Aminah hancur berantakan tak berdaya, ketika suaminya yang bernama Galah menceraikannya mendadak. Alasannya, ketidakpuasan Galah terhadap Aminah saat adegan di atas ranjang yang tak pernah memuaskannya.
Galah lelaki Hiperseks, ia selalu berekspektasi berlebihan dalam adegan Hotnya. Belum lagi, Galah kecanduan alkohol yang sering memicu Emosinya meluap-luap.
Dunia mulai berputar dalam beberapa tahun setelah Aminah menjanda dan memiliki anak satu. Ia bertemu dengan lelaki yang lebih muda darinya yang bernama Aulian Maherdika Rahman. Maher keturunan orang kaya dengan lingkungan keluarga yang selalu mencemooh kemiskinan, baik kerabat sekaligus keluarga barunya
Apa yang akan terjadi dengan Aminah dan Maher dalam menghadapi Perasaannya yang sudah tumbuh dan saling mencintai. Hubungan mereka jelas bertolak belakang dengan keluarga Maher yang sombong, Angkuh dan selalu mencemooh Aminah berstatus janda anak satu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gondrong Begaol, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gelisah Maher, Aminah Kacau
Namun sayang, usaha Maher sia-sia malam ini, ia tak menemukan Aminah di rumah Mpok Wati. Entah kemana perginya mereka, membuat Maher lelah menunggu di rumah Mpok Wati. Kesabarannya pun habis dan mulai mengacaukan segala pikiran Maher dengan beranggapan yang tidak-tidak.
"Apa kamu sedang berkencan dengan lelaki lain?" Batinnya seraya menatap Rumah Mpok Wati.
Saat ini Maher benar-benar kacau dengan hatinya, tidak ada tanda-tanda kebahagian di malam ini. Lalu, ia pun memilih untuk pulang kembali ke bengkel dan berniat bermalam di sana.
Tak cukup lama perjalan pulang menuju bengkelnya. Maher pun tiba dalam hitungan beberapa menit.
"Akhirnya pulang juga lo" kata Frengky sudah lama menunggu di depan Bengkel Maher.
"Ya .., sorry gue lama, ini kunci motor lo, dan ini uang sewa tambahannya." jawab Maher dengan wajah kusut.
"Waduh jadi enak nih .." jawab Frengky. "Terus gimana, ketemu sama mereka?" sambung kembali Frengky.
Maher tak menjawab pertanyaan Frengky, ia memilih untuk masuk ke bengkel dan mengistirahatkan sejenak pikirannya yang terasa berat sekali.
"Padahal tinggal sedikit lagi aku ketemu Aminah. Tapi, dia pergi entah kemana" keluh batin Maher sambil merenung di kursi kerjanya.
Sesekali, ia memeriksa ponselnya. Namun, hasilnya tetap sama tidak ada kabar darinya. Batinnya terus merangkai kata yang terus mengulang saat pertemuannya.
Satu harapan di awal pertemuan dan penuh pengharapan dalam pertemuannya kembali serta tinggal beberapa langkah lagi saling mengenal satu sama lain. Bahkan Aminah tinggal menyentuh layar berlogo telpon berwarna hijau untuk menghubungi nya, melalui sebuah susunan nomer yang tak beraturan.
Namun, sang pujaan hati tak kunjung tiba mengabarinya melalui layar kecil tanpa ada tombol berbentuk persegi panjang, kotak atau bulat selain dengan sentuhan tipis. Maher hanya menggulirkan layar sentuh dengan jemarinya, hingga tumbuh gelisah pada dirinya tanpa sebuah perkara.
"Apa benar ya, dia sedang kencan?" Celetuk Maher tidak karuan asal bicara sambil menggenggam ponselnya.
Kecantikan yang digadang-gadangkan oleh Maher hingga tumbuh cemburu pada perasaannya. Padahal diantara mereka belum ada ikatan apapun, bahkan saling mengenal satu sama lain lebih jauh tidak pernah terjadi, selain hanya pertemuan biasa saja. Namun, cemburu Maher begitu kuat daya tariknya bagai daya kekuatan listrik pada Tower tinggi di pegunungan.
