Cantika yang bekerja sebagai kurir harus menerima pernikahan dengan yoga Pradipta hanya karena ia mengirim barang pesanan ke alamat yang salah .
Apakah pernikahan dadakan Cantika akan bahagia ??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjay22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari pertama kuliah
Cantika melangkah memasuki gedung Fakultas Ekonomi, jantungnya berdebar kencang. Bau buku baru bercampur aroma kopi dari kafe kampus menyeruak, menciptakan suasana asing sekaligus menggairahkan.
Ia sudah lama tidak merasakan perasaan ini,perasaan menjadi seorang mahasiswa, bukan sekadar menantu di rumah megah.
Ia berjalan lurus, mencari ruang kuliah yang tertera di jadwalnya: Ruang E.203, mata kuliah Pengantar Bisnis.
Begitu sampai di depan pintu, ia berhenti sejenak. Ia merapikan rambutnya, memegang erat tali tas punggung barunya. Ia menarik napas dalam, mengingat kata-kata Yoga: “Kamu harus berani.”
Ia membuka pintu dan masuk. Ruangan itu sudah terisi sekitar dua puluh mahasiswa, didominasi wajah-wajah muda yang terlihat baru lulus SMA. Cantika merasa dirinya seperti ‘kakak kelas’ yang nyasar, padahal ia adalah mahasiswa baru sejati.
Ia mencoba mencari tempat duduk yang tidak terlalu mencolok. Untungnya, di barisan tengah masih ada kursi kosong di samping seorang gadis berkacamata tebal yang terlihat fokus membaca.
“Permisi, boleh saya duduk di sini?” tanya Cantika sopan.
Gadis itu mendongak. Ia punya rambut hitam lurus yang diikat ekor kuda dan wajah yang serius. “Oh, tentu saja. Silakan.”
Cantika duduk, berusaha tidak menimbulkan suara. Ia mengeluarkan buku catatan dan pulpen, mencoba terlihat siap.
“Kamu juga mahasiswa transfer?” tanya gadis itu ramah, tapi pandangannya kembali ke buku.
“Bukan, aku mahasiswa baru. Tapi memang usianya sudah… agak telat,” jawab Cantika sambil tersenyum canggung.
Gadis itu tertawa kecil. “Nggak apa-apa, kok. Semangat buat belajar kan nggak ada batas usia. Kenalin, namaku Amara. Panggil aja Mara. Aku dari jurusan Akuntansi.”
“Aku Cantika. Dari Ekonomi Bisnis. Senang kenalan sama kamu, Mara.”
“Sepertinya kita akan sering ketemu, karena matkul dasar kita sama semua,” kata Mara, sebelum seorang dosen berkemeja batik memasuki ruangan.
-----
Dosen itu memperkenalkan diri sebagai Pak Arifin, seorang praktisi bisnis yang mengajar. Kelas dimulai dengan pengantar yang serius tentang dunia korporat dan tantangannya. Cantika mencatat dengan antusias.
Semua informasi ini terasa relevan dan mendebarkan, jauh lebih menarik daripada harus menghafal suhu ideal untuk memanggang macaron.
Namun, di tengah-tengah sesi, Cantika mulai merasakan sesuatu yang aneh. Beberapa pasang mata, terutama dari kelompok mahasiswa di belakang, terlihat sering melirik ke arahnya. Bukan tatapan ramah, melainkan tatapan penasaran yang cenderung menilai.
Cantika mencoba mengabaikannya, fokus pada penjelasan Pak Arifin tentang supply chain.
Saat kelas selesai, para mahasiswa mulai berhamburan keluar. Cantika berkemas perlahan, menunggu keramaian mereda.
“Cantika, mau langsung ke kelas Pengantar Akuntansi?” tanya Mara.
“Aku bawa bekal, Mara. Mau cari tempat duduk sebentar, sekalian review catatan,” jawab Cantika.
“Oh, oke. Sampai jumpa di kelas berikutnya ya!”
Saat Cantika berjalan menuju taman kampus, ia mendengar bisikan-bisikan dari sekelompok mahasiswa yang berdiri tidak jauh dari lokernya.
