Di sebuah kota di negara maju, hiduplah seorang play boy stadium akhir yang menikahi empat wanita dalam kurun waktu satu tahun. Dalam hidupnya hanya ada slogan hidup empat sehat lima sempurna dan wanita.
Kebiasaan buruk ini justru mendapatkan dukungan penuh dari kedua orang tuanya dan keluar besarnya, hingga suatu saat ia berencana untuk menikahi seorang gadis barbar dari kota tetangga, kebiasaan buruknya itu pun mendapatkan banyak cekaman dari gadis tersebut.
Akankah gadis itu berhasil dinikahi oleh play boy tingkat dewa ini? Ayo.... baca kelanjutan ceritanya.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Askararia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13
Sepulang dari kafe Arda dan Andre pulang bersama sebab dari tempat itu arah rumah mereka memang berada di jalur yang sama, Arda terus tersenyum hingga Andre menatap dirinya aneh.
"Kau sebahagia itu? Kamu lupa untuk apa kamu datang ke kafe hari ini?" Tanya Andre pada Arda yang berkendara tempat di sampingnya.
Kedua motor yang melaju perlahan itu terus berjalan bersama hingga ke pertigaan jalan, Arda mengeluarkan secarik kertas dari dalam saku jaketnya, itu adalah kertas kecil yang berisi nomor telepon gadis yang ia temani duduk di kafe beberapa waktu lalu.
"Lalu bagaimana dengan Kiara? Kau mau Danu memacarinya?" Tanya Andre lagi.
"Kenapa kamu selalu membahas Kiara? Aku dan Kiara kan belum pernah memiliki hubungan apapun!"
"Justru itu, lagian kamu bilang cewek itu lebih tua tujuh tahun dari kita!"
"Nggak jadi masalah Andre, aku suka dia pada pandangan pertama!" Balas Arda tersenyum.
"Yasudah kalau gitu, aku lanjut jalan, kamu hati-hati!"
"Iya.... "
Arda kembali melanjutkan perjalanan pulang menjemput Ardi kerumah kucing milik Bu Nina, setibanya disana ia dan Ardi lekas berpamitan pada Bu Nina. Waktu melesat cepat dan kini semua orang sudah berkumpul dirumah, usai makan malam berakhir Nadia meminta semua orang untuk berkumpul diruang tengah.
"Ma, Pa... Nadia mau nge kost bulan ini, Nadia juga udah nyari tempat yang dekat sama kampus tapi nggak berisik, Nadia mau fokus belajar dan melanjutkan hobi Nadia!" Ucap Nadia membuka pembicaraan.
"Oke, tapi kenapa tiba-tiba?" Tanya Mario penasaran.
"Sebenarnya ini nggak tiba-tiba, Pa. Kalau Nadia nge kost kan Nadia bisa lebih banyak waktu buat belajar sama membuat kerajinan tangan, kalau dirumah Nadia jadi kurang fokus karena harus mengerjakan pekerjaan rumah, belum lagi harus bolak-balik ngantar pesanan, kan jauh Pa!"
Rina hanya mengangguk, ia paham kenapa Nadia memilih untuk tinggal sendiri di kost karena memang dirumah waktu gadis sulungnya itu terpotong banyak karenanya, lagipula menurutnya inilah waktu yang tepat agar kedua anak laki-lakinya bisa menggantikan kakak mereka dalam urusan pekerjaan rumah terutama Ardi yang suka sekali bermalas-malasan.
"Kapan?" Tanya Rina penasaran.
"Besok, Ma!" Jawab Nadia mantap.
"Iya, ngakpapa, Mama dukung apapun yang membuat kamu bahagia, tapi ingat.... kalau ada apa-apa langsung hubungi Mama sama Papa!" Ujar Rina menepuk pelan kaki Nadia.
Singkat cerita hari senin pun tiba, hari yang sangat membosankan bagi para anak sekolah seperti Arda dan Ardi karena banyak kegiatan yang harus mereka lakukan dihari senin, seperti hari ini, baru saja mereka bersiap untuk pergi ke sekolah namun Nadia sudah berpesan agar keduanya membantu Nadia mengantar barang-barangnya ke tempat tinggal barunya saat mereka pulang dari sekolahnya nanti.
"Jangan lama-lama pulangnya, Kakak buru-buru soalnya!"
"Iya.... bawel!" Ucap Ardi memanyunkan bibirnya.
Kedua saudara kembar itu serentak memakai sepatu mereka lalu berpamitan kepada mama dan kakaknya, mereka berangkat bersama Mario yang kebetulan merupakan guru disekolah mereka. Motor yang membawa ketiga orang itu sekaligus semakin menjauh meninggalkan rumah sementara Rina kembali masuk untuk merapikan piring bekas sarapan ketiganya.
"Ma, Nadia berangkat kekampus dulu yah!" Ucap Nadia berpamitan pada Rina.
