Embun Nadhira Putri, 28 tahun, terjebak antara tuntutan pekerjaan dan desakan keluarganya untuk segera menikah. Ketika akhirnya mencoba aplikasi kencan, sebuah kesalahan kecil mengubah arah hidupnya—ia salah menyimpan nomor pria yang ia kenal.
Pesan yang seharusnya untuk orang lain justru terkirim kepada Langit Mahendra Atmaja, pria matang dan dewasa yang tidak pernah ia pikirkan akan ia temui. Yang awalnya salah nomor berubah menjadi percakapan hangat, lalu perlahan menjadi sesuatu yang jauh lebih berarti.
Di tengah tekanan keluarga terutama sang Mama, rutinitas yang melelahkan, dan rasa takut membuka hati, Embun menemukan seseorang yang hadir tanpa diminta.
Dan Langit menemukan seseorang yang membuatnya ingin tinggal lebih lama.
Terkadang takdir tidak datang mengetuk.
Kadang ia tersesat.
Kadang ia salah alamat.
Dan kali ini…
takdir menemukan Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 – Langkah Pelan Menuju Pintu Baru
Gedung Wiratama Law Firm
Menjelang jam makan siang, ketika sebagian karyawan mulai bersiap istirahat dan lift-lift ramai dengan pegawai yang ingin pergi makan siang dikantin atau keluar kantor, namun tiba tiba saja suara lembut namun tegas Pak Firman memanggil dari balik kubikel Bia.
“Bia, tolong bawa berkas revisi kasus Gedung Kuningan ke ruang meeting lantai enam. Sudah ditunggu.”
Bia menghentikan ketikan di laptopnya, merapikan map tebal berwarna biru tua yang sudah ia cek dua kali pagi tadi, lalu bangkit. Rambut hitamnya yang dia ikat cepol asal tapi tampak rapi bergoyang ringan ketika ia melangkah keluar menuju lift. Tak lupa juga kacamat bacanya yang harus selalu stand by di hidungnya.
Ketika pintu lift terbuka dan Bia tiba di lantai enam, atmosfer langsung berubah. Lantai enam adalah lantai strategis—ruangan tempat para senior partner, klien-klien besar, dan rapat tertinggi perusahaan berlangsung. Hening, elegan, penuh wibawa; setiap langkah terasa menapak pada lantai marmer yang lebih mahal daripada gaji satu tahun fresh graduate.
Pintu ruang meeting itu berdiri tinggi dan berat, dibingkai kayu mahoni yang memantulkan cahaya lampu gantung kristal di langit-langit. Ketika Bia mengetuk dua kali dan pintu dibuka sedikit, aroma kopi pahit dan kertas legal segera menyambutnya—aroma khas ruang pertempuran intelektual yang sudah sangat akrab baginya selama tiga tahun terakhir.
Ia masuk dengan map tebal di tangan… dan seperti biasa, tampilannya tanpa tedeng aling-aling.
Kacamata baca melorot sedikit di batang hidung, rambut dicepol asal dengan beberapa helai kecil keluar dari ikatan, wajah serius yang fokus pada berkas, bukan pada penampilan. Ironisnya, justru kombinasi ini membuatnya terlihat sangat… menarik.
Begitu Bia masuk, Angkasa—yang biasanya memiliki fokus laser dan ekspresi sekeras marmer—mendadak kehilangan kemampuan berkedip. Bibirnya terbuka sedikit, lalu menutup lagi seperti seseorang yang tiba-tiba lupa cara bernafas.
‘Kenapa tiba-tiba… cantik begitu? Dengan cepol acak saja bisa bikin…’
Ia buru-buru memalingkan wajah, padahal detik itu juga, ia tidak mendengar satu pun kata dari diskusi senior-senior yang duduk di sekeliling meja. Dunia seolah mengecil menjadi satu orang: Bia yang datang tanpa sadar telah mencuri perhatian ruangan.
