
😾 Yang kelewat, bakal dicakar Seraphine pakai kata-kata tajam.
#Jam11JamSuci #JanganLupaUpdate
Itu jamnya:
✅ plot twist
✅ karakter ganteng
✅ baper kolektif
✅ kemungkinan besar ada adegan nyebelin tapi manis
Jangan lupa update TIAP HARI JAM 11 SIANG
📢 Yang gak baca… bakal disumpahin jadi tokoh figuran yang mati duluan.
Itu bukan jam makan, bukan jam rebahan...
Itu jam baca komik kesayangan KAMU!
Kalau kamu ngelewatin update:
💔 Caelum nangis.
😤 Seraphine ngambek.
😎 Ash: “Terserah.”
Jadi yuk… BACA. SEKARANG.
🔁 Share ke temanmu yang suka telat update!
#ReminderLucu #UpdateJam11
📆 Update : SETIAP HARI JAM 11 SIANG!
Siapa yang lupa...?
➤ Ditarik ke dunia paralel.
➤ Dikejar Orin sambil bawa kontrak nikah.
➤ Dijadikan tumbal sihir kuno oleh Ash.
➤ Dipelototin Seraphine 3x sehari.
Jadi... JANGAN LUPA BACA YAAA!
❤️ Like | 💬 Komen | 🔔 Follow
#TimGakMauKetinggalan
Komik kita akan UPDATE SETIAP HARI!
Jadi jangan lupa:
💥 Siapkan hati.
💥 Siapkan cemilan.
💥 Siapkan mental buat gregetan.
⏰ Jam tayang: jam 11.00 WIB
🧡 Yang lupa update, nanti ditembak cinta sama si Caelum.
➕ Jangan lupa:
❤️ Vote
💬 Komen
🔁 Share
🔔 Follow & nyalain notif biar gak ketinggalan~