Entah wanita dari mana yang di ambil kakak ku sebagai calon istrinya, aroma tubuh dan mulutnya sungguh sangat berbeda dari manusia normal. Bahkan, yang lebih gongnya hanya aku satu-satunya yang bisa mencium aroma itu. Lama-lama bisa mati berdiri kalau seperti ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rika komalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertingkah Aneh
Aku dan ibu masuk kedalam rumah bersamaan tampak mbak Sinta sedang menunggu kami di dapur.
"maafin Laras ya Sin, dia tidak sengaja membakar semuanya."
" iya buk," ucapnya terpaksa.
"iya mbak, maafin Laras ya. Kalau Laras tau di situ ada baju mbak dan yang lainnya pasti Laras gak akan membakar nya."
Mbak Sinta tampak menghembuskan nafas kesalnya, sementara aku cukup menarik senyum dari sudut bibir saja.
"makanya Ras, lain kali kalau mau berbuat apa-apa itu tanya dulu, bukan main bakar aja." ketus mas Rama.
Dasar abang sialan, bukannya membela ini malah semakin menyudutkan.
"tapi kan mas, Laras itu memang melihat semua itu tertutup lendir hijau. Laras pikir dari kecoa atau ular gitu. Tapi pas Laras cari-cari gak ada, dan asal mas tau bau nya itu loh, mirip bangkai." ucapku seraya melirik iparku tersebut.
" sudah-sudah mas, tidak apa-apa. Mungkin ini karena kecerobohan ku juga." ucap mbak Sinta langsung memotong omongan kami.
" lihat mas, mbak Sinta aja gak marah." ucapku sembari memeluk iparku tersebut. Tapi seketika perutku bergejolak, tubuh dan aroma mulut mbak Sinta sungguh membuat ku muntah rasanya.
Bagaimana bisa mulut nya bau bangkai seperti ini, biasa orang kan bau jigong lah ini bangkai, belum lagi aroma badannya. Dan tubuhku ini refleks langsung melepaskan pelukanku.
"Dih, dasar manja." omel mas Rama. Ku cabikkan bibir ini, segera aku mendekat pada ibu membantunya membuat sarapan untuk pagi ini.
Mbak Sinta juga mendekat, kembali aroma tubuhnya langsung menyergap di hidungku. Mau pindah juga gak enak rasanya.
"mbak pakai parfum apa sih?" tanyaku iseng.
" gak ada, mbak gak pernah pakai parfum."
"kenapa? Pasti kamu iri kan secara aroma tubuh mbak mu harum tanpa apapun."
Harum katanya? Dihhh, sepertinya mas Rama ini sudah terkena sihir siluman mbak Sinta.
"jangan gitu dong mas, kamu ini loh suka sekali menggoda Laras," kekeh mbak Sinta. Senyum lebar menghiasi bibir iparku tersebut, dan aroma mulut nya sungguh membuatku keliyengan.
Ibu dengan cekatan mengolah telor yang di bawa tadi untuk di jadikan lauk sarapan, mbak Sinta hanya memperhatikan saja. Mungkin dia agak gimana gitu, karena orang baru ini.
"kamu suka telor dadar Sin?" ucap ibu di sela-sela menggoreng.
" suka buk, apalagi kalau di campur dengan sayur hitam."
" sayur hitam?" beo ku.
" iya, itu loh sayur yang kemarin waktu tunangan kan ada."
" oh, kayaknya sayuran langka ya mbak. Soalnya di pasar gak ada." ucapku pura-pura gak tau.
" hmm, itu hanya ibu yang bisa menanam nya. Memang tidak di jual di mana pun, dan hanya tumbuh di pekarangan belakang rumah."
" di tanam? Berarti mbak bisa dong menanam nya? "
Dia lantas menggelengkan kepalanya, " tidak Laras, hanya ibu. Bahkan kami semua tidak di perbolehkan untuk memetik atau hanya sekedar melihat tumbuhan itu. Tapi intinya itu sayur enak banget"
Aku mengernyitkan dahi, hmm ternyata yang di katakan adik mbak Sinta benar bahwa mereka semua di bawah pengaruh sang ibu.
"oh iya, nama adik mbak siapa ya? Laras cuma dengar dia dipanggil Wo gitu."