Pak Firman menepuk kursi kosong di sampingnya. “Bia, duduk di sini. Kamu yang akan presentasikan ulang progres sengketa gedung Kuningan.”
Bia menunduk sopan lalu duduk. Ia membuka map, merapikan berkas, dan bersiap.
Ketika ia mulai berbicara—suara tenang, stabil, jelas—ruangan berubah dari ruang rapat formal menjadi ruang kuliah privat yang intens. Senior-senior mengangguk beberapa kali, mengapresiasi ketelitian penjelasannya mengenai sengketa antara ahli waris dan istri ketiga, konflik kepemilikan, hingga bukti-bukti pembanding yang sudah ia telusuri.
Di tengah pemaparan itu, Bia sesekali mengalihkan pandangan ke peserta rapat lain… termasuk ke arah Angkasa dan Pak Dirga.
Dan setiap kali tatapannya bergerak melewati kursi Angkasa, laki-laki itu selalu menunduk seolah sedang mencatat sesuatu. Padahal pulpen tidak bergerak sama sekali.
Yang membuat keadaan makin jelas adalah… Pak Dirga melihat semuanya.
Awalnya, ia hanya mengerutkan dahi heran—anaknya yang biasanya tegap, fokus, dan tegas, kenapa berkali-kali menurunkan kepala saat si anak magang menatap ke meja mereka? Tapi setelah satu menit observasi diam-diam… Setelah melihat bagaimana sudut bibir Angkasa terangkat setiap kali Bia tidak memperhatikan…
Pak Dirga benar-benar mengerti dan tersenyum penuh arti. ‘Akhirnya. Anak ini sekarang sedang merasakan jatuh cinta…’
Ketika presentasi selesai, Pak Dirga mengetuk meja pelan. “Terima kasih, presentasinya sangat rapi.”
Bia langsung menegakkan duduknya. “Terima kasih, Bapak.”
Pak Dirga memperhatikannya sejenak—tatapannya profesional tapi ada ketertarikan objektif pada kualitas kerja Bia. “Nama kamu siapa?”
Pertanyaan itu membuat semua kepala menoleh. Termasuk Angkasa yang sedikit membelalakkan mata.
Bia menjawab sopan, “Saya Anabia, Bapak. Tapi… Bapak bisa panggil saya Bia.”
“Sejak kapan bergabung di sini?”
“Sudah tiga tahun, Bapak. Saya masuk sebagai paralegal magang di bawah supervisi Pak Firman.”
Pak Dirga mengangguk pelan, seolah sedang menilai sebuah permata di antara kumpulan batu. Lalu… muncul kalimat yang membuat ruangan terasa bergeser sedikit.
“Kalau saya ingin memindahkan kamu menjadi pendamping pengacara untuk Angkasa… kamu bersedia?” (pendamping pengacara seperti partner kerja ya bestie)
Angkasa spontan menegakkan tubuh, hampir menjatuhkan pulpen. ‘Apa-apaan Dad?! Ini mendadak sekali!’
Ia membuka mulut, siap menolak dengan halus. Tapi belum sempat satu suara pun keluar… Bia sudah mengangguk.
Wajahnya serius, penuh tekad, namun matanya bersinar dengan antusiasme yang tulus.
“Dengan senang hati, Bapak. Itu kesempatan besar untuk saya.”
Bagi Bia, ini bukan sekadar tawaran. Ini lompatan besar, sebuah validasi atas kerja kerasnya selama tiga tahun tanpa cuti, lembur tanpa keluhan, dan dedikasi pada setiap kasus yang ditangani. Bekerja langsung dengan Angkasa Wiratama—pengacara muda yang tidak pernah kalah di persidangan—adalah mimpi besar bagi siapa pun di firma ini.
Melihat betapa antusiasnya Bia… Angkasa hanya bisa menahan napas. Ia bahkan tidak bisa berkata apa-apa untuk menolak. Karena melihat ekspresi Bia tadi… Ia jadi tidak tega.
