Lima mahasiswa mendaki Gunung Arunika untuk hiburan sebelum skripsi. Awalnya biasa—canda, foto, rasa lelah. Sampai mereka sadar gunung itu tidak sendirian.
Ada langkah ke-enam yang selalu mengikuti rombongan.
Bukan terlihat, tapi terdengar.
Dan makin lama, makin dekat.
Satu per satu keanehan muncul: papan arah yang muncul dua kali, kabut yang menahan waktu, jejak kaki yang tiba-tiba “ada” di tengah jejak mereka sendiri, serta sosok tinggi yang hanya muncul ketika ada yang menoleh.
Pendakian yang seharusnya menyenangkan berubah jadi perlombaan turun gunung… dengan harga yang harus dibayar.
Yang naik lima.
Yang turun… belum tentu lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irmann Nhh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6 – Yang Tahu Pintu, Yang Dicari Penjaga
Kami lari tanpa sempat lihat ke belakang. Tanah becek, akar pohon licin, ranting nusuk kaki, tapi rasa takut jauh lebih kuat daripada rasa sakit. Tubuh cuma pengin jauh dari tenda itu.
Sampai napas hampir habis, Lintang akhirnya berhenti duluan, tangannya nyentuh batang pohon besar kayak mau jatuh. Aku juga berhenti—bukan karena mau, tapi karena kepala muter kalau dipaksain lari terus. Sari terisak sambil pegangan lenganku erat banget sampai jari dinginnya sakit.
“Gue… gue nggak mau mati,” Sari bisik. “Gue nggak mau kayak Dimas sama Arif… gue pengin pulang…”
Aku nggak bisa ngomong apa-apa. Itu bukan janji yang bisa kutepati.
Lintang berdiri sambil nahan lehernya, nafasnya tersengal parah. Kuperhatikan tubuhnya goyah, kuku-kukunya gemetar, dan cara dia lihat sekeliling berubah — kayak orang yang lagi dengar dua dunia sekaligus. Dunia kita… dan sesuatu yang kita nggak bisa lihat.
Dia akhirnya berkata lirih, suaranya berat: “Dia nggak mau kita semua.”
Sari memekik. “Terus siapa yang dia mau?! Siapa duluan yang mati?!”
Lintang menatapnya hanya satu detik. Dan itu cukup untuk bikin Sari langsung terdiam.
Dia bukan ngancam. Bukan nakutin.
Dia cuma… tahu sesuatu.
Aku pelan narik napas. “Lintang… ada apa sebenarnya? Kenapa dari tadi kamu paling ngerti semua ini?”
Lintang nggak jawab langsung. Dia lihat ke tanah. Lama.
Akhirnya dia bilang: “Ini bukan pertama kali gue ke Gunung Arunika.”
Aku merinding. Sari langsung mundur setengah langkah.
“Waktu SMA… kelas dua… gue ke sini sama sepupu gue.” Dia bicara pelan, nadanya bukan cerita, tapi seperti mengulang sesuatu yang sudah dia coba lupakan. “Rencananya cuma naik sampai pos dua. Tapi sepupu gue maksa lanjutin sampai puncak. Katanya ada tempat keramat yang ‘nggak boleh dilewati malam hari’, jadi dia penasaran.”
Napas Lintang makin berat. “Di perjalanan, kami denger suara anak kecil manggil. Sepupu gue langsung ngejar suara itu. Gue coba tahan dia.”
Lintang tersenyum getir. “Tapi gue kalah kuat.”
Sari menutup mulut, shock. “Sepupu lo… hilang?”
Lintang mengangguk pelan. “Dia hilang. Nggak pernah ketemu. Dan pas turun, cuma gue yang pulang.”
Kami diam. Hutan seperti menelan suara kami.
Lintang melanjutkan, suara pecah: “Sejak itu gue tahu… gunung nggak pernah ambil orang sembarangan. Dia ambil orang yang… punya pintu buat dibuka.”
Aku bingung. “Pintu apa?”
Lintang menggeleng pelan. “Pintu kesedihan. Penyesalan. Kehilangan. Rasa bersalah. Apa pun yang bikin hati kita bolong.”
Sari terduduk, suara tercekat: “Jadi… dia pilih orang berdasarkan luka batinnya?”
Lintang menatap kosong ke depan. “Dimas punya adik yang meninggal dan dia nggak bisa maafin dirinya sendiri.”
“Arif kehilangan ibunya dan nunggu sesuatu yang nggak akan balik.”
Dia berhenti sebentar sebelum bicara lagi, suaranya turun sampai nyaris bisikan:
“Kalian pikir kenapa dia datang ke gue sekarang?”
Aku merasakan tenggorokan tercekat. “Sepupu kamu…”
Lintang mengangguk, air mata jatuh tanpa suara. “Yang dateng ke tenda tadi bukan makhluk asing buat gue. Itu wujud sepupu gue… atau seseorang yang cuma pakai bentuknya. Tapi suaranya sama.”
Sari memeluk dirinya sendiri, gemetar parah.
