"Aku mati. Dibunuh oleh suamiku sendiri setelah semua penderitaan KDRT dan pengkhianatan. Kini, aku kembali. Dan kali ini, aku punya sistem."
Risa Permata adalah pewaris yang jatuh miskin. Setelah kematian tragis ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Doni, anak kepala desa baru yang kejam dan manipulatif. Seluruh hidup Risa dari warisan, kehormatan, hingga harga dirinya diinjak-injak oleh suami yang berselingkuh, berjudi, dan gemar melakukan KDRT. Puncaknya, ia dibunuh setelah mengetahui kebenaran : kematian orang tuanya adalah konspirasi berdarah yang melibatkan Doni dan seluruh keluarga besarnya.
Tepat saat jiwanya lepas, Sistem Kehidupan Kedua aktif!
Risa kembali ke masa lalu, ke tubuhnya yang sama, tetapi kini dengan kekuatan sistem di tangannya. Setiap misi yang berhasil ia selesaikan akan memberinya Reward berupa Skill baru yang berguna untuk bertahan hidup dan membalikkan takdir.
Dapatkah Risa menyelesaikan semua misi, mendapatkan Skill tertinggi, dan mengubah nasibnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: Permata yang Terinjak
Setelah ancaman maut di tepi sungai kemarin—di mana Risa dibiarkan tergantung dengan batu di kakinya hingga hampir tenggelam sebelum akhirnya dipaksa menandatangani beberapa surat pernyataan lagi, tubuh Risa benar-benar mencapai ambang batasnya. Demamnya tidak turun, justru semakin menggila, membuat setiap sendinya terasa seperti ditusuk jarum panas.
Pagi ini, Risa tidak dibawa ke ladang. Nyai Ratna membiarkannya tergeletak di lantai gudang karena menganggap Risa sudah tidak berguna untuk bekerja. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama.
Doni Wijaya masuk ke dalam gudang dengan langkah berat yang menciptakan gema mengerikan di telinga Risa. Napasnya masih berbau sisa pesta semalam, dan wajahnya menunjukkan kekesalan yang mendalam. Ia baru saja kalah besar dalam meja judi di kota, dan seperti biasa, Risa adalah sasaran pelampiasan emosinya.
"Di mana kau sembunyikan sisanya, hah?!" bentak Doni tanpa mukadimah. Ia menendang kardus-kardus di sekitar Risa hingga berhamburan.
Risa hanya bisa menatap Doni dengan mata yang sayu. "Sisa... apa lagi, Doni? Kau sudah mengambil semuanya..."
"Jangan bohong! Melati bilang kau masih menyimpan sesuatu yang berharga!" Doni menjambak rambut Risa dan memaksanya berdiri. "Aku butuh uang tunai sekarang juga! Cepat katakan di mana kau menyembunyikan kalung emas peninggalan ibumu itu! Aku tahu yang kau berikan tempo hari itu hanya imitasi, kan?!"
Jantung Risa berdegup kencang. Ia memang sempat menukar kalung asli peninggalan ibunya dengan kalung imitasi yang ia temukan di kotak rias lamanya saat Doni sedang mabuk beberapa hari lalu. Kalung asli itu—satu-satunya benda yang menyimpan memori tentang kasih sayang seorang ibu—ia sembunyikan di dalam jahitan kain lusuh yang ia gunakan sebagai bantal.
"Aku tidak tahu... itu sudah kau ambil," bisik Risa, mencoba tetap tenang meski jiwanya menjerit ketakutan.
"Bohong! Kau selalu punya cara untuk menipu!" Doni mendorong Risa hingga menabrak rak kayu. Ia mulai menggeledah setiap sudut gudang yang sempit itu dengan liar.
Rak-rak kayu digulingkan, pakaian lusuh Risa dicabik-cabik, dan kardus-kardus diinjak hingga hancur. Risa hanya bisa menonton dengan gemetar, tangannya secara tidak sadar meremas bantal kainnya yang kumal.
