Dua puluh tahun setelah melarikan diri dari masa lalunya, Ayla hidup damai sebagai penyintas dan penggerak di pusat perlindungan perempuan. Hingga sebuah seminar mempertemukannya kembali dengan Bayu—mantan yang terjebak dalam pernikahan tanpa cinta.
Satu malam, satu kesalahan, dan Ayla pergi tanpa jejak. Tapi kepergiannya membawa benih kehidupan. Dilema mengungkungnya: mempertahankan bayi itu atau tidak, apalagi dengan keyakinan bahwa ia mengidap penyakit genetik langka.
Namun kenyataan berkata lain—Ayla sehat. Dan ia memilih jadi ibu tunggal.
Sementara itu, Bayu terus mencari. Di sisi lain, sang istri merahasiakan siapa sebenarnya yang pernah menyelamatkan nyawa ayah Bayu—seseorang yang mungkin bisa mengguncang semua yang telah ia perjuangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Mengadu
Bayu tak menjawab. Ia hanya menunduk, rahangnya mengeras, jemarinya mengepal.
“Itu bukan urusanmu,” sahutnya akhirnya, datar.
“Tentu saja urusanku,” suara Ellen meninggi, nyaris retak. “Karena dia, kamu tak pernah benar-benar melihatku lebih dari sekadar... wanita yang pernah menyelamatkan ayahmu. Yang kau lihat cuma masa lalu—wanita itu—bukan aku, bukan kita.”
Bayu melangkah ke kamar mandi tanpa menanggapi.
“Bayu...!” panggil Ellen, suaranya pecah, menggantung di udara.
Bayu berhenti di ambang pintu. Menoleh perlahan. Tatapannya tajam, tapi kosong. Hampa. Lelah.
“Kau memaksa masuk ke hidupku lewat utang budi,” ucapnya pelan, namun setiap katanya seperti pisau. “Tapi kau lupa, Ellen... cinta tak pernah bisa dipaksa.”
Lalu ia menutup pintu tanpa menoleh lagi.
Ellen berdiri mematung. Di tengah sunyi yang mendadak terasa pekat, hanya detak jantungnya yang terdengar. Ia menunduk, menatap cangkir kopi yang sudah dingin. Dan untuk pertama kalinya pagi itu, ia merasa... benar-benar kalah.
Karena sejak awal, ia tahu: bayangan masa lalu pria itu terlalu hidup untuk bisa ia matikan.
Dalam Kamar Mandi
Air hangat mengalir membasahi tubuhnya, tapi Bayu tetap membeku. Matanya terpejam, dahinya menempel pada dinding kamar mandi. Namun dalam gelap itu, justru semua yang ingin ia lupakan muncul makin jelas.
Napas Laras. Suaranya yang bergetar. Tatapan matanya yang basah saat menyebut namanya. Rasa kulitnya. Aroma tubuhnya. Dan... jejak di bahunya—gigitan kecil penuh gairah. Cakaran di punggung. Bukti nyata bahwa semalam bukan mimpi.
“Damn...”
Ia memutar shower lebih deras. Seolah air bisa menghanyutkan rasa bersalah dan dilema yang mencabik dadanya.
Tapi satu kalimat terus bergema di kepalanya: Dia masih perawan?
Setelah dua puluh tahun. Setelah pernikahan. Setelah luka dan pengkhianatan dan perpisahan. Laras... tetap menjaga dirinya.
Dan ia—Bayu—yang pertama.
Ia menutup mata lebih rapat. Dalam. Menahan sesuatu yang ingin pecah dari dadanya.
Sebagai pria, ada rasa bangga—naluri primitif yang sulit dijelaskan dengan logika—karena menjadi yang pertama. Tapi sebagai pria yang mencintainya? Ada rasa bersalah yang menghantam seperti palu, karena telah menodai perempuan yang ia cintai dengan segenap jiwanya.
