Warning!
Bagi yang berjantung lemah, tidak disarankan membaca buku penuh aksi laga dan baku tembak ini.
Sejak balapan berdarah itu, dunia mulai mengenal Aylin. Bukan sekadar pembalap jalanan berbakat, tapi sebagai keturunan intel legendaris yg pernah ditakuti di dunia terang & gelap. Lelaki yg menghilang membawa rahasia besar—formula dan bukti kejahatan yg diinginkan dua dunia sekaligus. Dan kini, hanya Aylin yg bisa membuka aksesnya.
Saat identitas Aylin terkuak, hidupnya berubah. Ia jadi target. Diburu oleh mereka yg ingin menguasai atau melenyapkannya. Dan di tengah badai itu, ia hanya bisa bergantung pada satu orang—suaminya, Akay.
Namun, bagaimana jika masa lalu keluarga Akay ternyata berperan dalam hilangnya kakek Aylin? Mampukah cinta mereka bertahan saat masa lalu kelam mulai menyeret mereka ke dlm lintasan berbahaya yg sama?
Aksi penuh adrenalin, intrik dunia bawah, dan cinta yg diuji.
Bersiaplah menembus "LINTASAN KEDUA"—tempat di mana cinta & bahaya berjalan beriringan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Penyusup
Setelah mendapatkan senjata yang ia inginkan, entah kenapa Aylin justru melangkah ke arah bengkel perhiasan Kurosawa & Sons.
Ia kembali menyamar sebagai “tante seksi” dengan wig pirang, baju ketat, dan heels tinggi. Menyusuri jalanan sunyi di dekat bengkel tua itu, langkahnya terdengar mantap—namun hanya sampai beberapa meter dari pintu, tubuhnya mendadak menegang.
Ada yang terasa salah.
Naluri lamanya menjerit, menyentaknya untuk siaga. Tanpa pikir panjang, Aylin segera melipir ke sisi jalan, berlindung di balik sebuah mobil tua yang terparkir di seberang.
Dari balik bayangan, ia mengamati.
Sekelompok pria bertubuh kekar berdiri di depan bengkel. Mereka tampak waspada, penuh ketegangan dalam diam.
Darian dan anak buahnya. Mereka tiba lebih dulu.
Bengkel tua itu tampak sunyi, nyaris terbengkalai. Sebuah kertas kusam tertempel di pintunya:
"Tutup."
Darian mengangkat alis curiga. Tanpa suara, ia memberi isyarat. Salah satu anak buahnya langsung maju dan menghantam pintu dengan satu hentakan keras.
Namun, pintu tua itu justru bergeming. Masih kokoh.
“Sial,” gumam Aylin pelan dari balik persembunyiannya. “Cepat banget mereka mencium jejakku…”
Ia menggertakkan gigi, berusaha menenangkan napas. “Untung sekarang penyamaranku beda dari waktu aku ke sini memesan dan mengambil duplikat liontin itu.”
Tatapannya tertuju pada pintu yang kini nyaris jebol.
"Aku cuma berharap pria tua itu selamat..."
Tiba-tiba, suara langkah pelan dari arah belakang membuat tubuhnya menegang lagi. Instingnya menyala. Ia berbalik cepat dan melayangkan serangan refleks, tapi...
Seseorang menghindar dengan cekatan.
Mata mereka bertemu.
"Mata Elang…"
Pria tua itu menegakkan tubuhnya perlahan, menyurutkan gerak. Sorot tajam matanya melembut sejenak.
“Ilmu beladirimu berkembang pesat,” puji Mata Elang.
“Dan penyamaranmu... luar biasa. Aku bahkan nggak mengenali siluetmu.”
Aylin menarik napas dalam, mencoba menurunkan adrenalin.
“Guru, mereka—”
Matanya melirik ke arah bengkel.
“Mereka gerak cepat,” potong Mata Elang dengan nada berat. Tatapannya mengeras. “Lebih cepat dari yang kuduga.”
Aylin menatap wajah gurunya, kekhawatiran tergambar jelas.
“Pria tua itu... apakah dia—”
“Sudah kuurus,” jawab Mata Elang cepat, tegas. “Sekarang pulanglah. Jangan kembali ke sini. Aku nggak mau kau ada di tengah serangan.”
Aylin mengangguk pelan, penuh pengertian. Ia tahu, jika gurunya berkata begitu, maka ancamannya bukan main-main.
Tanpa berkata lagi, ia berbalik dan berjalan pergi. Suara heels-nya berdenting pelan di antara kesunyian malam, menjauh dari bahaya.
Mata Elang menatap punggung Aylin hingga menghilang, lalu mengalihkan pandangan ke bengkel perhiasan yang pintunya mulai hancur.
