Di malam pertunangannya, Sahira memergoki pria yang baru saja menyematkan cincin pada jari manisnya, sedang bercumbu dengan saudara angkatnya.
Melihat fakta menyakitkan itu, tak lantas membuat Sahira meneteskan airmata apalagi menyerang dua insan yang sedang bermesraan di area basement gedung perhotelan.
Sebaliknya, senyum culas tersungging dibibir nya. Ini adalah permulaan menuju pembalasan sesungguhnya yang telah ia rancang belasan tahun lamanya.
Sebenarnya apa yang terjadi? Benarkah sosok Sahira hanyalah wanita lugu, penakut, mudah ditipu, ditindas oleh keluarga angkatnya? Atau, sifatnya itu cuma kedok semata ...?
"Aku Bersumpah! Akan menuntut balas sampai mereka bersujud memohon ampun! Lebih memilih mati daripada hidup seperti di neraka!" ~ Sahira ~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ASA : 11
Mendapati anggukan persetujuan, ia menaikan kakinya ke atas ranjang, lalu setengah berbaring miring, menahan bobot tubuh menggunakan siku, menggelindingkan botol berisi air hangat ke tengah kasur.
Cup
Thariq mengecup lembut bibir Sahira, berhenti ingin memberikan wanitanya pilihan, menolak atau bersedia diteruskan. Kala tak mendapati raut enggan disorot mata polos itu, ia kembali menempelkan indera perasa mereka.
Awalnya hanya memagut, tetapi cuma bertahan sepersekian detik. Thariq seperti pria normal kebanyakan yang sulit menahan nafsu ketika bersentuhan dengan wanita yang namanya akhir-akhir ini selalu menari-nari didalam pikiran dan hatinya.
Ciuman lembut berubah menjadi menuntut, Sahira mengalungkan tangannya pada belakang leher Thariq. Ia pun ikut berpartisipasi, mengimbangi, membelai belakang telinga Thariq. Dapat dirasakan olehnya, sisi pahanya terasa ditempeli benda keras.
Ahhhh ....
Sahira sengaja mendesah agar Thariq semakin menggila.
Benar saja, pria itu menindih tubuh kurus Sahira, melupakan kalau tadi ia begitu khawatir.
“Bang … jangan!” Sahira menggeleng, tatapannya sayu.
Thariq menutup rapat matanya, mencoba meredam hasrat yang sudah sampai di ubun-ubun, lalu tersenyum masam.
“Maaf.” Ia tatap penuh sesal wajah mempesona itu, lalu mengecup lama keningnya. Tangannya menaikkan kembali tali bra yang tadi diturunkan dan menutup asal baju tidur berkancing.
“Saya ke kamar mandi dulu ya.” Pamitnya lembut, turun dari tempat tidur, berjalan cepat memasuki kamar mandi yang berada di dalam.
Sahira mengancingkan kemeja tidurnya, tersenyum culas, sorot matanya terlihat puas.
Lima belas menit kemudian, sosok tinggi tegap itu keluar dari kamar mandi. Rambutnya terlihat basah dan masih meneteskan air, badannya terbalut jubah berwarna putih yang sering dikenakan oleh Sahira.
Sahira tersenyum jenaka, sengaja memindai Thariq Alamsyah dari ujung rambut sampai kaki, berlama-lama menatap lekat diantara kedua paha. "Sayang sekali terbuang sia-sia ya Bang? Bisa jadi yang tadi itu calon Dokter atau Atlet."
"Sahirraa." Thariq menggeram, menekankan setiap huruf. Yang langsung dibalas tawa renyah nan merdu.
“Kalau sudah mengantuk, tidurlah. Perutnya masih sakit tidak? Atau mau saya kompres lagi?” tanyanya beruntun mengalihkan pembicaraan.
“Sudah lumayan enakan. Bang, duduk sini!” Sahira menepuk sisi kasur, mengarahkan Thariq agar duduk membelakanginya. Kemudian mengambil handuk kecil yang tadi sebagai lapis mengompres perutnya.
