Lanjutan Beginning And End Season 2.
Setelah mengalahkan Tenka Mutan, Catalina Rombert berdiri sendirian di reruntuhan Tokyo—saksi terakhir dunia yang hancur, penuh kesedihan dan kelelahan. Saat dia terbenam dalam keputusasaan, bayangan anak kecil yang mirip dirinya muncul dan memberinya kesempatan: kembali ke masa lalu.
Tanpa sadar, Catalina terlempar ke masa dia berusia lima tahun—semua memori masa depan hilang, tapi dia tahu dia ada untuk menyelamatkan keluarga dan umat manusia. Setiap malam, mimpi membawakan potongan-potongan memori dan petunjuk misinya. Tanpa gambaran penuh, dia harus menyusun potongan-potongan itu untuk mencegah tragedi dan membangun dunia yang diimpikan.
Apakah potongan-potongan memori dari mimpi cukup untuk membuat Catalina mengubah takdir yang sudah ditentukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 : Rencana Pergi Ke Sekolah Baru.
Angin malam berembus lembut—“swooosh… swooosh…—seolah tangan yang lembut menyentuh wajah, membawa aroma bunga melati yang tumbuh di sudut halaman dan bau rumput basah akibat embun. Lampu-lampu hias yang tadinya menyala terang seperti mata bintang kini meredup, filamennya berdenyut-denyut lambat—“kelip… kelip… kelip…—menyebarkan kilau lembut keemasan yang memantul di setiap helai rumput, membuatnya tampak seperti padang mutiara yang melayang di malam hari. Udara terasa sejuk tapi tidak dingin, hanya cukup untuk membuat rambut bergerak dan kulit terasa segar.
Crkk… crkk… crkk… Suara kaki di kerikil terdengar jelas di kedamaian malam, setiap langkah Shinn yang melangkah mundur membuat bunyi yang teratur dan menenangkan. Tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket hitamnya yang tebal, bahunya sedikit membungkuk seolah membawa beban tersembunyi yang hanya dia yang tahu. Senyumnya setengah dingin, bibirnya hanya terangkat sedikit di sudut—seolah tidak mau menunjukkan terlalu banyak perasaan—namun matanya… matanya yang berwarna merah tua seperti batu api yang membara, dengan rambut panjang silver gelap yang bercampur gradasi merah tua tergantung di wajahnya—menyala dengan hangat yang tidak sesuai dengan ekspresi wajahnya. Dia melangkah mundur perlahan, mata selalu menatap Catalina yang berdiri di teras, seolah ingin mengingat setiap detil wajah anak kecil itu.
Catalina berdiri di teras kayu yang sedikit bergoyang ketika angin menyentuh—“krek… krek…—rambut putih-pink-nya melambai perlahan ikut terbawa angin, seolah aliran awan muda yang melayang di atas awan malam. Dia memegang pagar teras dengan satu tangan, jari-jari kecilnya menekan kayu yang kasar, sedangkan tangan lain diangkat pelan untuk melambai—gerakannya lembut seperti burung yang sedang mengepak sayap. Wajahnya tampak lelah—bintik-bintik kemerahan ada di pipinya, mata biru muda nya sedikit meradang—namun penuh semangat, matanya memantulkan cahaya lampu hias yang meredup, membuatnya terlihat seperti bintang kecil yang turun ke bumi untuk menyelamatkan seseorang.
“Sampai jumpa, Shinn!” kata Catalina dengan suara lembut namun sarat semangat—suaranya terdengar seolah disemprotkan embun, lembut tapi jelas menyentuh telinga Shinn. Dia sedikit membungkuk badan, senyumnya lebar dan tulus sampai menimbulkan kerut di sudut mata, alisnya terangkat tinggi menunjukkan kegembiraan yang tulus. Dia menggerakkan tangan yang melambai lebih cepat sedikit, seolah tidak mau Shinn pergi terlalu cepat.