"Iya..., hati-hati sama jangan lupa buat minta kotak makanan punya mama sama Harry yah, kemarin Mama ngasih makanan buat dia!" Ucap Rina dijawab anggukan oleh Nadia.
Saat gadis itu menginjakkan kaki ke halaman, ia baru mengingat kalau kemarin Harry datang ke rumahnya saat ia dan Austin hendak pergi ke rumah orangtua pacarnya itu, sambil menyalakan mesin motornya ia memukul kepalanya karena telah melupakan teman dekatnya itu.
"Kenapa dia nggak ngomong apa-apa sama aku?" Tanyanya pada dirinya sendiri.
Kendaraan roda dua miliknya kemudian melesat cepat keatas jalan raya yang mulai padat itu sebab anak sekolah, para buruh pabrik dan beberapa pekerja kantor memang berangkat pada jam-jam itu, Nadia menatap fokus kearah jalanan panjang didepannya sambil sesekali menguap karena masih mengantuk.
Setibanya dirumah kost milik Harry, ia berjalan menaiki tangga menuju lantai dua dan mengetuk rumah milik lelaki muda itu, lagi dan lagi ia mendengar suara seorang wanita yang ia temui dua hari lalu di kafe. Nadia mengurungkan niatnya yang ingin mengetuk kembali pintu itu, sambil berdiri di balik pintu ia mendengar percakapan dari balik sana yang mana terdengar suara teriakan Harry yang lamanya keras membentak wanita itu.
"TERUS KENAPA MAMA DATANG LAGI KESINI? KALAU MAU PERGI YA PERGI AJA, NGGAK USAH SOK PEDULI SAMA AKU!"
"Saya mau kamu tinggal di apartemen yang saya belikan beberapa bulan lalu, Harry. Setidaknya saya memberimu tempat tinggal, daripada tidak sama sekali!" Ucap Mayasari yang masih tenang menghadapi Harry yang terlihat marah.
"Aku nggak butuh tempat tinggal yang mewah, yang aku butuh itu peran kalian sebagai orang tua, itu saja.... "
"Saya tidak bisa memberikan itu, kalau kamu kamu bisa bergabung ke keluarga Bapak kamu, minta pertanggung jawabannya, jangan hanya mendesak saya. Saya sudah bilang sama kamu kalau saya tidak akan pernah membawa kamu ikut serta kedalam keluarga saya, suami saya akan menceraikan saya kalau dia tahu saya pernah punya anak dari lelaki miskin seperti Bapakmu. Kenapa kamu tidak paham juga?" Ucap Maya kembali.
Harry memenangi kepalanya, penampilannya yang berantakan membuat Maya semakin tidak suka untuk duduk berlama-lama disana, namun sebelum pergi Maya mengelilingi kamar kost itu, mulai dari tempat tidur dari kasur bisa yang mulai menyusut itu, kamar mandi dengan kloset jongkok dan dapur kecil yang tampak kosong itu. Jari telunjuk dan jempolnya meraih sebuah kotak makanan berwarna kuning diatas meja, beberapa udang dan kepiting pemberian Rina pada Harry kemarin masih tersisa disana, Maya menutup hidungnya sambil menaikkan sudut hidungnya saat mencium aroma dari makanan yang sudah bermalam tanpa kulkas itu.
"Sudah kuduga, kau sama seperti Papamu. Bagaimana bisa kamu hidup ditempat kumuh seperti ini? Lihat.... belakangnya... pasar? Ahhh astaga, lihat ini.... apa ini nasi semalam?" Maya terus mengomentari tempat itu, mulai dari pemandangan dari jendela kecil yang lansung mengarah pada pasar sederhana dibelakang sana hingga rice cooker kecil milik Harry yang menyimpan nasi kemarin.
"Sebaiknya hari ini kamu pindah ke apartment, apa kamu mengerti? Meski saya pindah ketempat yang jauh, saya akan tetap mengirimkan uang untukmu!"
"Aku tidak mau, bawa saja uangmu!"
"Jangan membantah, atau kamu tidak akan pernah bertemu dengan saya selamanya!" Bentak Maya membuat Harry kembali diam, di situasi seperti ini Harry hanya dapat diam, di satu sisi ia ingin sekali pindah ketempat yang dibelikan oleh ibunya untuknya, namun disisi lain ia berfikir kalau rumah itu pasti diberikan Maya hanya untuk menutupi rasa bersalahnya karena telah menelantarkannya.