Gerakan kecil itu ternyata tidak luput dari mata predator Doni.
"Oh... jadi di situ?" Doni menyeringai jahat. Ia melangkah mendekat, matanya berkilat penuh kemenangan.
"Tidak! Doni, jangan!" Risa mencoba melindungi bantal itu dengan tubuhnya, namun kekuatannya tidak ada artinya bagi Doni.
Doni menjambak baju Risa dan melemparnya ke lantai semen. Dengan satu tarikan kasar, ia merebut bantal kain itu. Ia merobek jahitan bantal itu dengan gigi dan tangannya hingga kapas-kapas di dalamnya beterbangan. Dan di sanalah ia berada—sebuah kalung emas dengan liontin permata kecil berbentuk tetesan air yang bersinar lembut bahkan di bawah cahaya redup gudang.
"Ini dia! Melati benar, kau memang sangat licik, Risa!" Doni mengangkat kalung itu tinggi-tinggi, mengagumi kilaunya yang mahal. "Ini bisa menutupi hutang judiku semalam."
"Doni, aku mohon... ambillah nyawaku, tapi jangan kalung itu!" Risa merangkak di lantai, memeluk kaki Doni dengan air mata yang tumpah tak terbendung. "Itu satu-satunya peninggalan Ibuku... satu-satunya hal yang bisa membuatku ingat bahwa aku pernah dicintai... aku mohon, Doni!"
Doni tidak peduli. Ia justru menendang wajah Risa dengan ujung sepatunya hingga Risa tersungkur ke belakang. "Dicintai? Kau dilahirkan untuk menderita, Risa! Kau adalah kutukan bagi keluargamu sendiri!"
Risa, yang didorong oleh keputusasaan yang luar biasa, tiba-tiba menerjang Doni. Ia menggigit lengan Doni sekuat tenaga, mencoba merebut kembali kalung itu. Ini adalah perlawanan fisik pertama Risa yang paling berani, sebuah ledakan insting dari jiwa yang sudah tidak memiliki apa pun lagi untuk dipertaruhkan.
"AARRGGHH! JALANG!" Doni berteriak kesakitan.
Doni mencengkeram leher Risa dengan tangan satunya dan membanting tubuhnya ke dinding beton dengan kekuatan penuh. BRAKK! Suara benturan itu sangat keras hingga Risa merasa tulang punggungnya remuk. Namun, Risa tidak menyerah. Ia kembali menerjang, mencakar wajah Doni hingga berdarah.
"Kembalikan! Itu milik Ibuku!" teriak Risa histeris.
Doni benar-benar kehilangan kendali. Amarahnya memuncak hingga ke ubun-ubun. Ia mengambil sebuah balok kayu yang jatuh dari rak tadi dan menghantamkannya ke kaki Risa.
KRAK!
Suara tulang yang retak terdengar jelas di ruangan sunyi itu. Risa menjerit memilukan, sebuah jeritan yang mampu membuat siapa pun yang mendengarnya merinding. Ia jatuh ke lantai, memegangi kakinya yang kini berada dalam posisi yang tidak wajar.
"Kau berani melawanku?! Kau berani melukai wajahku?!" Doni berteriak seperti orang kesurupan. Ia menjatuhkan kayu itu dan mulai menghujani wajah dan tubuh Risa dengan tinjunya.
Satu pukulan mendarat di mata Risa, membuatnya langsung bengkak dan biru. Pukulan berikutnya menghantam rusuknya, membuat napasnya tersengal. Doni terus memukul tanpa henti, seolah-olah ia sedang memukuli samsak tinju, bukan manusia. Darah mulai menyiprat ke lantai, ke baju Doni, dan ke bantal yang sudah robek itu.
Risa hanya bisa melindungi kepalanya dengan tangan yang gemetar. Kesadarannya mulai naik turun. Di tengah rasa sakit yang melumpuhkan itu, ia melihat Doni mengambil kalung ibunya, menaruhnya di bawah tumit sepatunya, dan...