“Kenapa? Kamu gak mau Sa?” tanya Pak Dirga kepada putra semata wayangnya. “Kalau kamu gak mau, biar Bia, Daddy jadiin assisten Daddy” lanjutnya lagi.
“Ck, atur aja lah Dad” balas Angkasa, tapi hatinya mendadak jadi dangdutan kala mengetahui Bia akan menjadi anak buahnya dan ia juga bisa melihat wajah dingin wanita cantik itu setiah hari.
Pak Dirga mengangguk mantap. “Baik. Mulai besok, meja kerjamu pindah ke lantai delapan. Kamu akan mendampingi Angkasa secara langsung dalam kasus-kasus yang sedang ia tangani.”
Bia tersenyum—senyum manis yang sangat jarang ia keluarkan di kantor karena ia terlalu sering memasang wajah dingin profesional.
“Terima kasih banyak, Bapak,” ucapnya tulus.
Senyum itu… Terlalu manis, terlalu jujur… Bahkan terlalu berbahaya.
Karena detik berikutnya, Angkasa harus menoleh ke arah jendela hanya untuk menyembunyikan wajahnya yang memanas tanpa alasan.
‘Ya Tuhan… kalau kerja bareng tiap hari, gue kuat gak ya?’
Gedung Global Farmasi**
Setelah makan siang bersama Mama Raina dan memastikan ponselnya benar-benar sunyi dari segala kemungkinan notifikasi tak terduga dari Mr. Don’t Know, Embun kembali larut dalam hiruk-pikuk kantor Global Farmasi. Siang itu berubah menjadi rentetan tugas yang tidak memberi kesempatan barang dua menit untuk menarik napas lebih panjang. Ruang meeting penuh silih berganti, mulai dari koordinasi dekorasi acara anniversary dua puluh tahun perusahaan, rapat anggaran, revisi rundown, hingga sesi wawancara kandidat yang akan menggantikan dirinya—sebuah proses yang ironisnya membuat Embun menyadari betapa kuatnya tekadnya untuk akhirnya benar-benar pergi dari tempat ini.
Hari itu, Embun duduk di kursi meeting room yang dinginnya menempel lewat kain blazer tipisnya, sambil memeriksa CV kandidat satu per satu. Ia sesekali tersenyum sopan, menanggapi jawaban mereka dengan profesional, meskipun jauh di dalam hatinya ada rasa getar samar—bukan ragu, bukan sedih, lebih mirip rasa lega yang belum menemukan tempat untuk mendarat. Enam tahun bukan waktu sebentar, bukan juga waktu yang terlalu lama, namun cukup bagi sebuah kantor untuk menjadi rumah kedua dan cukup pula bagi seseorang untuk belajar bahwa rumah kadang harus ditinggalkan agar ia bisa tumbuh di tempat lain.
Tidak ada satu pun rekan kerja yang tahu bahwa setelah acara anniversary selesai, setelah lampu-lampu ballroom dipadamkan dan dekorasi dibongkar, setelah tepuk tangan terakhir terdengar—Embun tidak lagi akan menjadi bagian dari Global Farmasi. Tidak ada yang tahu bahwa dua bulan lalu ia telah menyerahkan surat pengunduran dirinya kepada Pak Dimar, manajernya, dengan tangan yang sedikit gemetar namun hati yang sudah mantap. Tidak ada yang tahu bahwa hidupnya sedang bersiap masuk ke bab baru yang diam-diam sudah ia persiapkan selama bertahun-tahun.
Bahkan Mama Raina pun belum tahu. Belum saatnya.