"Jujur saja, Harry. Sebenarnya saya tidak sudi membiayai kamu, sedikitpun. Kamu dan Papamu merupakan kesialan bagi saya, sudah bertahun-tahun sejak saya berpisah darinya namun saya masih trauma karena perbuatannya, jika saja saya tidak hamil kamu, sudah lama saya hidup bahagia. Sementara sekarang, saya hidup dibebani rasa takut, belum lagi kamu yang selalu menghantui saya dengan meminta saya untuk membawamu tinggal dirumah saya. Kamu pikir saya hidup bersenang-senang disana? Hah? Tidak...., setiap detik.... setiap menit..... saya takut.... saya takut kapan keluarga saya tahu keberadaan mu..... saya menyesal Harry, saya sangat menyesal telah melahirkan mu, anak haram sepertimu seharusnya tidak lahir, Harry. Kamu hanya akan membuat saya menderita, jadi saya minta kamu ambil apartment ini karena itu kemauan Papamu dan jangan pernah muncul dihadapan saya lagi. Apa kamu mengerti?"
Brakkkk
"Ahhhkk!" Teriak Maya, sementara Harry segera berdiri dari tempat duduknya.
"Kamu lagi?" Ucap Maya geram saat melihat Nadia berdiri diambang pintu.
"Nadia.... kamu... kenapa..... "
Dengan terbata-bata Harry menatap Nadia dan Maya bergantian, ia begitu terkejut akan kehadiran gadis itu dirumah kostnya. Nadia menutup kembali pintu rumah kost milik Harry, ia menghela nafas panjang pelan, dengan tenang meletakkan tas dan buku ditangannya diatas meja.
"Kenapa? Kaget ngeliat saya disini?" Tanya Nadia menatap Maya tajam.
Harry semakin kebingungan, dengan kening berkerut ia menghampiri Nadia dan menarik tangannya namun Nadia segera menepisnya. Nadia dan Maya saling menatap tajam dengan jarak yang semakin tipis.
"Setidaknya jangan melontarkan kata-kata kasar padanya jika anda tidak ingin dia bergabung di keluarga baru anda. Anda mungkin bisa menjalani hidup seperti biasa setelah memaki-makinya, tapi bagaimana dengan dia? Mungkin akan terpuruk seumur hidupnya, mendengar kalimat menyakitkan itu dari mulut seorang wanita yang melahirkannya mungkin menjadi titik terendah dalam hidupnya. Dan lagi, hidup di apartment mewah tidak menjamin dia akan hidup bahagia!" Ucap Nadia pelan.
"Itu bukan urusanmu, lagipula kamu pikir kamu siapa mengomentari saya? Ini urusan saya dengan Harry, jadi sebaiknya kamu keluar dari sini, sekarang juga!"
"Saya pemilik kamar ini, kamar ini saya belikan untuk Harry. Saya rasa anda tidak pantas untuk mengusir saya!" Balas Nadia kembali, Maya menatap Harry kesal, selama ini ia memberikan uang secara diam-diam pada Harry dan itu selalu dalam jumlah besar yang mungkin cukup untuk membiayai hidup Harry selama tiga atau empat bulan.
Maya melangkah mendekati Harry, ia mengguncang tubuh lelaki itu.
"Benar apa kata gadis itu, Harry? Kenapa kamu bisa tinggal dirumah orang lain sementara saya sudah memberikan uang untuk tempat tinggal dan makan mu?" Tanya Maya serius.
Maya melepaskan kedua tangannya dari Harry, ia mengacak lemari kecil yang terbuat dari kayu disamping tempat tidur Harry, buku rekening dan juga sebuah kartu ATM didalamnya masih tersimpan rapi di sana, di laci kedua terdapat sebuah amplop berisi uang, dimana uang itu adalah uang pertama yang ia berikan pada Harry.
"Aku nggak mau memakai uang itu, selama ini aku hidup berkat bantuan orang-orang di sekitarku, aku lebih baik bekerja jadi kurir pengantar pesanan daripada hidup mewah dengan uang pemberianmu, karena aku tahu Mama tidak iklas memberikan uang itu padaku. Jadi bawa saja uangnya pergi jauh-jauh, sejauh Mama akan pergi!" Ujar Harry tanpa menatap Maya, ia segera meraih tangan Nadia lalu membawakan tas dan buku gadis itu.
"Tutup pintunya saat Mama pergi, aku tidak peduli lagi sama Mama, kalau mau pergi.... pergi saja...., anggap saja aku tidak ada, mewakili Papa, aku minta maaf karena Mama telah melahirkan anak haram sepertiku!" Ucapnya lagi.
Harry membawa serta Nadia menuruni anak tangga, ia duduk didepan menyetir motor gadis itu, begitu motor menyala Maya berjalan ke teras dan menatap kedua anak itu pergi dari sana, Maya menatap tajam pada Nadia yang mengacungkan jari tengahnya padanya juga lidahnya yang menjulur panjang seolah Nadia mengejek dan meremehkannya.
Maya memasang wajah datar, diraihnya ponselnya dari dalam sakunya dan menghubungi seseorang dibalik sana.
"Selidiki gadis itu, aku ingin tahu dia anak dari siapa dan bagaimana kehidupannya!" Titahnya pada sopirnya yang berdiri di pinggir jalan sembari memperhatikan kepergian Nadia dan Harry.