" oh itu, namanya Bowo. Anaknya baik kok, cuma agak pendiam aja."
Bowo toh, baiklah Bowo aku akan mengorek informasi dari mu. Kaulah orang pertama yang akan menjadi narasumber ku.
Dan akhirnya, lauk untuk sarapan selesai juga ada. Menu pagi ini cukup simpel dadar telor apa ibu ku yang selalu nikmat jika menyentuh lidah.
"ayo di makan!" ucap ibu sembari melihat menantunya.
Mbak Laras mengangguk, kemudian mengambil nasi begitupun dengan mas Rama.
"enakkan sayang?" ucap mas Rama saat mbak Sinta mulai mengunyah makanan ke dalam mulutnya.
"enak, tapi boleh Laras tambah garam buk." ucapnya dengan suara pelan.
Garam? Bukannya ini udah pas ya rasanya. Kok pakai tambah garam segala.
"boleh dong sayang, kamu mau yang kasar atau yang halus?" ucap mas Rama.
" yang kasar saja mas."
Kakak ku tersebut segera beranjak menuju dapur, sementara kami (aku dan ibu) hanya bisa diam. Perasaan ini rasanya udah pas.
"kurang asin ya Sin," ucap ibu.
"iya buk, di lidah Sinta gak ada rasanya."
Serius gak ada rasanya? Masa sih, jangan-jangan lidah mbak Sinta terbuat dari besi lagi.
"kamu serius mbak? Ini dah pas loh."
"serius, makanya mbak minta garam." ucapnya seraya tersenyum.
Tak lama, mas Rama kembali dengan stoples garam, biasanya ibu ku selalu beli per pack jadi kalau di letakkan di toples sangat banyak isinya.
"ini sayang!" ucap mas Rama seraya meletakkan toples itu di depan mbak Sinta.
"terimakasih mas," ucapnya manis sembari membuka penutup toples tersebut.
Dan apa itu, mengapa mbak Sinta mengambil banyak sekali garamnya, gak tanggung-tanggung dua sendok makan penuh. Lantas di meletakkan nya di atas piring.
"kamu gak salah mbak?" ceplosku.
Dia menggelengkan kepala, bukan hanya aku yang terkejut ibu dan mas Rama juga.
Krenyes, Krenyes, Krenyes. Gigiku sampai ngilu melihat mbak Sinta dengan santainya mengunyah garam.
"jangan banyak-banyak sayang, nanti tensi mu naik."
" enggak mas, aku sudah biasa makan seperti ini." ucapnya sembari terus mengunyah.
Aku yang melihat keanehan ini masih terus menatap mbak Sinta, bahkan dia dengan santainya mengambil lagi garam yang ada di toples membuat mas Rama terdiam dan terus menatap intens sang istri.
"kamu yakin mau makan garam sebanyak itu Sin?"
" iya buk,"
Ku telan saliva ini, entahlah melihatnya seperti itu membuat kepalaku pusing. Gak terbayang rasa asinnya di mulut.
Krenyes... Krenyes.... Krenyes. Bunyi kunyahan garam itu kembali terdengar. Antara mual dan eneg sekarang menjadi satu.
Dan setelah beberapa saat akhirnya sesi sarapan sudah selesai. Aku yang tak berselera bergegas membawa piring kotor ke wastafel bermaksud untuk langsung mencucinya.
"mbak bantu ya!"
Duaaar, bau bangke bercampur garam memenuhi rongga hidungku. Bahkan tubuhku sampai bergeser sedikit.
Aku segera mengangguk, kemudian kami bersama membersihkan piring yang tak seberapa itu.
Dan tak lama akhirnya semuanya selesai, sementara itu mas Rama dan ibu sudah duduk di teras. Tinggal aku dan mbak Sinta yang berada di dapur.
"sudah berapa lama keluarga mu bersekutu dengan iblis itu mbak?" ucapku santai sembari mengelap tangan yang basah.
Dia yang terkejut seketika mendongak, "bersekutu apa? Jangan fitnah deh." ucapnya tak terima.
Aku lantas mendongak kan kepala, melihat iparku yang juga tengah menatap ku tersebut.
"hmmm, fitnah ya? Bagaimana jika ku katakan aku pernah melihat siluman di rumah mu. Makhluk berkepala lele berbadan kodok. Apa itu masih kau sebut fitnah?