Desiran hangat itu menyelusup ke relung hati Thariq, ia menikmati kala rambutnya dikeringkan oleh wanita lemah lembut, penuh perhatian.
“Apa tak jadi masalah kalau malam ini Abang menginap di sini?” tanyanya sambil terus tangannya bekerja.
“Tidak apa-apa, jangan mencemaskan apapun. Saya ingin memastikan kau aman, nyaman, dan menemani malam sepi mu.” Ia raih kedua tangan Sahira hingga sisi wajah mereka menempel.
“Terima kasih, telah bersedia mengerti kegelisahan serta keinginan tersirat ku.”
Cup.
Sahira mengecup pipi kanan Thariq, menumpukan dagunya di bahu lebar si pria.
Sesaat Thariq termangu, lalu memeluk kedua lengan Hira yang terulur.
"Saya ke kamar sebelah ya? Takkan sanggup menahan bila kita satu ranjang," aku nya jujur.
"Kalau nanti perutku kram dan butuh dikompres lagi, bagaimana?" Ia tempelkan pipinya pada leher jenjang Thariq.
Mendengar nada manja itu, Thariq tak kuasa untuk menolak. Sebisa mungkin menahan gerak anggota badannya agar tidak kelepasan seperti tadi.
"Baiklah, saya akan menemanimu dengan tidur di sofa itu." Dagunya menunjuk sofa panjang yang diletakkan dekat jendela.
Begitulah mereka melewati malam panjang, terlebih untuk Thariq yang kesulitan terlelap. Sedangkan Sahira tertidur pulas.
.
.
Sementara itu.
Arimbi mengebut memacu kuda besinya, hatinya panas membara kala mendapati Thariq sama sekali tidak menjawab panggilannya, malah ponselnya dinonaktifkan.
“Brengsek! Sialan! Siapapun kau, akan ku habisi! Berani sekali mengusik apalagi berniat merebut suamiku. Hah!” Kedua tangannya sampai memutih mencengkram kemudi. Tujuannya cuma satu, mengadu kepada orang tuanya.
Tin!
Tin!
Sangat tidak sabaran, wanita yang dalam keadaan marah itu menekan klakson. Begitu pintu gerbang dibuka, ia melajukan mobil sambil membuka kaca jendela.
“Mengapa lama sekali membuka gerbang? Tidur kau ya? Dasar pemalas!” bentaknya.
“Maaf, Nona.” Sang penjaga rumah menunduk dalam.
Cuih.
Air ludah Arimbi tepat mengenai sepatu security bertubuh tegap. Lalu melajukan lagi mobilnya sampai di garasi terbuka.
“Kalau saja aku tak butuh uang, sudah ku tinggalkan pekerjaan sialan ini! Kalian para manusia berduit tapi kelakuan macam Binatang!” gerutunya seraya menatap penuh dendam sosok bergaun mini setengah paha yang sedang berjalan memasuki hunian besar.
***
“MAMA! PAPA!” Arimbi berteriak memanggil orang tuanya.
Tak berapa lama terdengar suara derap langkah tergesa-gesa.
“Ada apa, Rimbi? Mengapa tengah malam begini kau ke sini?” Widya menatap heran sang putri, dia baru saja tidur dan dikagetkan suara menggelegar.
Sigit Wiguna masih diam sambil mengamati.
“Thariq, dia mau menikah lagi! Aku tidak mau tahu, bagaimanapun caranya, rencana sialan itu harus digagalkan!” begitu emosi dia mengungkapkan, sampai urat lehernya menonjol.
Sigit dan juga Widya terpaku, mereka sangat terkejut.
“Kau tak lagi mengigau kan? Mana mungkin laki-laki dengan kehidupan lurus, tak pernah terlihat dekat apalagi terlibat dengan wanita lain itu mau menikah dua kali. Jangan bercanda, Arimbi!” hardik Sigit, masih diam di tempatnya samping undakan tangga.
