Kenneth memutuskan untuk mengasuh Keyra ketika gadis kecil itu ditinggal wafat ayahnya.
Seiring waktu, Keyra pun tumbuh dewasa, kebersamaannya dengan Kenneth ternyata memiliki arti yang special bagi Keyra dewasa.
Kenneth sang duda mapan itupun menyayangi Keyra dengan sepenuh hatinya.
Yuk simak perjalanan romantis mereka🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YuKa Fortuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17. Tragedi di Pagi Hari
17
Keyra masih berada di atas tubuh Ken, ciuman itu baru berakhir beberapa detik lalu, wajahnya hanya beberapa sentimeter dari wajah pria itu.
Napasnya terengah, bukan karena lelah, tapi karena keberanian yang muncul terlalu cepat, terlalu besar.
Dan Ken… untuk beberapa detik terlalu panjang, ia hanya menatap.
Tatapan yang membuat dunia Keyra runtuh dan terbit sekaligus.
Tapi kemudian sesuatu berubah.
Secepat kilat, seperti kesadaran dingin yang menyambar Ken.
“Keyra,” bisiknya. Nada itu begitu lembut, tetapi tidak meninggalkan ruang untuk penolakan. “Kita… sudah terlalu jauh.”
Keyra membeku. Ia tidak bergerak, tidak menarik napas, seolah tubuhnya masih memohon agar waktu berhenti di detik itu juga.
Namun Ken mengangkat kedua tangannya, meletakkannya di pinggang Keyra, bukan dengan kerinduan, melainkan dengan kehati-hatian seorang pria yang baru saja menyadari jurang di bawah kakinya.
Perlahan, sangat perlahan, Ken menurunkan Keyra dari atas tubuhnya.
Gerakannya halus, tidak kasar, namun jelas menunjukkan bahwa keputusan itu final.
“Turun dulu.”
Suara Ken sendu, tapi tegas. “Sebelum kita melakukan kesalahan yang… Om sendiri nggak akan maafin.”
Keyra akhirnya kembali berdiri di lantai.
Ia melihat ke Ken, mencari alasan, mencari celah, mencari apa pun selain penolakan.
"Kenapa Ken?" Keyra menuntut penjelasan.
Tapi Ken menundukkan wajahnya sejenak, seperti sedang menenangkan napasnya sendiri.
“Om masih sadar, Keyra,” katanya lirih. “Dan Om harus tetap begitu.”
Keyra menyipitkan mata, suaranya pecah.
“Ken… aku cuma... Ingin melakukan ini dengan Ken. Aku nggak pernah bermimpi untuk bersama siapapun kecuali Ken.”
“Om tahu.”
Ken bangkit perlahan, berdiri tegak di depan gadis itu namun menjaga jarak aman.
“Om tahu kamu lagi kebawa emosi. Om tahu kamu bingung. Om tahu kamu… ingin dimengerti.”
Ia menelan ludah, gemetar kecil tampak di rahangnya.
“Tapi Om ini orang dewasa, dan tanggung jawab Om adalah menghentikan ini.”
Keyra menatapnya dengan mata memerah.
“Apa… apa Ken nggak merasa apa-apa? Apa aku kurang menarik?”
Pertanyaan itu menusuk.
Ken menutup mata sejenak, terlalu lama, sebelum menjawab dengan suara serak yang hampir tak terdengar.
“Justru karena Om merasa kamu menarik… maka Om harus berhenti.”
Keyra terpaku.
Ken menarik napas dalam-dalam, berusaha meredakan ketegangan di antara mereka.
“Kamu penting buat Om,” katanya pelan. “Terlalu penting, sampai Om nggak boleh salah langkah barang satu sentimeter pun.”
Keyra menggigit bibir bawahnya, menahan tangis.
Ia merasa ditarik kembali ke bumi setelah terbang terlalu tinggi.
“Sekarang kembali ke kamar kamu ya.”
Ken menunjuk pintu dengan lembut. “Kita bicarakan ini lain kali, saat kamu tenang.”
Keyra tak bergerak.
Tak mau.
Ken mendekat, menyentuh lengan Keyra pelan.
Sentuhan itu bukan romantis, itu sentuhan yang memohon, bukan memikat.
“Please, sweetheart,” suara Ken pecah halus. “Jangan paksa Om kehilangan kendali.”
Dan akhirnya, dengan langkah berat, Keyra meninggalkan kamar itu.
Ia menutup pintu pelan, namun dunia tetap terasa pecah di dadanya.
Di sisi lain pintu, Ken duduk di tepi ranjang dengan kedua tangan menutupi wajah.
Ia sadar dia hampir membuat kesalahan besar.
Dan itu membuat dadanya berdetak jauh lebih kencang daripada seharusnya.
**
Keyra berjalan kembali ke kamarnya dengan langkah gontai. Dadanya masih sesak, matanya panas, dan bibirnya gemetar setiap kali ia mencoba menarik napas panjang.