“Kau benar-benar menjaganya, Laras... Bahkan setelah semua luka, semua tahun yang terbuang. Dan aku...” Bayu mengatup rahangnya, suaranya nyaris tak terdengar. “Aku brengsek. Aku menodainya. Aku menodai keteguhanmu... cintamu...”
Bayu menengadah pelan, membiarkan air menampar wajahnya. “Kenapa kamu nggak pernah biarkan siapa pun mendekat, Laras?” gumamnya lirih, nyaris seperti doa yang tak pernah dimaksudkan untuk didengar siapa-siapa.
Dan yang paling menyakitkan—semalam... juga yang pertama baginya.
Bayu tak pernah menyentuh wanita mana pun. Bahkan Ellen—istrinya yang sah selama dua dekade.
Sebab sejak awal, pernikahan itu bukan tentang cinta. Itu tentang melindungi.
Melindungi Laras dari ayahnya. Dari restu yang tak pernah datang. Dari ancaman yang bisa menghancurkannya.
Bayu menikahi Ellen hanya untuk satu alasan: agar ayahnya berhenti mengganggu hidup Laras.
Dan kini, dua puluh tahun kemudian... semuanya kembali berputar. Sama. Tapi lebih menyakitkan.
Karena semalam, Laras memberinya sesuatu yang tak ternilai—dan ia memberinya kembali luka yang lama.
Beberapa Menit Kemudian
Bayu keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk melilit pinggang. Rambutnya basah, tetesan air mengalir sepanjang leher dan dada. Namun yang lebih mencolok adalah jejak samar gigitan di bahunya dan dua garis merah di punggungnya.
Ellen berdiri di dekat jendela, matanya tajam menatap bayangan Bayu di cermin.
“Kita harus check out pagi ini,” ucapnya tanpa basa-basi.
Bayu mengangguk pelan, lalu mulai mengenakan pakaian tanpa menjawab.
Ellen mendekat. “Aku sudah pesan mobil. Penerbangan ke Swiss sore ini.”
“Aku nggak ikut,” sahut Bayu datar, tak menoleh.
Ellen menegang. “Maksudmu?”
“Kau pulang duluan. Ada yang harus aku selesaikan di sini.”
“Yang harus kau selesaikan... atau seseorang yang harus kau cari?” Suara Ellen bergetar, penuh amarah yang ditahan.
Bayu diam. Tidak membenarkan, tidak juga menyangkal.
Itu cukup.
Ellen melangkah cepat ke arahnya. “Kau masih mencarinya? Setelah semua ini? Setelah semua yang kupertaruhkan untuk tetap berada di sisimu?”
“Jangan mulai lagi, Ellen,” Bayu menghela napas, menatapnya dengan sorot kosong. “Kau tahu posisi kita dari awal.”
“Kau suamiku, Bayu!” seru Ellen. “Terlalu mudah bagimu menyebut pernikahan ini hanya selembar kertas, tapi aku wanita yang selama dua puluh tahun menunggumu untuk sedikit saja melihatku!”
Bayu menarik napas tajam. “Dan selama dua puluh tahun itu... aku tidak pernah bisa.”
Ellen terdiam. Matanya membara. “Karena Laras.”
Bayu menunduk. Tak menyangkal.
Ellen tertawa pendek, getir. “Kau tidur dengannya, bukan?”
Bayu mengangkat wajah. Ada kepedihan dan beban dalam matanya. Tapi tak ada penyesalan. Dan itu—lebih dari apapun—membuat Ellen merasa hancur.
Ia memalingkan wajah, menahan tangis yang ingin meledak. “Kau benar-benar tidak punya hati...”
“Justru karena aku masih punya hati... makanya aku nggak bisa ikut pulang bersamamu.”
Ellen melangkah ke arah pintu. Tapi sebelum ia pergi, ia berbalik, menatap Bayu untuk terakhir kalinya pagi itu.
“Carilah dia, Bayu. Tapi ingat ini baik-baik... Aku adalah istrimu. Dan sampai dunia mengakuinya, kau tidak bisa menghapusku sesederhana kau mencoret nama dari agenda.”