Beberapa Hari Lalu
Bau logam dan debu memenuhi ruang sempit bengkel tua itu. Di bawah tangga kayu yang berderit, lampu temaram menyinari meja kerja yang penuh dengan alat-alat kecil dan logam mulia.
Seorang pria tua menghentikan aktivitasnya—memalu sebuah liontin setengah jadi—saat melihat siapa yang berdiri di ambang pintu.
Wajahnya tegang, tangannya gemetar.
“Aku... aku cuma nurutin permintaan gadis itu,” katanya gugup.
Mata Elang melangkah mendekat, suaranya dingin.
“Dengan apa kau membuatnya?”
“Petunjuk dari buku catatan ayahku. Satu-satunya salinan. Aku... aku bahkan nggak tahu apa artinya…”
Mata Elang hanya mengangguk kecil. Matanya tak berkedip.
“Kau masih setia seperti ayahmu,” gumamnya. Ia meletakkan amplop berisi uang di atas meja.
“Ambillah. Pergilah sebelum mereka tahu... bahwa kau tahu terlalu banyak.”
Ia menyobek secarik kertas, menuliskan sebuah alamat, dan menyerahkannya pada si pemilik bengkel.
“Temui orang ini. Lindungi keluargamu.”
Pria itu menerima kertas itu ragu-ragu. Matanya menyipit penuh tanya.
“Apa kau... salah satu dari mereka?”
Mata Elang menatapnya tanpa ekspresi.
“Aku yang melatih gadis itu menembak. Aku juga yang menyingkirkan pengkhianat yang hampir membocorkan rahasia liontin itu.”
Pemilik bengkel menelan ludah. Napasnya mulai tak teratur.
“Jadi... kau tahu cara membacanya?”
Mata Elang menggeleng pelan.
“Nggak. Hanya Wardhana—ayahmu, si ilmuwan yang menciptakannya—dan si pengkhianat itu yang tahu.”
Ia mendekat, suaranya merendah, seolah sedang menyampaikan sebuah kalimat yang bisa membunuh.
“Sekarang... tinggal Wardhana. Atau jejak darahnya.”
Kembali ke saat ini
Darian dan anak buahnya akhirnya berhasil menjebol pintu bengkel.
Mereka masuk dengan sigap.
Ruangan di dalam gelap, berdebu. Bau logam tua bercampur kayu lapuk menusuk hidung. Di sudut meja masih terlihat alat-alat pengerjaan perhiasan: cetakan perak, kaca pembesar, penjepit kecil, dan kaleng berisi pecahan batu imitasi.
Darian menyusuri ruangan, matanya awas. Ia menarik sebuah map tua dari rak berdebu. Di dalamnya tersimpan sketsa desain perhiasan—rapi, artistik—tapi tak satu pun menyerupai liontin yang mereka cari.
Hingga akhirnya… di antara tumpukan kertas, ia menemukan selembar catatan tangan:
“Liontin Duplikat – Pemesan: Nyonya R. A.”
Darian mencibir. “Tak ada nama lengkap. Hanya inisial. Tapi ini… cukup sebagai awal.”
Anak buahnya segera melapor. “Tetangga sekitar bilang pemilik bengkel sempat didatangi seorang wanita misterius. Rambut cokelat kusam, berkacamata bundar, tompel di bawah mata kanan. Persis seperti rekaman tadi. Dia datang dua kali, selang waktu sekitar sebulan.”
Darian mengangguk pelan, matanya menyipit.
“Dan sekarang pemilik bengkel meninggal karena serangan jantung… keluarganya pindah, tak satu pun tetangga tahu ke mana. Terlalu... kebetulan.”
Ia menggenggam catatan itu erat-erat, jemarinya mengepal seperti ingin meremukkan kertas itu.
Tatapannya menyapu ruangan, tajam, menyelidik.
“Kau pintar menyembunyikan jejak, Nyonya R.A...” bisiknya pelan. “Tapi tak ada yang abadi. Bahkan bayangan pun bisa kami kejar... kalau itu perlu.”
***
Aylin menyelinap masuk lewat pintu belakang apartemennya. Suasana gelap dan sepi. Aman. Setidaknya, itu yang dia kira.
Begitu pintu tertutup dan ia hendak melepaskan sepatu, sebuah sentuhan mendarat di bahunya.
Refleks.
BRAK!
Sikut Aylin menghantam dada orang itu, mendorongnya ke dinding. Kakinya terangkat ke perut, tapi pria itu lebih sigap. Tangannya menangkap kaki Aylin, lalu menyapu kakinya dari bawah.