Ketika jam dinding menunjuk hampir pukul lima sore, Embun menutup laptopnya perlahan, merapikan berkas wawancara, dan menepuk pipinya dua kali—ritual kecil untuk memulihkan semangat sebelum ia meninggalkan meja kerjanya. Ia melangkah keluar gedung dengan langkah yang tidak terlalu cepat, tidak terlalu lambat, seolah ingin memberi waktu bagi dirinya sendiri untuk meresapi segala perasaan yang tidak bisa ia jelaskan dengan kata-kata.
Sore itu langit Jakarta berwarna keemasan, dan angin membawa aroma aspal hangat bercampur bau gerimis yang tidak jadi turun. Embun memesan ojek online dan naik ke atas motor dengan helm yang sedikit longgar, lalu memeluk tasnya sambil menatap lurus ke depan.
Motor melaju melewati deretan gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, taman kota, dan jalan-jalan kecil yang dipenuhi pedagang makanan. Embun tidak berusaha mengalihkan pikirannya. Ia membiarkan semuanya mengalir seperti air sungai yang mencari jalannya sendiri.
Hingga motor itu melewati sebuah gedung tinggi yang menjulang megah, mengkilap seperti bilah pisau besar yang memantulkan cahaya matahari sore, Atmaja Group.
Detik itu, Embun langsung menoleh. Matanya berbinar—refleks yang tidak bisa ia tahan, seperti ada magnet yang menarik kenangannya kembali enam tahun ke belakang.
Gedung itu masih sama. Megah. Dingin. Ambisius.
Tempat yang dulu pernah ia dambakan dengan sepenuh hati. Tempat yang dulu ingin ia masuki dengan segala kemampuan yang ia punya. Tempat yang tidak memberinya kesempatan hanya karena ia “kurang berpengalaman”—padahal yang sebenarnya terjadi adalah ia kalah oleh seseorang yang memiliki koneksi orang dalam.
Ia ingat betul rasa kecewa yang menyelip tajam di dadanya waktu itu. Ingat keinginannya untuk mengirim virus buatannya, menyerang sistem Atmaja Group sebagai bentuk protes atas ketidakadilan yang ia rasakan, sebuah impuls kekanak-kanakan yang untung saja segera ia urungkan karena sadar bahwa itu tindakan ilegal. Dan lagi pula, ia takut membayangkan wajah Mama Raina jika ia harus berurusan dengan kepolisian hanya karena amarah sesaat. Apalagi Atmaja Group adalah perusahaan yang dipenuhi senior programmer kelas berat—orang-orang yang kemampuannya mengungguli dirinya pada waktu itu.
Karena itu, Embun memilih realistis. Menerima bahwa mimpinya tidak tercapai pada saat itu.
Menerima bahwa ia harus bekerja di tempat lain—meski tempat itu tidak sejalan dengan passion dan jurusan kuliahnya.
Ia akhirnya melamar posisi apa saja yang tersedia. Dan Global Farmasi menerimanya. Enam tahun lalu. Enam tahun yang penuh pelajaran, penuh orang-orang baik, penuh tanggung jawab besar yang ia kerjakan dengan sepenuh hati, meski tidak sepenuhnya mencerminkan dirinya.
Namun sesuatu dalam dirinya tidak pernah benar-benar padam. Ia masih menulis kode setiap malam. Masih membuat virus sederhana lalu menciptakan antivirusnya. Masih membangun aplikasi kecil-kecilan. Masih memperbaiki logika algoritma hanya untuk memuaskan otaknya sendiri.
Skillnya bukan hanya bertahan—justru berkembang.
Dan kini, ketika motor itu melaju tepat di bawah bayangan gedung Atmaja Group, Embun mengusap pahanya pelan, seolah memberi semangat kepada dirinya sendiri.
Ia sudah mencoba melamar lagi. Bukan sebagai staf biasa. Bukan sebagai fresh graduate yang masih hijau. Tapi sebagai Senior Programmer. Di perusahaan yang dulu menolaknya. Di perusahaan yang kini menjadi tempat ia ingin menuntaskan sesuatu—bukan balas dendam, tapi bukti bahwa ia bertumbuh.
