Kakak macam apa yang tega menjual keperawanan adiknya demi melunasi utang-utangnya?
Di wilayahku, aku mengambil apa pun yang aku mau, dan jelas aku akan mengambil keperawanan si Rainn. Tapi, perempuan itu jauh lebih berharga daripada sekadar empat miliar, karena menaklukkan hatinya jauh lebih sulit dibandingkan menaklukkan para gangster di North District sekalipun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Janji Suci
Suara itu seperti tamparan. Duniaku pun langsung berhenti berputar.
“Apa?” teriak Amilio. “Itu bukan bagian dari kesepakatan!”
Tatapan Remy enggak lepas dari aku. Suaranya datar tapi tajam waktu dia jawab, “Kita enggak punya kesepakatan, Santoro. Tutup mulutmu sampai aku bilang boleh bicara.”
Mulutku terbuka, tapi enggak ada suara yang keluar. Aku cuma bisa memperhatikan Remy, masih enggak percaya sama apa yang barusan dia katakan.
Syok itu berubah jadi ketakutan, terus menjalar jadi putus asa.
Enggak.
Tolong, jangan.
Remy mulai melangkah ke arahku. Aku tahan napas, berusaha keras buat enggak mundur, walau semua sel di tubuhku menyuruhku lari.
“Sebagai imbalan buat menghapus utang tiga koma delapan miliar, Amilio nawarin keperawanan kamu ke aku. Dan setelah aku puas, dia berencana mau jual kamu ke laki-laki lain.”
Aku memejam spontan. Aku tahu aku enggak seharusnya kaget. Aku tahu betapa busuknya Amilio. Tapi dengar itu langsung dari mulut Remy, rasanya seperti ditusuk dari dalam. Dadaku panas, napasku berat.
Itu hal paling hina yang pernah dilakukan Amilio ke aku dan dia sudah banyak banget melakukan hal keji.
Tiba-tiba tangan Remy menyentuh daguku, membuat kepalaku terangkat.
“Buka mata mu,” katanya.
Aku buka mata pelan, dan saat melihat seberapa dekat dia, napasku langsung tercekat.
Iris matanya berwarna kuning keemasan, berkilau seperti matahari.
“Sama aku, kamu bakal hidup mewah. Kamu bakal aman.”
Omong kosong.
Kata-kata itu enggak berarti apa-apa buat aku. Orang Marunda seperti dia cuma mengerti dua hal. Kekuasaan dan ego.
Aku tarik daguku dari genggamannya, terus menunduk. Aku enggak sanggup melihat siapa pun.
Aku tahu banget bagaimana dunia mereka. Dan aku tahu, enggak ada jalan keluar dari pernikahan ini.
"Aku cuma butuh waktu sebentar buat nyerna semua ini," bisikku pelan.
“Aku bakal kasih kamu waktu sebentar,” jawabnya, terus matanya balik lagi ke Pastor Yeskil. “Pastor, silakan duduk. Upacaranya bakal mulai.”
Aku tekan telapak tangan ke perut, tarik napas dalam-dalam. Enggak ada tempat buat kabur, enggak ada jalan keluar dari pernikahan ini. Apa pun yang diinginkan Boss-Boss Marunda, ya mereka pasti dapat.
Aku hembuskan napas gemetar, angkat kepala, dan lihat Remy berdiri di samping Pastor Yeskil. Mereka menungguku.
Sumpah, enggak pernah dalam sejarahnya aku berpikir bakal menikah sama salah satu orang dari lima keluarga itu.
Otakku mengebut coba mencerna semuanya, tapi pikiran yang sama terus berputar di kepalaku, "Aku enggak punya pilihan. Pernikahan ini bakal tetap terjadi. Aku bakal jadi istrinya Remy Arnold."
Aku bakal masakin dia, tidur di ranjang yang sama, dan melahirkan anak-anaknya.
Gila.
Napasku makin cepat, satu per satu kenyataan menyeruduk masuk ke kepala. Tapi ada satu hal yang paling parah, "Aku bakal nikah sama Remy Arnold. Sekarang. Di sini."
Ya, Tuhan!
“Duduk di samping aku, Rainn!” Suara Remy berat.
Perlahan, kakiku bergerak sendiri. Kegelapan rasanya telah menutupiku, bikin dadaku sesak dan putus asa. Saat aku berhenti di sebelah Remy, tubuhku sudah seperti kapal karam. Jantung berdentam, napasku pendek dan penuh ketakutan.
Aku menengok ke dia saat dia kasih kode ke Pastor Yeskil buat mulai.
Saat Pastor mulai baca bagian dari Kitab Suci, aku menatap Remy. Cowok yang bakal aku nikahi. Dia jauh lebih besar dari aku, jauh lebih kuat dari Amilio. Remy mungkin bisa bunuh aku cuma dengan satu kali pukulan.
Aku telan ludah, mata panas, tanganku mengepal di sisi badan.
Jangan nangis.
Simpan air matanya buat nanti, buat tahun-tahun ke depan.