“Itu kan si Cantika… cewek yang nikah sama Yoga Pradipta, anak tunggalnya Pak pradipta ,” bisik seorang gadis dengan rambut dicat blonde.
“Serius? Yang dulu pernikahannya heboh karena tiba-tiba itu? Dia kuliah di sini?” sahut temannya.
“Iya! Gosipnya sih, dia dijodohkan, makanya kuliahnya juga diurus Papa mertuanya. Lihat gayanya, tasnya aja branded,” tambah gadis blonde itu, matanya menyapu Cantika dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan sinis.
Jantung Cantika mencelos. Oh tidak. Gosip itu sudah sampai ke kampus.
Cantika memang tidak berniat menyembunyikan statusnya, tapi ia juga tidak mau status itu menjadi label yang melekat padanya. Ia ingin dikenal karena prestasinya, bukan karena ia 'Istri Tuan Muda Pradipta' yang kuliahnya dibiayai mertua.
Ia berusaha berjalan melewati mereka tanpa ekspresi, tapi rasanya setiap langkah terasa berat.
----
Cantika memutuskan untuk makan siang di area yang lebih tenang, jauh dari keramaian. Ia menemukan bangku di bawah pohon rindang dan membuka kotak bekal yang sudah ia siapkan pagi-pagi sekali nasi goreng simple yang ia masak sendiri.
Saat ia sedang menyantap bekalnya, sebuah suara menyapanya.
“Boleh gabung?”
Cantika mendongak. Seorang pemuda tampan, tinggi, dengan style yang sangat casual tapi rapi, berdiri di depannya. Ia tersenyum ramah, membawa nampan berisi makanan kantin.
“Oh, silakan,” kata Cantika, sedikit terkejut.
Pemuda itu duduk. “Namaku Dimas. Dari Hukum, tapi sepertinya kita seangkatan.”
“Aku Cantika,” jawab Cantika, tersenyum kecil.
“Aku sering
lihat kamu di linimasa bisnis. Kamu istri Yoga Pradipta, kan?” tanya Dimas langsung, tanpa basa-basi.
Cantika tersentak. Ia mengira Dimas akan bersikap basa-basi dulu, tapi ternyata tidak.
Ia mengangguk pelan. “Iya, benar.”
“Aku teman lama Yoga. Kami satu SMA. Dia cerita dia menikahi wanita yang hebat dan berani melanjutkan kuliah setelah menikah,” kata Dimas, matanya tulus.
Cantika merasa lega. Ternyata tidak semua orang datang dengan prasangka buruk.
“Ah, nggak hebat juga. Aku cuma dapat kesempatan dari Papa,” ujar Cantika merendah.
“Kesempatan itu harus diambil, Cantika. Dan Pak pradipta itu bukan orang yang memberikan kesempatan cuma-cuma. Pasti beliau melihat sesuatu di dirimu,”
Dimas meneguk airnya. “Tapi, aku peringatkan. Di sini… ada yang namanya ‘kompetisi sosial’.”
“Kompetisi sosial?”
“Iya. Kebanyakan mahasiswa di sini berasal dari keluarga yang cukup berada. Mereka sensitif terhadap ‘anak orang kaya baru’ atau yang mendapat ‘privilege’. Apalagi statusmu yang menikah dengan Yoga, itu pasti jadi bahan gosip.”
Cantika menghela napas. “Aku sudah dengar sedikit tadi.”
“Jangan dipedulikan,” kata Dimas tegas. “Di kampus ini, yang dihitung itu nilai dan kecerdasan, bukan siapa suamimu atau brand tasmu. Kalau mereka mengganggumu, bilang saja. Aku bisa bantu.”
“Terima kasih, Dimas. Itu baik sekali.”
“Sama-sama. Oh, ya. Aku dengar kamu masuk jurusan Ekonomi Bisnis. Itu berat, Cantika. Persiapkan diri. Terutama mata kuliah Microeconomics di semester dua. Itu pembantai.”