Shinn berhenti sejenak, kaki nya berhenti menginjak kerikil—crkk…—bunyi itu berhenti seketika. Dia menoleh, bibirnya terangkat sedikit lebih tinggi—senyumnya kini terlihat lebih nyata, meskipun masih terasa sedikit dingin. “Kapan-kapan kita main lagi… Catalina.” Nada suaranya terdengar santai, bahkan sedikit malas, tapi sorot matanya—yang tadinya hangat—sekarang menyipit sedikit, seolah ia sedang membaca sesuatu di aura Catalina yang tersembunyi di balik wajah anak seusianya. Dia melihat ke arah punggung Catalina, di mana tadi ada api pink yang menyala dengan terang, lalu kembali menatap matanya dengan pandangan yang mendalam—seolah tahu rahasia yang Catalina sembunyikan.
Catalina mengangguk kecil, lehernya bergerak perlahan seolah takut merusak kedamaian malam yang langka. Dia mencoba menyembunyikan rasa hangat yang merambat di dadanya—rasa yang seolah ada bara kecil yang menyala di dalamnya, membuatnya merasa hangat meskipun angin menyentuh—dengan menundukkan kepala sebentar, rambut putih-pink nya menutupi sebagian wajahnya. Kemudian dia mengangkat kepala lagi, senyumnya masih ada tapi sedikit lebih tenang, matanya menatap Shinn dengan pandangan yang sama mendalam—seolah mengatakan “aku tahu kamu mengerti” tanpa perlu bicara.
Begitu Shinn melanjutkan langkahnya dan menghilang di tikungan jalan—crkk… crkk…—bunyi kerikilnya semakin redup sampai hilang total, Catalina menghela napas panjang—“fuuuhh…—napasnya keluar dengan suara lega yang terasa merambat dari dada ke leher. Dia menundukkan kepala sedikit, bahunya membungkuk lebih rendah, matanya setengah terpejam. Rasa lelah yang tadinya tertahan dengan semangat kini meluap, membuat tubuhnya terasa berat seperti terisi batu, setiap ototnya merasa lelah dan pegal.
“Akhirnya… misi pertama ku selesai…” pikirnya dalam hati, suara batinnya lembut tapi penuh lega. Rasa lega yang besar meluap seolah beban yang berat di punggungnya terbuang ke langit. Tapi di balik itu, ada tekanan berat yang masih mengendap—seolah ada awan gelap yang masih mengikuti dia di mana pun dia pergi. Matanya sedikit terbuka, melihat ke langit malam yang penuh bintang—bintang-bintang yang berkilau seolah menari—dan dia merasakan bahwa apa yang tadi terjadi hanyalah permulaan dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang akan menguji kekuatan dia dan teman-temannya. “Kurumi… apakah dia benar-benar aman? Apa kutukan itu akan kembali menyakitinya?” pikirnya, jari-jari nya menekan pagar teras lebih kuat sampai kulitnya sedikit memerah.
“slorrrp…” Begitu pintu geser rumah Kei & Reina dibuka dengan suara lembut yang khas, hawa hangat dari dalam rumah langsung menyelimuti Catalina—hawa yang terasa seperti pelukan hangat dari seseorang yang dicintai. Bau roti bakar yang masih hangat dan rempah-rempah yang digunakan untuk hidangan malam menyebar di udara, membuatnya merasakan kenyamanan yang mendalam, membuat tubuhnya sedikit rileks dan rasa lelahnya sedikit mereda. Cahaya lampu dalam rumah menyala terang, menyinari wajah Catalina yang lelah dan membuatnya merasa aman.