Hujan mulai turun deras dan membasahi tanah yang sudah kering dalam beberapa bulan karena panasnya terik matahari. Aroma tanah yang basah mulai menyelinap di sel-sela jendela ruang kerjanya, aroma tanah itu tercium oleh Maher yang sedang merasakan ada retakan kembali dalam hatinya. Namun bukan luka, melainkan sebuah retakan karena tumbuhnya perasaan yang kuat terhadap Aminah.
Pandangan Maher pun terbawa aroma tanah ke hadapan jendela, pandangannya sekejap melihat sebuah pot kecil berisi tanaman kaktus yang tak jauh dari jendela, tepat di meja bersebelahan dengan laptop yang masih menyala sisa dari rutinitasnya. Tanaman itu seolah mengisyaratkan, bahwa aroma tanah itu sangat menyegarkan.
Maher menghirup nafas untuk merasakan aroma tanah lebih dalam lagi dan membuang nafasnya secara perlahan, ternyata dugaan nya benar, aroma tanah itu sangat menyegarkan. Ia pun sedikit demi sedikit merasakan perasaannya bersama aroma tanah yang basah sekedar untuk menenangkan hatinya yang sedang kacau.
"Segarnya ..." batin Maher.
***
Arumi hanya bisa menangis, melihat Aminah bagai layang-layang putus tanpa arah. Malam ini ia hanya bisa meraung-raung di ruang Psikologis. Canda serta tawa milik Aminah menghilang seketika. Berbagai upaya Arumi lakukan untuk menghidupkan kembali Aminah yang dulu.
"Sudah Rum, sabar lah" kata Andri sahabat Bandnya.
Arumi menatapnya sinis, "Kau pikir semudah itu, Aminah segalanya buat gue"
"Gue tau, tapi mau gimana lagi"
"Sudahlah diam .." ketus Arumi. Dan Andri pun memilih untuk keluar dari Ruangan Aminah daripada melanjutkan perdebatan yang hanya akan menimbulkan kekacauan.
Tak lama, Mpok Wati tiba membawa Umar yang tengah sibuk tidur nyenyak di pangkuan nya sejak tadi.
Ceklek ..
"Gimana Aminah, Rum?" Tanya Mpok Wati bersama Umar setiba di Ruangan.
"Tidak ada perkembangan" jawabnya.
"Hhmm ..." gumam Mpok Wati.
"Jauhkan dia, jauhkan dia" kata Aminah lirih merintih sambil memeluk kedua lututnya di atas ranjang Pasien.
Arumi menenangkannya sambil memeluk tubuh Aminah dengan penuh kasih sayang, kedua matanya berbinar turut bersedih atas yang di alami Aminah saat ini.
"Jauhkan dia, jauhkan ..., aku mohon jauhkan dia" kata Aminah berulang kali, dan kali ini menggigit pundak lengannya dengan kuat.
"Minah jangan, minah ...." kata Arumi berusaha melepaskan gigitan terhadap tangannya sendiri.
"Diam ..." bentak Aminah kuat.
"Min gue mohon jangan kau gigit tangan mu" lirih Arumi.
Aminah menatap tajam wajah Arumi dengan kedua bola matanya hampir keluar. Arumi ketakutan atas pandangan milik Aminah seoalah punya dendam pribadi terhadapnya.
Umar tiba-tiba terbangun mendengar suara Ibunya. Lalu, ia meneriaki dengan suara samar memanggil Aminah yang sedang kacau. "Ibu .., cucu .., ibu .., cucu"
"Umar ..? dimana kamu nak, Umar ini Ibu, jangan takut, dia tidak akan menyakiti mu" kata Aminah refleks mendengar suara Umar yang memanggilnya serta meminta susu.
"Mpok, Mpok ..., Aminah sadar" kaget Arumi, sesekali menoleh kepada Mpok Wati.
"Panggil dokter, cepat" kata Mpok Wati dalam keadaan memangku Umar yang tak henti merengek.