Aku tatap mata kuningnya, rambut hitam legam, tubuh kekarnya yang seperti batu.
Dia genggam tanganku. Sentuhannya lembut. Jemarinya melilit tanganku, merasakan getaran dari tubuhku. Dia meremasnya pelan.
Lembutnya itu malah bikin aku bingung. Seberapa pun aku coba melawan, secuil harapan kecil menyelip di hatiku. Remy pernah bilang dia enggak suka menyakiti perempuan. Mungkin, dia enggak bakal menyakiti aku. Setidaknya enggak secara fisik.
Aku balik fokus waktu Pastor Yeskil bicara, “Remy dan Rainn, apakah kalian datang ke sini untuk menikah, tanpa paksaan dan tulus?”
Tatapan Remy menancap di aku, panas dan dalam seperti neraka, saat dia menjawab, “Ya.”
Sunyi.
Semua diam.
Aku terlalu lama buat jawab, sampai Pastor Yeskil harus berdeham agar aku sadar. Bibirku terbuka pelan, matahari terakhir tenggelam di cakrawala, dan aku mengatakan, “Ya.”
Lampu taman mulai menyala, halaman belakang terlihat seperti dunia lain. Kalau saja aku enggak lagi dipaksa menikah sama mafia Marunda, aku mungkin bakal berhenti sebentar buat menikmati keindahannya.
“Karena kalian berniat buat masuk ke perjanjian Pernikahan Kudus, gabungkan tangan kanan kalian dan nyatakan persetujuan kalian di hadapan Tuhan dan gereja-Nya.”
Remy genggam tangan kananku erat-erat, suaranya tegas.
“Aku, Remy Arnold, menerimamu Rainn Margot, untuk jadi istriku yang sah. Untuk kumiliki dan kupegang mulai hari ini dan seterusnya, dalam suka maupun duka, kaya atau miskin, sakit atau sehat, sampai maut memisahkan kita. Aku akan mencintai dan menghormatimu seumur hidupku.”
Cinta?
Menghormati?
Dua kata itu enggak ada di kamus Marunda.
“Rainn, sekarang giliran kamu,” bisik Pastor Yeskil, lembut.
Mataku mencari antara wajah Pastor dan Remy. “Aku harus bilang apa?” Pastor Yeskil melihatku dengan tatapan iba. “Ulangi kata-kata aku.”
Aku tarik napas dalam-dalam, dan detak jantungku mulai melambat waktu aku mengulangi kata-kata yang dibisikkan Pastor Yeskil.
“Aku, Rainn Margot, menerimamu, Remy Arnold, untuk jadi suamiku yang sah. Untuk kumiliki dan kupegang mulai hari ini dan seterusnya, dalam suka maupun duka, kaya atau miskin, sakit atau sehat ...”
Aku berhenti sebentar, tarik napas lagi, terus lanjut dengan suara pelan, “… sampai maut memisahkan kita.”
Rahangku mulai gemetar. Aku enggak sanggup berbohong dengan mengatakan akan cinta sama cowok ini, jadi aku cuma bisa bilang, “Aku akan menghormati dia, seumur hidupku.”
Itu saja satu-satunya janji yang bisa aku kasih sekarang.
Hening sejenak, sebelum Pastor Yeskil bilang pelan, “Apa yang disatukan Tuhan, janganlah dipisahkan oleh siapa pun.”
Enggak ada jalan keluar. Enggak ada tempat buat sembunyi. Cowok berbahaya di depanku ini, dia masa depanku.
Mimpiku untuk hidup tenang di kota kecil bersama suami yang setia dan lembut pun lenyap begitu saja.
“Pasang cincinnya,” kata Pastor Yeskil.
Sebelum aku sempat memikirkan cincin itu, Remy sudah keluarkan kotak kecil beludru merah tua dari saku jasnya. Dia buka kotak itu dan ambil dua cincin kawin dari atas bantal kecil. Dia kasih aku yang lebih tebal, berukir huruf R dan A. Sedangkan yang berukir huruf R dan M buat Remy.
Aku sempat bengong.
Serius?
Saat Remy menyelipkan cincin tipis di jari manisku, dia bicara dengan suara berat, “Rainn, terimalah cincin ini sebagai tanda cinta dan kesetiaanku, dalam nama Tuhan, Putra, dan Roh Kudus.”
Kesetiaan.
Ya, Aku bakal percaya kalau memang melihat buktinya sendiri. Cowok-cowok Marunda itu enggak mengerti arti monogami.
Aku pasang cincin di jari Remy, mengulangi kalimat yang sama, tapi seperti tadi, aku hapus kata “cinta.”
Pastor Yeskil berdeham, terus mengumumkan, “Di hadapan Tuhan dan para saksi, aku nyatakan kalian sebagai suami istri.”
Remy condong ke depan, mau menciumku. Tapi aku memalingkan muka, dan bibirnya cuma menyentuh pipiku.
Aku menunduk, mencari tempat tenang agar bisa mencerna semua yang baru saja terjadi dalam satu jam terakhir.
Aku sudah resmi menikah dengan Remy Arnold.