Di ruang tamu yang luas dan cerah, semua orang berkumpul dengan suasana yang hangat dan meriah—suara tawa, obrolan, dan tawa anak-anak memenuhi ruangan. Kei dan Reina berdiri di dekat meja kayu besar yang dipenuhi hadiah-hadiah berwarna-warni: Kei berdiri tegak dengan rambut coklat tua yang rapi dan mata biru muda yang tajam—dia menautkan kedua tangan di belakang pinggangnya, aura pemimpin yang kuat terasa jelas dari tubuhnya—sedangkan Reina berdiri di sampingnya dengan rambut panjang terurai berwarna hitam yang menggemukkan wajahnya, mata pink nya memancarkan kehangatan yang membuat semua orang merasa nyaman. Mereka sedang berbicara pelan, matanya seringkali melirik ke arah pintu seolah menunggu seseorang—dan ketika Catalina masuk, mata mereka langsung menyala dengan kegembiraan.
Chins dan Hiro sedang membereskan hadiah-hadiah yang tersebar di meja: Chins dengan rambut panjang berwarna abu-abu yang lembut dan mata abu-abu yang tenang memegang bungkus kado dengan teliti, sedangkan Hiro dengan rambut hijau belah tengah yang rapi dan kacamata bulat mengatur mereka dengan rapi—dia tersenyum lebar ketika melihat Catalina masuk. Andras dan Leon duduk bersandar di sofa kulit coklat yang nyaman: Andras dengan rambut biru muda yang lembut menyandarkan kepala di pundak Leon, sedangkan Leon dengan rambut coklat gelap memegang cangkir teh hangat—mereka berbicara pelan-pelan dengan suara yang hanya mereka berdua yang bisa dengar, tapi ketika Catalina mendekati, mereka langsung berhenti dan menatapnya dengan ekspresi lembut.
Di sudut ruangan yang lebih tenang, Havik dan Rinne tampak sibuk dengan Yoru, Matsu, Kasemi, dan Kurumi yang masih bersemangat meski mata mereka sudah sayu dan mengantuk. Havik dengan rambut panjang yang diikat menjadi ponytail dan mata hijau yang tajam sedang memainkan bola dengan anak-anak, sedangkan Rinne dengan rambut panjang putih yang bercampur ungu dan biru muda sedang memberikan camilan kepada mereka. Yoru dengan mata kiri kuning cerah dan mata kanan biru tua sedang berlari-lari di sekitar meja kecil, sedangkan Matsu dengan rambut hitam panjang yang memiliki highlight pink gelap dan bando putih di kepala sedang tertawa melihat Yoru yang terlalu serius. Kasemi dengan rambut hitam panjang yang diikat dan mata ungu gelap sedang duduk tenang di kursi kecil, sedangkan Kurumi—mata kirinya masih terlihat sedikit merah di pinggirnya bekas rasa sakit dari kutukan Tenka—sedang bermain dengan mainan kucing yang lucu, meskipun tubuhnya kadang-kadang sedikit gemetar.
Catalina meletakkan tas kecilnya yang berwarna pink dengan gambar bunga mawar di atas rak dekat pintu—“thump…—suaranya lembut sehingga tidak mengganggu suasana. Dia berjalan perlahan mendekati orang tuanya yang sedang duduk di sofa, langkahnya sedikit lambat karena lelah—setiap langkah membuat lututnya sedikit pegal. Wajahnya menurun sedikit, matanya setengah terpejam, dan dia memegang ujung baju Andras yang berwarna biru muda dengan jari-jari yang lembut—gerakannya seolah mencari dukungan dan rasa aman dari ibunya.
“Mami… aku udah capek…” katanya pelan, suaranya terdengar lembut seperti bisikan yang hanya bisa didengar oleh Andras dan Leon. Dia sedikit menyandarkan badan ke arah Andras, bahunya membungkuk lebih rendah, dan matanya semakin terpejam. Wajahnya tampak lelah dan sedikit sedih, alisnya menurun membentuk lekukan yang menunjukkan betapa lelahnya dia.
