Rangga, seorang pria biasa yang berjuang dengan kemiskinan dan pekerjaan serabutan, menemukan secercah harapan di dunia virtual Zero Point Survival. Di balik kemampuannya sebagai sniper yang tak terduga, ia bercita-cita meraih hadiah fantastis dari turnamen online, sebuah kesempatan untuk mengubah nasibnya. Namun, yang paling tak terduga adalah kedekatannya dengan Teteh Bandung. Aisha, seorang selebgram dan live streamer cantik dari Bandung, yang perlahan mulai melihat lebih dari sekadar skill bermain game.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yudhi Angga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Badai di Balik Layar
Video kebaikan Rangga yang viral bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi, ia menuai banjir pujian, mengukuhkan citra Ren sebagai pro player berhati mulia, dan bahkan menarik lebih banyak follower yang mengagumi sisi kemanusiaannya. Endorsement yang datang tidak hanya dari brand gaming, tetapi juga dari organisasi sosial yang ingin berkolaborasi. Rangga kini tidak hanya dikenal karena skill-nya, tetapi juga karena hatinya. Ia merasa lebih utuh, lebih diterima. Penerimaan itu juga semakin mempererat hubungannya dengan Aisha. Mereka menghabiskan lebih banyak waktu bersama, tidak hanya membahas strategi streaming atau konten, tetapi juga berbagi cerita pribadi, impian, dan ketakutan. Ada kehangatan dan keintiman yang tumbuh, mengarah pada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan.
Namun, di sisi lain, ketenaran yang meledak itu membawa konsekuensi yang tak terduga. Sorotan terhadap Ren dan Aisha menjadi semakin intens. Setiap interaksi mereka di live stream, setiap foto kebersamaan yang diunggah, selalu menjadi bahan perbincangan. Mayoritas penggemar mendukung kedekatan mereka, bahkan menjuluki mereka sebagai "pasangan e-sports idaman."
Suatu malam, setelah sesi live stream yang sukses besar, Rangga dan Aisha sedang makan malam di kosan Rangga, memesan makanan online. Suasana tenang, hanya ada suara tawa kecil dan obrolan santai mereka.
"Kamu makin jago ngomong sekarang, Ren," puji Aisha, tersenyum sambil menyantap makanannya. "Dulu kamu kan irit banget kata-kata."
Rangga tersipu. "Itu berkat Teteh Aisha. Teteh yang maksa aku buat banyak bicara."
Aisha tertawa renyah. "Aku cuma bantu memoles berlian yang tersembunyi kok." Ia menatap Rangga, pandangannya penuh makna. "Aku senang kamu sudah tidak malu lagi jadi dirimu sendiri."
Rangga membalas tatapan itu, merasakan detak jantungnya sendiri. Ia ingin sekali mengatakan sesuatu yang lebih, mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya, namun kata-kata itu masih terasa berat.
Tiba-tiba, ponsel Aisha berdering. Sebuah panggilan video dari manajer pribadinya. Aisha mengernyitkan dahi. "Tumben malam-malam begini telepon," gumamnya, lalu mengangkat panggilan.
"Halo, Ibu?" sapa Aisha. Wajah manajernya terlihat tegang di layar.
"Aisha, kamu harus lihat ini," kata manajer itu, suaranya terdengar cemas. "Ada akun gosip besar yang baru saja mengunggah sesuatu tentang kamu dan Ren."
Aisha dan Rangga saling pandang. Jantung Rangga mencelos. Akun gosip?
Manajer itu melanjutkan, "Mereka mengunggah tangkapan layar percakapan chat dari grup internal tim kalian, Aisha. Grup Phantom Strikers."
Wajah Aisha langsung memucat. Ia menekan tombol loudspeaker agar Rangga bisa mendengar.
"Mereka juga menampilkan tangkapan layar percakapan pribadi Ren dengan mantan anggota timnya, Guntur dan Bara, setelah kalian kalah di turnamen. Dan itu... chat-nya tidak bagus, Aisha," suara manajernya terdengar ragu.
"Tidak bagus bagaimana, Bu?" tanya Aisha, suaranya bergetar.