“Kalau dia mau Lintang… kenapa dia ngikutin aku dulu? Kenapa bukan langsung ke kamu, Lin?”
Dan itu… pertanyaan paling menakutkan.
Lintang akhirnya menjawab, lirih: “Karena dia nggak bisa ambil gue kalau gue belum mau.”
Sunyi langsung jatuh ke hutan, lebih berat dari sebelumnya.
Lintang lanjut pelan, seperti bicara dengan luka sendiri: “Sepupu gue lari ke suara itu karena dia pikir suaranya nyata. Gue nggak.”
“Tapi kalau saat tadi gue nolong kalian… kalau gue pilih lari sendirian… kalau gue putus asa… kalau gue berhenti berjuang… pintu gue ke dia bakal kebuka lagi.”
“Dan dia sabar.”
Sari akhirnya nggak tahan. “Terus kenapa dia ke aku?! Gue nggak punya trauma apa-apa! Gue bukan orang rusak!”
Lintang menatapnya dalam — bukan merendahkan, tapi penuh iba. “Sari… waktu kamu bilang nggak kehilangan siapa pun… kamu bohong.”
Sari refleks mundur. “Aku… aku nggak—”
“Bukan orang,” potong Lintang. “Kamu kehilangan dirimu sendiri. Kamu tahu itu. Kamu nggak pernah ngerasa cukup. Nggak pernah merasa layak. Kamu benci kalau orang ninggalin kamu… makanya kamu selalu berusaha jadi ‘yang kuat’ supaya nggak ada yang pergi lagi.”
Sari jatuh berlutut, menangis sesenggukan.
Bukan karena marah, tapi karena… kebenaran itu kena tepat di hatinya.
Aku cuma bisa meluk Sari, meski aku tahu pelukan itu sama sekali nggak menyelesaikan apa pun.
---
Tiba-tiba terdengar suara dari dalam hutan — bukan suara tertawa, bukan langkah, tapi teriakan minta tolong.
Teriakan laki-laki.
Dan kami semua kenal suara itu.
Arif.
Jauh, tapi jelas. Panik. Ketakutan.
“SARI!! RAKA!! LIN!! TOLONG!! ADA DIA DI SINI!! GUE DITAHAN!! GUE GABISA LARI!!”
Sari langsung mau lari ke arah suara, tapi aku tahan.
“Enggak! Jangan ke sana dulu!”
Tapi dia histeris. “ITU ARIF, RAKA! KITA GAK BISA BIARIN DIA MATI!”
Lintang juga dengar suara itu — aku tahu dari wajahnya. Tapi dia tetap menggenggam bahu Sari keras-keras.
Udara malam terasa membeku.
Lintang akhirnya berkata dengan suara rendah yang hampir nggak kedengaran:
“Itu bukan Arif. Itu gunung. Dia nyamar jadi Arif untuk buka pintu kamu.”
Sari menatapnya, shock dan marah sekaligus.
“Lintang! Itu suara ARIF! Kamu denger sendiri!”
“Gue denger.”
Lintang menelan ludah, matanya berkaca-kaca.
“Tapi gue juga tahu Arif nggak akan manggil kita ke jurang.”
Teriakan berikutnya lebih jelas, lebih putus asa: “SARII! CEPAT! KALAU BUKAN LO YANG DATANG GUE MATIII!”
Sari goyah seakan lututnya lepas tenaga.
Aku pegang wajahnya, paksa dia lihat aku.
“Sar… kita nggak datang atas panggilan. Kita datang kalau kita yakin tempat itu aman. Kita pikir pakai kepala, bukan rasa bersalah.”
Sari menutup telinganya, teriak kesal: “Aku nggak peduli yang panggil siapa! Kalau itu Arif beneran dan kita gak nolong—”
Lintang membentak untuk pertama kalinya: “Kalau kamu ke sana, kamu nggak balik.”
Suara hutan kembali hening. Tapi kini ada suara lain:
kesakitan, ketakutan, dan keputusan.
Sari menatap kami berdua, air mata turun deras: “Kalian bebas mau pulang atau enggak. Tapi aku nggak bakal biarin temanku mati sendirian.”
Dia berdiri, tubuh gemetar, tapi tekadnya mengunci langkahnya.
Tanpa nunggu jawaban, dia jalan cepat ke arah asal suara Arif.
Aku refleks mau narik dia, tapi Lintang nahan lenganku.
“Jangan paksa dia, Ka.”
“Kalau kita biarin dia pergi sendirian dia mati!”
Lintang menatapku, suaranya pecah: “Kalau kita maksain dia tinggal, dia mati juga.”
Aku terdiam.
Karena aku sadar yang paling berbahaya sekarang bukan hantu… tapi pilihan yang salah.
Lintang menghela napas panjang, lalu mengucapkan tiga kata yang benar-benar mengerikan:
“Dia udah terpilih.”
Dan untuk pertama kalinya sejak pendakian dimulai… aku lihat Lintang menangis.
pintu tertutup terbuka aja
lama banget horonrnya datang
geram sekali sama mereka main kabur aja
terasa banget horor nya.
aku suka horor