Begitu pintu tertutup, air mata langsung jatuh tanpa bisa ditahan.
Ia duduk di lantai, memeluk lutut, tubuhnya berguncang kecil.
Ken menolak aku… tapi kenapa terasa sesakit ini?
Kenapa?
Tangisannya mungkin terlalu keras, atau mungkin air mata Keyra memang tidak pernah bisa ia sembunyikan dengan baik.
Sebab beberapa menit kemudian, pintu kamarnya terbuka sedikit.
“Keyra…?”
Suara lembut namun berwibawa itu mengalun.
Madame Elvira berdiri di ambang pintu. Gelungan rambutnya sudah dilepas, hanya mengenakan kimono tidur satin berwarna biru pucat. Namun tubuhnya tegap, penuh empati.
Begitu melihat Keyra menangis di lantai, raut wajahnya langsung berubah. Ia masuk tanpa ragu dan berlutut di depan gadis itu.
“Oh, anak manis…” bisiknya sambil menyentuh pipi Keyra yang basah. “Apa yang terjadi?”
Keyra menggeleng cepat, menunduk.
Ia tak bisa… ia tak boleh menceritakan kejadian barusan.
Terutama karena ia sendiri tahu betapa kacau dan tak pantasnya perasaannya.
Namun Madame Elvira tidak menuntut penjelasan.
Ia menarik Keyra ke dalam pelukannya, warm, lembut, dan penuh rasa aman.
Sesuatu yang tidak pernah benar-benar Keyra rasakan dari figur ibu sejak orangtuanya meninggal.
“Tidak apa-apa menangis,” bisik Elvira sambil mengusap punggungnya. “Tidak apa-apa bila kamu bingung. Kamu sedang tumbuh, Keyra. Hati remaja itu… paling sering berperang dengan dirinya sendiri.”
Keyra terisak lebih keras, tubuhnya bergetar di pelukan wanita itu.
“Aku di sini, nak. Tenanglah… tarik napas… pelan-pelan.”
Untuk pertama kalinya, Keyra memeluk Madame Elvira balik, erat, seperti memeluk satu-satunya jangkar di malam yang gelap.
Wanita itu tidak menanyakan apa pun lagi. Ia hanya duduk di lantai bersama Keyra sampai tangis itu mereda, lalu membimbingnya ke tempat tidur dan menyelimutinya dengan hati-hati.
“Tidurlah. Besok akan lebih baik,” katanya sambil mengusap rambut Keyra dengan lembut.
Keyra akhirnya tertidur karena lelah menangis… namun hatinya tetap bergetar.
**
Keesokan Pagi
Mata Keyra terbuka pelan. Matahari menembus tirai tipis, hangat di wajahnya.
Ia mengusap mata dan bangun dengan gelisah.
Ken…
Rasa malu semalam menyeruak. Rasa sakit juga.
Namun di atas semuanya, ada rasa haus, haus akan keberadaan Ken.
Ia turun dari tempat tidur dan berjalan ke pintu.
Mengintip koridor.
Sepi.
Ia melangkah cepat ke kamar Ken, mendorong pintunya.
Kosong.
Buku Ken masih rapi di nakas, selimut dirapikan setengah hati, tanda pria itu sempat bangun terburu-buru.
Keyra menelan ludah.
“Ken?” panggilnya sambil berlari menuruni tangga.
Ruang tamu kosong.
Dapur kosong.
Teras kosong.
Tidak ada tas kerja.
Tidak ada sepatu Ken.
Tidak ada gelas kopi di meja.
Rasanya dada Keyra langsung sesak.
Ia memanggil lebih keras.
“KEN?!”
Madame Elvira muncul dari ruang makan, membawa cangkir teh.
Ia terkejut melihat Keyra yang panik.
“Keyra? Kenapa kamu...?”
“Ken mana?”
Suara Keyra pecah. “Dia nggak ada! Dia-dia pergi?”
Madame Elvira mengedip pelan… lalu menghela napas kecil.
“Ya.”
Jawabnya lembut.
“Dia sudah pergi sejak fajar.”
Keyra membeku.
“Ke… mana…?”
“Elvira menggeleng pelan. “Dia bilang akan menjelaskan nanti. Dia terlihat sangat buru-buru.”
Tubuh Keyra terasa runtuh.
Tak ada Ken.
Tak ada pesan.
Tak ada apa pun.
Yang tersisa hanya jejak kepergian…
dan detak jantung Keyra yang tiba-tiba terasa terlalu keras.
Kemana Ken pergi?
.
YuKa/ 081225
keburu Keyra digondol Rafael😏
gitu aja terus Ken. sampe Keyra berhenti mengharapkanmu, baru tau rasa kamu. klo suka bilang aja suka gitu loh Ken. sat set jadi cowok. hati udah merasakan cemburu, masih aja nyangkal dengan alasan, kamu tanggung jawabku😭😭😭