Arumi berlari menuju ruang Dokter Risa dengan cepat. Setiba di sana, Arumi menjelaskannya kepada Dokter dengan perasaan bercampur aduk.
Dokter Risa menanggapinya atas aduan Arumi, ia segera menuju Ruangan Aminah dengan membawa obat bius untuk berjaga-jaga Aminah mengamuk.
"Suster .., ikut dengan ku keruangan pasien" Ajak Dokter dengan terburu-buru. "Baik Dok" sambung Suster tengah duduk di resepsionis ruangan dan mengikutinya dari belakang.
"Umar .., dimana kamu nak" teriak Aminah yang tak menyadari Umar begitu dekat dengannya.
"Apa Aminah buta?" batin Mpok Wati.
Ceklek...
Dokter tiba bersama Suster serta Arumi di ruangan Aminah, dan sesekali memeriksanya yang tengah memanggil nama Umar secara terus menerus.
"Siapa Umar yang di maksudnya?" Kata Dokter sambil memeriksanya.
"Umar anaknya, Dok" jawab Arumi.
"Hmm .., jadi, anak laki-laki ini, anaknya pasien?"
"Ya ..,Dok"
"Kenapa kalian biarkan dia jauh dari anaknya" tegas Dokter.
"Kami takut dia mengamuk dan menghajar Umar" kata Mpok Wati
"Hhmm ..., kalian ini" geram Dokter.
Arumi serta Mpok Wati tidak begitu mengerti maksud Dokter untuk memberikan Umar kepada Aminah.
Dokter Risa pun menggendong Umar yang masih merengek. Lalu, memberikan Umar dengan menyapa Aminah secara lembut.
"Hei ..., ini Umar" kata Dokter. "Mana Umar " sambung Aminah meraba-raba ranjang pasien karena gelap pandangannya hingga tidak bisa melihat Umar.
"Ini sayang ..., peluk dia dengan lembut, Umar sangat merindukan mu"
Umar pun jatuh ke pelukan Aminah oleh Dokter Risa sambil mengelus keduanya dengan lembut dan penuh ketenangan.
"Oh Umar ..., maafkan Ibu ya Nak, Ibu janji, Ayah mu tidak akan menyakiti mu" katanya sambil memeluk dan menciumi Umar.
"Cucu ..., Bu ...., cucu Bu ...uuuuuuu" kata Umar tersendu sisa menangis setelah berada di pangkuannya.
Susu botol milik Umar lekas di berikan kepada Aminah oleh Dokter Risa bermaksud dirinya sendiri yang akan memberikan langsung susu itu kepada Umar.
"Ini sayang, Ibu sudah menyiapkan susu botol mu"
Sejenak Umar langsung diam setelah menerima susu Botol dari Aminah dan sibuk menyedot susu itu dengan kuat sekali.
"Sruppp ..., sruppp ..." suara sedotan susu oleh Umar.
Gerak-gerik pasien di perhatikan dengan teliti oleh Dokter Risa, untuk mengetahui sumber utama Trauma yang di alami oleh pasiennya.
Arumi serta Mpok Wati bersedih atas kejadiannya sepintas mereda seolah semua menjadi baik-baik saja.
Dokter pun mulai mengerti, Trauma berat yang di alami oleh pasiennya saat ini.
"Apa di antara kalian ada yang mengenal suaminya?" Tanya Dokter.
"Tidak Dok" jawab Mpok Wati serta Arumi.
"Sebaiknya kalian ikut ke ruangan saya, biarkan pasien bersama anaknya" kata Dokter, "Suster ..., kau jaga dia, lakukan sesuatu apabila ada kejadian aneh lagi" sambung Dokter kepada suster.
"Baik, Dok .." balas Suster.
Dokter Risa pun keluar dari kamar pasien bersama Mpok Wati serta Arumi dan membawanya ke ruangannya untuk mengajak mereka bicara.
Setelah tiba di ruangan Dokter Risa, beberapa pertanyaan di lontarkan kepada Mpok serta Arumi oleh Dokter Risa. Mpok Wati mengatakan yang sebenarnya soal asal usul Aminah.