Dan Jumat besok … Ia dipanggil untuk interview.
Embun menutup mata sejenak, membiarkan angin sore menerpa wajahnya, membawa bau kota dan masa lalu yang kini tidak lagi menyakitkan—hanya menjadi pijakan yang membuat langkahnya lebih kokoh.
“Sekarang aku siap,” gumamnya pelan, hampir tidak terdengar karena suara motor yang melaju.
Siap menghadapi tantangan. Siap membuktikan kemampuan. Siap mengambil alih masa depan yang dulu pernah luput dari genggamannya.
Dan ketika motor itu berbelok, meninggalkan gedung Atmaja Group di belakangnya, Embun menatapnya sekali lagi, dengan sorot mata yang tidak lagi getir—tapi penuh tekad yang baru.
Bab hidupnya akan berubah. Ia tahu itu. Ia merasakannya di ujung jemarinya. Di jantungnya. Di caranya menatap masa depan yang kini tidak lagi menakutkan.
Dan ia tidak sabar.
**
Rumah kecil Embun sudah tenggelam dalam kesunyian malam ketika jam di dinding menunjuk pukul sepuluh lewat sedikit. Udara dingin yang merayap masuk dari jendela yang tidak tertutup rapat membuat kulit lengannya merinding tipis, bukan karena takut, melainkan karena suasana malam yang begitu tenang dan jauh dari hiruk-pikuk kantor yang seharian menyita napasnya. Lampu ruang tamu menyala lembut—kuning hangat, tidak terlalu terang, seolah sengaja dipilih untuk menciptakan atmosfer yang memeluk tubuh dan pikiran yang lelah.
Laptopnya terbuka di depan, layar biru bercahaya menampilkan baris-baris kode yang baru saja ia sempurnakan. Jari Embun bergerak cepat namun teratur di atas keyboard, sesekali berhenti untuk mengerutkan alis, lalu mengetik ulang dengan lebih presisi. Di meja kecil itu ada mug cokelat hangat yang mulai kehilangan uapnya, sebungkus biskuit yang sudah terbuka setengah, dan buku catatan penuh coretan strategi untuk wawancara hari Jumat.
Malam itu bukan sekadar persiapan interview; malam itu terasa seperti ritual melepas masa lalu dan menyambut sesuatu yang tidak bisa ia definisikan dengan jelas namun ia rasakan di dada—sebuah antisipasi halus yang tidak meluruh meski hari telah larut.
Setelah dua jam berkutat dengan coding dan membaca ulang materi yang sudah ia persiapkan, Embun menutup laptopnya perlahan. Suara "klik" kecil dari penutup laptop terdengar jelas di ruangan yang sunyi, dan justru suara itulah yang menjadi penanda bahwa malamnya baru saja bergeser dari produktivitas… ke sesuatu yang lebih personal.
Ponselnya tergeletak di samping bantal sofa, layarnya gelap, namun entah kenapa terasa seperti magnet yang menarik perhatian. Embun mengambilnya, menatap layar sejenak, menghela napas, dan tanpa terlalu memikirkan apa pun, ia membuka chat yang bahkan belum ia beri nama yang benar: Mr. Don’t Know.
Perutnya bergetar kecil—campuran gugup dan geli pada dirinya sendiri. Entah apa yang membuatnya nekat, entah dari mana datangnya keberanian setipis tisu yang bisa robek kapan saja itu, tapi ia menekan tombol record voice note.
Suara Embun keluar pelan, lembut, dan sedikit bergetar karena grogi yang ia tutupi setengah mati.
Embun: "Haaaai Mister… udah tidur?"
Begitu voice note itu terkirim, Embun langsung menutup wajahnya dengan satu tangan sambil menendang-nendang udara, seperti seseorang yang baru saja melakukan sesuatu yang tidak ia pikirkan matang-matang namun terlalu terlambat untuk ditarik kembali.