Pintu tertutup keras di belakangnya.
Dan Bayu... hanya berdiri diam di tengah kamar hotel yang terasa semakin sunyi—seperti dirinya.
Di Dalam Mobil
Bayu duduk di kursi belakang, menatap layar tablet yang disodorkan Rendra, tangan kanannya yang paling bisa dipercaya. Layar menampilkan cuplikan dari CCTV hotel—rekaman singkat seorang wanita berjalan cepat di lorong lantai sembilan. Rambut hitam, tubuh ramping, langkah tergesa. Laras.
Jantung Bayu seperti dipukul keras. Tangannya mengepal.
"Ini... Laras," gumamnya lirih. “Dia beneran ada di sini.”
Rendra mengangguk pelan. “Saya juga yakin itu dia, Tuan. Tapi datanya... kosong.”
Bayu mengangkat tatapannya. “Maksudmu?”
“Kamar 912 dipesan atas nama Maya Sundaram. Warga negara India, paspor valid, kartu identitas lengkap. Tapi waktu saya telusuri lebih dalam, identitasnya tempelan. Semua terlalu bersih. Terlalu sempurna.”
Bayu memijat pelipisnya. “Palsu.”
“Bukan palsu, Tuan. Resmi, tapi... dibuat oleh pihak berwenang. Entah kedutaan, entah organisasi internasional. Saya cek juga lewat sistem imigrasi, pergerakan identitas ‘Maya Sundaram’ bukan identitas tunggal. Tiga bulan lalu dia ada di Kenya, sebelumnya di Argentina.”
Bayu mengerutkan kening. “Dia pakai identitas berbeda tiap kali pindah negara?”
“Sepertinya begitu. Kalau tebakan saya benar, dia di bawah perlindungan atau kerja sama dengan lembaga internasional. Bisa NGO, bisa UN Women, bisa lembaga untuk penyintas atau aktivis perempuan.”
Bayu membuang napas panjang. Matanya masih tertuju pada layar, pada wajah itu.
“Dia nggak pengin ditemukan,” katanya pelan. “Bahkan olehku.”
Rendra ragu sejenak sebelum bertanya, “Masih mau saya cari lebih lanjut, Tuan?”
Bayu memejamkan mata sejenak, lalu mengangguk.
“Aku harus bertemu dengannya. Harus.”
***
Di Ruang Kerja Shailendra
“Dia ingin meninggalkanku, pa...!” Ellen menggenggam tangan Shailendra, air matanya mengalir deras namun matanya menyala penuh strategi. “Setelah semua yang kulakukan! Setelah aku menyelamatkan nyawa Papa waktu itu—semua tak bisa meluluhkan hatinya. Dia tetap mencintai wanita itu dan menganggap aku sebagai istri pajangan.”
Shailendra menatap tajam wanita di depannya. Ia tahu betul Ellen tak sekadar mengadu. Ia sedang menekan.
“Aku bukan siapa-siapa kalau bukan istri Bayu. Dan sekarang... dia mau kembali pada perempuan itu! Laras!” Ellen menggertakkan giginya. “Dia bahkan berani memintaku kembali ke Swiss sendirian. Apa menurut Papa aku pantas diperlakukan seperti ini setelah dua dekade tetap setia mendampinginya meski hanya dianggap istri di atas kertas?”
“Tenang, Ellen. Aku akan urus anak itu.”
...🍁💦🍁...
Note:
NGO adalah singkatan dari "Non-Governmental Organization" atau Lembaga Swadaya Masyarakat dalam bahasa Indonesia. Sementara itu, UN Women adalah singkatan dari "United Nations Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women," yang dalam bahasa Indonesia berarti Entitas Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Kesetaraan Jender dan Pemberdayaan Perempuan.
To be continued
jangan takut Ayla semoga ayah Bayu mau menerima kamu dan cucunya.
semangat kak ditunggu kelanjutannya makin seru nih,aku suka aku sukaaaaa