"Di chat itu, Ren terlihat meremehkan skill anggota tim lamanya, menyebut mereka beban tim. Dan ada tangkapan layar lain, Aisha, di mana Ren seolah-olah mengatakan bahwa ia hanya menanfaatkanmu untuk menaikkan popularitasnya, dan dia tidak benar-benar tertarik padamu secara pribadi, hanya demi karir," kata manajer itu, nadanya penuh penyesalan. "Ini... ini jadi trending topic sekarang, Aisha. Banyak yang marah. Penggemar kamu dan Ren terpecah."
Rangga terkejut, merasa seluruh darahnya surut. Ia ingat pernah curhat pada Guntur dan Bara setelah kekalahan di final, mengeluhkan performa mereka yang buruk. Itu adalah momen emosional, di mana ia melontarkan kata-kata kasar karena frustrasi. Dan percakapan tentang Aisha? Ia ingat saat awal-awal dulu, ketika ia masih sangat minder dan mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa hubungannya dengan Aisha hanyalah profesional demi karirnya. Itu adalah bagian dari pertarungan batinnya sendiri, sebuah mekanisme pertahanan diri. Tapi ia tidak pernah mengunggahnya! Bagaimana bisa itu bocor?
"Itu... itu tidak benar!" Rangga berseru, wajahnya panik. "Aku tidak pernah berpikir seperti itu tentang Teteh Aisha! Itu salah paham!"
Aisha mematikan panggilan dengan manajernya. Ia menatap Rangga, matanya dipenuhi kekecewaan dan pertanyaan. "Ren, apa ini benar?" tanyanya, suaranya tenang namun dingin, sangat berbeda dari Aisha yang biasa ceria dan pengertian.
"Tidak, Teteh Aisha! Sumpah! Aku tidak pernah bermaksud meremehkan mereka! Dan aku tidak pernah memanfaatkan Teteh! Itu... itu chat lama, Teteh. Saat aku masih sangat malu dan tidak percaya diri! Aku cuma mencoba meyakinkan diriku sendiri waktu itu!" Rangga mencoba menjelaskan, suaranya putus asa.
Aisha bangkit dari kursinya, menjaga jarak. "Tapi ini tertulis jelas di sana, Ren. Kata-katamu sendiri. Tentang Guntur dan Bara. Tentang aku." Ia menunjuk layar ponselnya, yang menampilkan screenshot percakapan tersebut. Air mata mulai menggenang di matanya. "Apa aku cuma alat bagimu, Ren? Untuk naik ke puncak?"
"Tidak, Teteh! Demi Tuhan, tidak!" Rangga berdiri, mencoba mendekat. "Aku... aku minta maaf kalau kata-kataku waktu itu menyakitkan. Aku tidak tahu kalau itu akan bocor. Aku... aku memang pernah berpikir seperti itu, tapi itu dulu! Sebelum aku mengenal Teteh lebih jauh! Sebelum aku sadar perasaanku yang sebenarnya!"
Aisha menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu lagi harus percaya yang mana, Ren. Aku sudah percaya padamu, aku sudah membantumu. Dan ini balasannya?" Suaranya semakin meninggi.
"Teteh Aisha, tolong percaya padaku!" Rangga memohon. "Aku tidak akan pernah menyakitimu! Aku... aku menyukaimu, Teteh. Sangat menyukaimu! Semua yang kita jalani, itu nyata bagiku!"
Aisha menatapnya, air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku... aku butuh waktu, Ren." Ia berbalik, melangkah menuju pintu.
"Teteh Aisha, jangan pergi!" Rangga mencoba menahannya, namun Aisha sudah membuka pintu dan melangkah keluar.
Pintu tertutup, meninggalkan Rangga sendirian di dalam kosannya. Suasana yang tadinya hangat kini terasa dingin dan hampa. Ia menatap layar ponselnya, melihat berita yang meledak itu. Haters bersorak, penggemar setia mencoba membela, namun keraguan telah tertanam. Badai di balik layar telah datang, mengancam tidak hanya karir Ren yang baru saja ia bangun, tetapi juga hubungan Rangga dengan Aisha, satu-satunya orang yang benar-benar menerimanya. Seseorang dari masa lalu, yang memiliki chat itu, telah mengkhianatinya, atau mungkin, ia sendiri yang telah menanam benih masalah itu dengan kata-katanya di masa lalu.