Tak lama kemudian, voice note balasan muncul.
Mr. Don’t Know: "Mister?"
Suaranya terdengar bingung, heran… tapi hangat. Seperti seseorang yang menahan tawa.
Embun kembali menekan tombol record, kali ini dengan pipi panas dan senyum yang tidak bisa ia hilangkan.
Embun: "Hu uh… karena gue nggak tau nama lo, jadi lo gue panggil Mister aja."
Lalu ia terkikik kecil.
Dalam diamnya, Embun merasakan jantungnya memukul dadanya dari dalam, pelan tapi intens.
Balasan pria itu datang hampir seketika.
Mr. Don’t Know: "Okey… berarti gue panggil lo ‘Miss’, ya. Nggak apa kan?"
Embun memejamkan mata sambil tersenyum, lalu menyandarkan punggung ke sofa, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam kenyamanan yang tiba-tiba terasa dekat.
Ia membalas lagi.
Embun: "Nggak apa-apa. Malah cocok. Mister dan Miss."
Ada jeda beberapa detik setelah pesan itu terkirim—hening yang tidak canggung, melainkan hening yang justru terasa manis. Seperti dua orang yang sebenarnya bisa saja saling menanyakan nama, saling bertukar identitas, tapi entah kenapa mereka berdua sudah nyaman berada dalam ruang kecil bernama ketidaktahuan yang justru membuat semuanya terasa lebih ringan dan intim.
Dalam voice note berikutnya, Embun tidak sengaja menghela napas agak berat. Nafas itu keluar begitu saja dari kelelahan dan sedikit ketegangan yang ia simpan sepanjang hari—napas yang ia sendiri tidak sadari terdengar jelas sampai pria di seberang sana menanyakannya.
Mr. Don’t Know: "Kenapa suara lo? Kayaknya beban hidup lo berat banget?"
Nada suaranya bercampur khawatir dan bercanda dengan porsi yang pas.
Embun justru tertawa kecil, tawa yang jujur, tawa yang datang dari rasa lega karena ternyata ada seseorang yang memperhatikan hal sekecil itu. Tanpa menyadari apa yang sedang ia lakukan dan tanpa menyaring kata-katanya terlalu lama, Embun menekan tombol record lagi.
Dan dari bibirnya keluarlah kalimat yang bahkan membuat dirinya terkejut ketika mendengarnya kembali.
Embun: "Kalo gue pengen kita call-an… bisa?"
Begitu voice note itu terkirim, Embun membeku. Suara detak jam terasa lebih keras. Angin yang masuk dari jendela terdengar lebih pelan namun menusuk.
Ia menunggu. Dan menunggu. Dan terus menunggu.
Satu menit berlalu. Lalu dua menit. Lalu hampir tiga.
Tidak ada voice note masuk. Tidak ada balasan teks. Tidak ada reaksi.
Embun memegang ponselnya dengan kedua tangan, jempolnya saling menekan seperti orang yang sedang berdoa agar bumi tidak menelannya bulat-bulat.
Namun tepat ketika ia mulai berpikir bahwa ia sudah kebablasan, bahwa ia sudah bersikap terlalu agresif, terlalu jujur, terlalu… “Embun banget”— ponselnya tiba-tiba berdering.
Nada deringnya memecah keheningan seperti cahaya kecil yang masuk tiba-tiba ke ruangan gelap.
Di layar tertera panggilan masuk: Mr. Don’t Know
Foto profilnya hanya siluet seorang laki-laki yang membelakangi kamera, berdiri di bawah cahaya jalanan yang redup. Siluet itu misterius, tapi sekaligus menenangkan, seolah memanggil Embun untuk membuka pintu yang selama ini ia jaga rapat.
Jantung Embun melonjak ke tenggorokan. Tangannya gemetar, tapi bibirnya tersenyum.
Untuk pertama kalinya malam itu, ia merasa… tidak sendirian.
**
tbc