Kata Mpok Wati, "Waktu itu Aminah tengah duduk di sebuah Halte dalam keadaan bingung sambil menggendong Umar yang kurang lebih baru berusia 6 bulan. Saya beserta suami saat itu, berniat membawanya pulang karena kasihan"
"Lalu ..., suaminya?"
"Aku tidak tahu"
"Setelah Ibu membawa Aminah pulang, apa yang terjadi di hari esoknya?" Tanya Dokter mengorek informasi lebih detail.
"Dia hanya diam ketika saya ajak bicara"
"Oh gitu ..." jawab dokter dengan ekspresi wajah memikirkan sesuatu. "Lalu, berapa lama dia mulai bicara waktu itu?" sambung Tanya Dokter.
"Mmm ..., kalau gak salah, sekitar satu bulan"
"Nah, setelah itu apa yang terjadi?"
"Aminah mulai membaik, dia mulai nyambung di ajak bicara seolah semangatnya hidup kembali, terutama saat merawat Umar anaknya. Dia begitu teliti dan penuh perhatian terhadap Umar"
"Hmm ....," gumam Dokter mulai mengerti.
"Jadi, gimana menurut Dokter, apa yang harus kami lakukan terhadap Aminah" kata Mpok Wati.
"Iyah Dok, apa solusinya?" sambung Arumi.
Dokter menjelaskan secara rinci. "Aminah tidak sakit, hanya saja mentalnya yang kena karena suatu tindakan yang kejam atau penindasan terhadapnya hingga menimbulkan luka yang begitu sakit di dalam batinnya" jelas Dokter.
"Terus, cara mengobatinya gimana Dok?" Tanya Arumi setelah mendengar penjelasan nya.
"Mungkin hanya orang yang ada di hatinya yang bisa menyembuhkan Aminah, atau seseorang yang ia cintai"
"Maksud Dokter, pacarnya gitu?"
"Ya bisa di bilang begitu, tapi cara pendekatannya melalui Umar, ia harus menunjukkan rasa sayang kepada Umar di hadapan Aminah secara langsung"
"Waduh ..., repot bener dah, Dok" jawab Arumi mulai kambuh dengan sikap slengean nya.
"Ya mau gimana lagi, hanya itu solusinya! Karena, Aminah saat ini selalu mengatakan kepada Umar, tenang Ayah mu tidak akan menyakiti mu, Ibu akan selalu melindungi mu, Nak! Nah perkataan Aminah merujuk kepada sang suami yang dulu bersikap kasar kepadanya. Jadi, kemungkinan Traumanya akan hilang secara perlahan setelah mendapatkan Ayah pengganti bagi Umar dengan memiliki sikap penyayang terhadap Umar."
"Jadi, maksud Dokter, Aminah lebih mementingkan suaminya menyayangi Umar daripada dirinya" kata Mpok Wati setelah mendengar apa yang di katakan Dokter.
"Betul sekali, Bu ..." jelas Dokter Risa.
"Hhmm ..., alamat ribet dah" keluh Arumi.
Dokter tertawa tipis karena tingkah Arumi yang mengeluh seperti anak kecil.
"Jadi, apa Aminah memilik seseorang yang di cintainya?" Tanya Dokter.
"Ada sih, tapi masalahnya baru bertemu dua kali"
"Nah itu sudah bagus, coba saja kau bawa lelaki itu besok, dan suruh bertemu saya dulu, nanti ku bantu dia menjelaskan cara pendekatannya." jelas Dokter.
"Ya, Dok ..., besok aku bawa dia kesini" jawab. Arumi berencana membawa Maher.
"Oia Dok, tadi aku perhatikan Aminah seperti tidak bisa melihat! Apa dia Buta ..?" Sambung kembali Arumi.
"Oh itu ..., soal itu jangan terlalu di khawatirkan, Karena dampak dari Trauma yang menggelapkan seketika pandangannya."
"Syukurlah ..."
Usai sudah percakapan mereka, lalu Arumi serta Mpok Wati kembali ke ruangan Aminah dan Dokter menitipkan pesan untuk tidak menanyakan hal-hal yang mengundang masa lalu nya.