Widya mengangguk, menyetujui analisa suaminya. Sosok menantunya tipe pria setia, tidak banyak gaya apalagi Casanova.
“AKU SERIUS!” Arimbi kembali berteriak.
“Bahkan kini dia sedang bersama Jalang nya! Tak lagi peduli padaku! Papa, cepat perintahkan para jongos mu untuk mencari tahu siapa Pelacur itu!” Tubuhnya luruh, ia menangis tergugu sambil menutup matanya.
"Coba ceritakan pelan-pelan, bagaimana bisa Thariq berbuat kejam seperti ini.” Widya menarik bahu putrinya, menuntun tubuh bergetar itu duduk di sofa.
“Siapa wanita murahan itu?” tanya Sigit Wiguna.
“Dia wanita yang dulu ditiduri oleh Thariq.”
“Astaga!” hampir bersamaan kedua orang tua Arimbi berucap, tercengang.
“Lantas, siapa yang lebih dulu menemukan atau ditemukan?”
Arimbi menatap papa nya dengan berlinang airmata, ia menggeleng, lalu menceritakan tentang percakapan di rumah ibu mertuanya.
Helaan napas terdengar nyaring nan berat, ini hal yang paling tak diinginkan oleh mereka.
“Kita tak bisa melarang Thariq. Dulu, demi membuat dia setuju menikahi mu. Kita dengan sadar mengiyakan permintaannya yang akan tetap bertanggung jawab terhadap wanita itu," kata Sigit, ekspresinya tidak berdaya.
"Namun, jangan cemas! Papa akan menyingkirkan dia sebelum menjadi duri dalam rumah tangga kalian!” Sigit berkata dengan nada rendah, seraya mengepalkan tangannya.
“Iya benar itu, Sayang. Mama yakin bila dia hanya menginginkan uang, tinggal kita sumpal mulutnya pakai rupiah lalu membuang jauh-jauh, kalau perlu mengirimnya ke neraka!” Widya mengelus lengan Arimbi.
Arimbi melepaskan pelukan ibunya, menatap bergantian kedua orang tuanya. “Kalian janji kan?”
“Ya, Papa janji! Yang harus kau lakukan tetap bersikap seperti biasanya, jangan berbuat ulah apalagi melampiaskan kekesalan mu kepada adik ataupun ibunya Thariq. Arimbi, dewasa lah! Berpikir dahulu sebelum bertindak! Suamimu itu bukan sosok yang bisa disetir, dia punya kuasa dan uang. Jelas kekayaannya jauh diatas kita!” Sigit memperingati sang putri yang memiliki sifat buruk, bila emosi suka berbuat semena-mena.
“Sekarang pergilah ke kamar mu! Nanti Mama temani tidur.” Ia hapus air mata di pipi mulus putrinya.
Arimbi menurut, ia melangkah lunglai menaiki tangga menuju lantai dua.
***
Sigit Wiguna memanggil sang asisten yang ikut tinggal di huniannya.
“Bergeraklah dalam senyap, jangan sampai ketahuan oleh Thariq. Bila Jalang itu tak bisa dibungkam, lenyapkan saja!” sorot matanya begitu tajam.
“Baik Tuan, malam ini juga kami mulai memburunya!”
.
.
Bersambung.
pertanyaan nyaa, apakah benar Thariq terpedaya bucin ama Hira atau pura2 terpedaya sambil mengikuti permainan Hira? 🥲
seseru itu pokoknya, g pengin berhenti baca cerita kak cublik.
sebelum baca kemaren tuh pengin numpuk bab biar banyak dulu, tapi apa lah daya g kuat penasaran akut. eh sekalinya dah baca di bikin greget terus selalu di gantung di setiap akhir bab😪😪
tanpa harus turun atau Keluar rumah untuk mencari sesuap nasi. cukup bernafas saja dengan nyaman
andai bisa seperti itu, kak cublik tolong Thariq jadi suami q🤣🤣🤣
hidup Torik... hiduppppp....