Andras langsung menoleh dengan ekspresi yang berubah total—dari sisi “Ratu Iblis Es” yang kuat dan ditakuti dunia, kini menjadi seorang ibu yang penuh kasih dan perhatian. Matanya membelalak sedikit, senyum lembut muncul di wajahnya sampai menimbulkan kerut di sudut mata, dan ia membelai rambut Catalina dengan gerakan perlahan—jari-jari nya melintasi rambut putih-pink itu dengan lembut seperti menyentuh bulu burung yang lembut. “Kresek… kresek…” suara rambut yang digosok terasa lembut di udara, membuat Catalina merasa lebih tenang.
“Baiklah, putri kecil Mama…” Nada suaranya tenang dan teduh, seolah ia bisa menenangkan badai apapun yang datang. Dia menarik Catalina agar menyandarkan kepala di pundaknya, dan Catalina segera mengikuti—badannya rileks sepenuhnya, kepalanya menyandarkan dengan nyaman, dan rasa lelahnya semakin meluas tapi terasa nyaman. Andras melanjutkan mengelus rambut Catalina dengan lembut, sambil bernyanyi lagu anak kecil yang lembut di telinganya.
Leon berdiri perlahan dari sofa—“krek…—suara sofa yang bergeser terdengar lembut. Dia menepuk pundaknya sendiri dengan tangan yang kuat, lalu berkata kepada semua orang dengan suara yang jelas tapi tenang, sehingga semua orang bisa mendengar: “Baiklah semuanya… Catalina sudah lelah banget. Kami bertiga pulang dulu ya. Besok kita bisa ngobrol lagi tentang apa yang terjadi hari ini.” Matanya menatap semua orang dengan ekspresi yang ramah tapi tegas, menunjukkan bahwa keputusannya tidak bisa diubah.
Kei tersenyum lebar, matanya penuh penghargaan. “Baiklah, Leon. Hati-hati di jalan ya. Kalian sudah sangat membantu hari ini—tanpa kalian, siapa yang akan melindungi Kurumi dari bahaya?” dia berkata dengan suara yang tegas tapi ramah, tubuhnya tetap tegak, dan dia memberikan salaman tangan kepada Leon yang diterima dengan ramah.
Reina, dengan senyum ramah khasnya yang membuat semua orang merasa tenang, berjalan mendekati Catalina lalu jongkok hingga sejajar dengan kepalanya yang menyandarkan di pundak Andras. Rambut hitamnya yang panjang jatuh ke bahu, menutupi sebagian wajahnya, dan matanya memancarkan kehangatan seorang ibu yang tulus. Dia memegang tangan Catalina dengan lembut, jari-jari nya menekan tangan kecil itu yang sedikit dingin.
“Catalina sayang…” ujarnya dengan suara lembut penuh kegembiraan—suaranya terdengar seolah musik yang indah yang membuat hati terasa hangat. “Besok kamu pergi ke TK bareng adik-adikmu ya—Yoru, Matsu, dan Kasemi. Mereka pasti senang banget bisa main sama kamu tiap hari, dan kamu juga akan punya teman baru yang lucu!” Dia menekan tangan Catalina sedikit lebih kuat, matanya menatap dengan harapan.
Catalina mengangguk cepat, kepalanya masih menyandarkan di pundak Andras tapi matanya sedikit terbuka, menyala dengan sedikit semangat kembali. “Baiklah, Bibi! Aku mau main lari-lari sama mereka di taman sekolah, dan aku mau ajak mereka mengumpulkan bunga!” katanya dengan suara yang sedikit lebih kuat, senyum muncul di wajahnya dan membuatnya terlihat lebih ceria.
Namun sebelum ia sempat berdiri penuh, Kurumi mendekat dengan langkah kecil—“tap… tap… tap…—langkahnya lembut di lantai kayu yang licin. Dia meninggalkan teman-temannya yang sedang bermain, tubuhnya sedikit gemetar tapi ia berusaha kuat untuk tegak—dia menggenggam tangan kanannya dengan tangan kiri untuk menstabilkan diri. Matanya masih terlihat merah di pinggirnya, dan dia seringkali menggosoknya dengan ujung jari, tapi saat melihat Catalina, matanya menyala dengan cahaya yang berbeda—cahaya rasa terima kasih dan kepercayaan.