KREKK.
Doni menginjak permata di liontin itu hingga pecah berkeping-keping di depan mata Risa.
"Sekarang, permatamu sudah hancur. Sama seperti hidupmu," desis Doni. Ia mengambil sisa emas yang sudah bengkok itu dan meludah ke arah Risa yang sudah tidak berdaya.
"Bunuh... aku... Doni..." rintih Risa di sela batuk darahnya.
"Mati? Belum, Risa. Kau masih punya satu kaki yang utuh," Doni tertawa dingin sebelum keluar dari gudang dan menguncinya kembali.
Risa tergeletak di tengah gudang yang hancur. Darah mengalir dari berbagai luka di tubuhnya, menciptakan genangan merah di bawahnya. Kakinya yang patah terasa seperti terbakar api. Namun, yang paling sakit bukanlah tubuhnya, melainkan hatinya yang melihat sisa-sisa permata ibunya berserakan di debu lantai gudang.
Ia merangkak dengan sangat lambat, menyeret kakinya yang patah, hanya untuk mengumpulkan pecahan permata itu. Jemarinya yang rusak meraba-raba debu, memungut setiap kepingan kecil itu satu per satu dengan isak tangis yang terdengar sangat memilukan.
Ibu... maafkan Risa... Risa tidak bisa menjaga pemberian Ibu...
Di tengah duka yang tak tertahankan itu, pintu gudang terbuka sedikit. Bukan Doni. Melati masuk dengan senyum kemenangan, memegang kipas tangan yang elegan. Ia melihat kondisi Risa yang mengenaskan dengan pandangan puas.
"Wah, wah... lihatlah si Putri Permata. Sekarang benar-benar sudah menjadi sampah," ejek Melati. Ia berjalan mendekati Risa dan dengan sengaja menendang tangan Risa yang sedang menggenggam pecahan permata itu.
Pecahan itu kembali berhamburan.
"Doni bilang kau sangat berani hari ini. Tapi lihatlah dirimu sekarang, bahkan untuk berdiri saja kau tidak bisa," Melati membungkuk, menarik rambut Risa agar menatapnya. "Kau tahu? Aku yang menyuruh Doni mencari kalung itu. Aku benci melihatmu masih menyimpan sesuatu yang membuatmu merasa berharga."
Risa menatap Melati dengan satu matanya yang masih bisa terbuka. Tatapannya begitu tajam dan penuh kebencian hingga Melati terdiam sejenak.
"Kenapa kau menatapku begitu? Kau mau mencakar wajahku juga?" Melati menampar Risa dua kali. "Dengar, Risa. Besok, Nyai Ratna akan membawamu ke dokter desa, bukan untuk mengobatimu, tapi untuk menyuntikmu dengan sesuatu agar kau tidak bisa bicara selama beberapa hari. Paman Harimu akan membawa notaris baru untuk pengalihan sisa warisanmu yang lain. Jika kau mencoba melawan lagi... Doni akan mematahkan kakimu yang satunya."
Melati bangkit dan merapikan gaunnya. "Oh, aku hampir lupa. Besok adalah hari pembersihan besar-besaran. Semua barang-barang lamamu di rumah ini akan dibakar di halaman depan. Termasuk foto-foto ayahmu."
Risa membelalak. "Jangan... jangan lakukan itu..."
"Tontonlah dari jendela gudang ini besok pagi, Risa. Itu akan menjadi pemandangan yang indah," Melati tertawa nyaring sebelum pergi dan mengunci pintu.
Malam itu, Risa berada di titik paling rendah dalam seluruh kehidupan pertamanya. Ia sendirian di kegelapan, dengan kaki yang patah tanpa pengobatan, dikelilingi oleh debu dan kenangan yang dihancurkan. Rasa sakit fisiknya mulai berubah menjadi mati rasa. Demamnya membuat ia mulai berhalusinasi.