Tubuh Aylin nyaris jatuh.
“Akay?! Sial! Dia nggak boleh tahu aku keluar dengan penyamaran! Dia pasti tanya macam-macam. Dia udah curiga akhir-akhir ini. Harus kabur… ganti baju… cepat!” pikir Aylin panik.
"Siapa kau?" Akay menyipitkan mata, menatap sosok di depannya. Rambut palsu, lensa warna, pakaian ketat—dia tak mengenali istrinya sendiri.
Aylin tak menjawab. Ia mencoba lari.
Akay mencegatnya. Dia tak akan membiarkan penyusup kabur begitu saja.
Mereka bertarung.
Saling hantam. Saling hindar.
Serangan Aylin khas. Terlatih. Tapi justru itu yang membuat Akay membeku sejenak.
Dia mengenal gaya bertarung itu.
Senyum tipis menyungging di wajahnya. “Menarik.”
Serangan-serangannya makin cepat. Tajam. Aylin terdesak, napasnya berat, gerakannya tak secepat tadi. Akay memanfaatkan celah, menggenggam tangannya, memutar tubuh Aylin, dan mengunci pergerakannya dari belakang.
Tubuh mereka rapat. Napasnya hangat di leher Aylin.
Aylin mendesis. “Lepas!”
Tapi Akay justru membisik pelan, “Kita terlalu dekat untuk bertarung... Tapi jarak segini cocok buat hal lain.”
Tangan Akay turun ke pahanya. Tidak dalam pola serangan. Tidak dalam bentuk kuncian. Tapi mengusap perlahan.
Sengaja.
Bibirnya hampir menyentuh telinga Aylin. “Kita lanjut gulat... di tempat tidur?”
Aylin tersentak. Emosi meledak. DUG! Sikutnya menghantam perut Akay. Kepalanya menghantam rahangnya.
“Bangsat!” Aylin meludah dalam hati. “Ini suamiku? Seperti ini kalau berkelahi sama perempuan cantik?! Apa dia sering jajan di luar?!”
Akay mundur, menahan serangan. Tapi senyumnya tidak hilang.
Justru melebar. Liar.
“Kau makin seksi kalau marah.”
Aylin menggertakkan gigi. “Kau bajingan!”
Dia melompat, memutar, dan menendang ke dagu Akay. Tapi Akay menghindar. Lagi.
“Kita belum selesai, Ayang,” ucap Akay, suaranya serak, matanya tajam membara.
“Kita belum mulai!” Aylin membalas. Ia meluncur dengan kombinasi pukulan beruntun.
Namun Akay kembali unggul. Ia menangkap Aylin, menjatuhkan, dan mengunci tubuhnya di bawah.
Tubuh mereka bersatu. Napas saling bertemu.
“Jadi, Nyonya Akay pulang diam-diam menyamar?” bisiknya tajam.
Wajah Aylin membeku.
"Sial! Ketahuan," batinnya.
Akay membalik tubuh Aylin agar menghadapnya. Mereka saling tatap.
Panas. Tegang. Napas mereka tak stabil.
“Cosplay tante-tante cantik, ya?” godanya.
Aylin mendengus kasar. “Itu bukan cosplay. Aku cuma... menyamar.”
Akay menyapu pandang dari atas ke bawah, matanya menyala geli. “Tapi... cosplay ini bikin aku deg-degan. Aku hampir—hampir nggak ngenalin kamu.”
Aylin mengangkat dagu. “Justru itu gunanya. Biar bisa keluar tanpa kamu cecar.”
Dia berbalik ingin pergi.
Tapi Akay menarik pinggangnya.
Dekat. Terlalu dekat.
“Karena kamu berani keluar dengan baju seketat ini... Kau harus tanggung jawab malam ini.”
Mata Aylin membulat. “APA?!”
Akay mengangkatnya dengan mudah.
“AKAAAY! TURUNIN AKU!”
“Baju ini terlalu seksi untuk ditunjukkan ke dunia...” bisik Akay. “Tapi kamu... lebih seksi tanpa apa-apa.”
“AKAAAAY! KAMU GILA! MESUM!”
Akay tertawa kecil, masih mengangkat tubuh Aylin sambil berjalan menuju kamar.
“Aku cuma mau memastikan penyusup ini... nggak menyusup ke hati pria lain.”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Jantung masih aman niihhh..... bacanya sambil nahan nafas wkwkwk
benar-benar mencekam membaca serasa ikut menghindar dari kejaran musuh wkwkwk...dan ikut mensupport Aylin dan Akay untuk menggeber motornya semakin kencang namun tetap waspada demi formula untuk keselamatan banyak orang
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