Cantika tertawa. Ketegangan yang ia rasakan perlahan mencair. Dimas, teman lama suaminya, tanpa sadar memberinya dukungan yang ia butuhkan
-----
Sore harinya, Yoga menjemput Cantika tepat waktu. Di mobil, Cantika bercerita tentang kelas yang menarik, tentang Mara yang ramah, dan tentu saja, tentang Dimas dan gosip yang beredar.
“Dimas? Dia memang baik. Nanti aku sampaikan terima kasih padanya. Soal gosip, biarkan saja. Mereka cemburu karena mereka nggak bisa jadi kamu,” kata Yoga santai.
“Tapi Mas, aku nggak mau statusku ini jadi alasan aku diperlakukan beda. Aku mau mereka melihatku sebagai Cantika, mahasiswa yang pintar.”
“Kalau begitu, buktikan. Nilai sempurna akan membungkam semua gosip mereka,” tantang Yoga, sambil tersenyum.
Malam itu, setelah Bu Ratna puas dengan laporan Cantika tentang jadwal kuliahnya (dan sedikit melontarkan sindiran tentang betapa muda dan kurang berwibawanya dosennya), Cantika masuk ke kamar.
Ia mengeluarkan semua buku dan catatannya. Ia duduk di meja belajar baru yang dibelikan Yoga.
Yoga datang membawa dua cangkir teh hangat.
“Ini, biar nggak tegang,” kata Yoga, meletakkan teh di meja.
“Makasih, Mas. Aku lagi pusing ini,” kata Cantika, memijat pelipisnya.
“Kenapa? Tugas sudah banyak?”
“Bukan, Mas. Ini soal target. Papa jelas-jelas mau aku jadi partner bisnisnya. Aku harus dapat nilai bagus. Aku nggak bisa main-main. Apalagi Microeconomics katanya pembantai,” keluh Cantika.
Yoga duduk di kursi sampingnya. “Nah, ini baru Cantika yang aku kenal. Penuh ambisi.”
“Aku nggak mau mengecewakan Papa, dan aku nggak mau Mama kembali menyindirku. Aku harus bisa, Mas. Aku harus buktikan pada mereka, dan pada semua orang di kampus itu, kalau aku bukan sekadar trophy wife yang dikuliahkan.”
Yoga tersenyum, melihat semangat di mata istrinya. Itu adalah api yang pernah padam, dan kini menyala kembali karena kesempatan yang diberikan.
“Aku tahu kamu bisa, Cantika. Dan kalau kamu butuh bantuan, aku siap jadi coach dan partner belajarmu. Aku kan lulusan Teknik, otakku masih lumayan encer,” canda Yoga.
“Benar, Mas? Kamu mau bantu aku review akuntansi dan ekonomi?”
“Tentu saja. Kita tim, kan? Tapi ada syaratnya.”
“Apa?”
“Kalau aku bantu kamu belajar sampai jam dua belas malam, kamu harus bikinin aku brownies bantat lagi, di akhir pekan,” goda Yoga.
Cantika memukul pelan bahu suaminya. “Dasar! Tapi deal! Aku akan buat brownies yang nggak bantat buat kamu. Tunggu saja.”
Mereka tertawa. Di tengah tumpukan buku tebal, di bawah tekanan dari keluarga dan bisikan dari kampus, mereka menemukan momen kecil kebersamaan dan janji untuk saling mendukung.
Cantika memandangi laptopnya. Hari pertamanya memang penuh drama gosip dan ketegangan akademik. Tapi ia telah memutuskan.
Ia tidak akan lari. Statusnya sebagai ‘Istri Tuan Muda Pradipta’ mungkin memberinya pintu masuk, tapi kecerdasan dan kerja kerasnya sendiri yang akan membuatnya tetap di sana.
Salut sama bu Ratna...yang sabar dan telaten. ngajari Cantyka...
Semangat Cantyka...nggak butuh waktu lama kamu pasti lulus pelatihan oleh mama mertu 😍😍
Cantyka pasti mudah belajar menjadi pendamping pebisnis.
Dedemit...aku suka caramu memperlakukan Cantyka....semoga langgeng yaaas😍😍