Ia merasa ayahnya duduk di sampingnya, membelai kepalanya.
"Risa, jadilah kuat... permata sejati tidak akan hancur hanya karena diinjak..." suara ayahnya terngiang di telinganya.
Risa menangis dalam halusinasi itu. "Ayah, Risa sudah hancur... Risa tidak punya apa-apa lagi..."
Tiba-tiba, ia merasakan sesuatu di telapak tangannya. Pecahan permata yang tadi ia kumpulkan. Meski liontin itu hancur, intinya masih ada di sana. Tajam dan keras.
Risa menggenggam pecahan permata itu erat-erat hingga telapak tangannya berdarah. Ia menyadari satu hal. Musuhnya tidak akan berhenti sampai ia benar-benar mati. Dan jika ia terus menjadi domba yang lemah, ia hanya akan menjadi santapan mereka.
Jika mereka ingin membakar kenanganku... maka aku akan membakar kesedihanku, batin Risa.
Ia mulai merobek sisa kain bajunya dan mencoba mengikat kakinya yang patah secara darurat menggunakan potongan kayu rak yang hancur. Setiap gerakan membuatnya hampir pingsan karena sakit, namun ia terus melakukannya. Ia harus bisa berdiri. Ia harus bisa melihat pembakaran itu besok. Bukan sebagai korban yang menangis, tapi sebagai saksi yang mencatat setiap dosa mereka.
Ia mengingat kembali nama Revano Adhyaksa dari surat misterius tempo hari.
Revano... siapapun kau... jika kau benar-benar mengawasiku... lihatlah ini. Lihatlah betapa kejamnya mereka. Jika kau tidak datang menolongku, maka aku sendiri yang akan merangkak keluar dari neraka ini untuk menemuimu.
Namun, realita kehidupan pertama tetaplah kejam. Tidak ada pertolongan yang datang malam itu. Bi Nah, satu-satunya pelayan yang baik, telah dipindahkan ke gudang kota oleh Pak Surya karena dicurigai membantu Risa. Risa benar-benar terputus dari dunia luar.
Di bawah sinar bulan yang masuk dari celah atap gudang, Risa Permata bersumpah dengan darah yang mengalir dari tangannya.
"Setiap rasa sakit ini... setiap tulang yang patah... setiap permata yang diinjak... aku akan mengembalikannya seribu kali lipat pada kalian. Doni, Melati, Paman Hari, Tante Dina, Pak Surya, Nyai Ratna... aku akan mengingat nama kalian hingga ke neraka."
Malam itu, jiwa Risa yang polos mati sepenuhnya. Yang tersisa hanyalah cangkang manusia yang dipenuhi oleh keinginan untuk membalas dendam. Penderitaannya di Bab 12 ini menjadi fondasi paling keras bagi kebencian yang akan meledak di masa depan. Ia tertidur dalam rasa sakit yang mencekam, menunggu fajar yang menjanjikan kehancuran lebih lanjut bagi kenangan masa kecilnya.
Keesokan paginya, suara api yang menderu terdengar dari halaman depan. Bau asap kayu dan kertas terbakar memenuhi gudang. Risa menyeret tubuhnya menuju jendela kecil gudang dengan kaki yang terikat kayu.
Di luar, ia melihat Doni sedang melemparkan album foto masa kecil Risa ke dalam api besar. Di sampingnya, Paman Hari sedang memegang sebuah lukisan besar wajah ayah Risa, bersiap untuk melemparnya juga.
Namun, tepat sebelum lukisan itu menyentuh api, sebuah mobil hitam mewah berhenti di depan gerbang. Seorang pria jangkung dengan aura yang sangat mengintimidasi keluar dari mobil. Doni dan Pak Surya mendadak pucat melihat pria itu.
Siapakah pria itu? Apakah dia Revano Adhyaksa, atau justru musuh baru yang akan menambah beban penderitaan Risa?