Tanpa peringatan, Kurumi memeluk Catalina erat—“thump…—tubuh kecilnya menempel erat ke tubuh Catalina yang sedang menyandarkan di Andras. Gerakannya cepat dan tiba-tiba, seakan rasa takut yang ia tahan selama ini akhirnya pecah saat merasakan hangatnya Catalina. Dia memeluk dengan kuat, tangan mungilnya memegang baju Catalina sampai jari-jari nya sedikit memerah, dan tubuhnya sedikit gemetar—“getar… getar…—seolah masih takut kehilangan Catalina yang telah menyelamatkannya.
Dengan suara kecil yang bergetar dan hampir tidak terdengar, ia berbisik di telinga Catalina: “Terima kasih… Catalina… kamu menyelamatkanku tadi. Kalau tidak ada kamu, aku… aku tidak tahu apa yang akan terjadi… aku takut banget…” suaranya terdengar menyedihkan tapi penuh rasa terima kasih, dan Catalina bisa merasakan tetesan air mata Kurumi yang menetes ke bajunya, membuat kainnya sedikit basah.
Catalina membeku sesaat—matanya membelalak, tubuhnya sedikit kaku—seolah tidak menyangka bahwa Kurumi akan melakukannya. Lalu perlahan-lahan, ia membalas pelukan itu: satu tangan menyentuh belakang kepala Kurumi dengan lembut, mengelus rambut pendeknya yang lembut, sedangkan tangan lain memegang pinggangnya dengan lembut. Dia merasakan tubuh Kurumi yang sedikit dingin, dan dia berusaha memberikan sebanyak mungkin hangat melalui pelukan itu, seolah ingin memberitahu Kurumi bahwa dia aman sekarang.
“Tidak usah terima kasih, Kurumi. Kamu adalah temanku, kan? Aku pasti akan melindungi temanku dari apa pun yang berbahaya. Janji!” katanya dengan bisikan yang lembut, suaranya penuh kasih dan keyakinan, membuat Kurumi merasa lebih tenang.
Kurumi melepas pelukannya perlahan, tangannya masih memegang baju Catalina sebentar sebelum melepaskannya. Dia menatap Catalina dengan mata bulat yang bersinar—mata kanan yang normal berwarna coklat muda dan mata kiri yang terkutuk berupa diamond hijau yang berdenyut lembut. Meskipun ada sedikit rasa sakit tersisa di wajahnya yang membuatnya sedikit mengerutkan alis, dia mencoba untuk tersenyum—senyum yang dipaksakan agar terlihat ceria, bibirnya hanya terangkat sedikit.
“Besok kita main bareng di sekolah baru kita, ya! Aku mau ajak kamu main ke taman di belakang sekolah—ada bunga yang sangat cantik, warna-warni kayak pelangi! Kita bisa membuat kalung dari bunga itu untuk semua teman kita!” katanya dengan suara yang sedikit lebih kuat, meskipun masih ada getaran di dalamnya. Dia mengangkat jari-jari nya, seolah ingin menggambarkan bunga yang dia maksud.
Catalina menatap wajah Kurumi sejenak—matanya menyipit sedikit, seolah mencari sesuatu yang hanya ia yang bisa lihat: apakah rasa sakit di mata kirinya sudah mereda, apakah aura kutukan yang gelap itu sudah tenang, apakah Kurumi benar-benar siap untuk hari esok. Dia melihat diamond hijau yang berdenyut lembut di kelopak mata Kurumi, melihat cahaya yang tersembunyi di dalamnya—bukan hanya cahaya kutukan, tapi juga cahaya kekuatan yang baru lahir.