JANGAN ABAIKAN PERINGATAN!
Sadewa, putra seorang pejabat kota Bandung, tak pernah percaya pada hal-hal mistis. Hingga suatu hari dia kalah taruhan dan dipaksa teman-temannya membuka mata batin lewat seorang dukun di kampung.
Awalnya tak terjadi apa-apa, sampai seminggu kemudian dunia Dewa berubah, bayangan-bayangan menyeramkan mulai menghantui langkahnya. Teror dan ketakutan ia rasakan setiap saat bahkan saat tidur sekali pun.
Sampai dimana Dewa menemukan kebenaran dalam keluarganya, dimana keluarganya menyimpan perjanjian gelap dengan iblis. Dan Dewa menemukan fakta yang menyakiti hatinya.
Fakta apa yang Dewa ketahui dalam keluarganya? Sanggupkah dia menjalani harinya dengan segala teror dan ketakutan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12. SIAPA DIA?
Arsel berdiri dalam wujud rohnya, tubuh bercahaya samar keemasan di tengah lautan makhluk kelam. Napasnya mulai tersengal, keringat dingin membasahi tubuh raganya yang tergeletak di kamar. Ia tahu pagar gaib di sekeliling rumah sudah retak, getarannya terdengar jelas, seperti kaca yang menjerit sebelum pecah.
Makhluk besar bertanduk itu masih menyeringai, sementara kawanan bayangan mengelilingi rumah bagai semut mengepung gula. Raungan mereka semakin keras, menimbulkan tekanan di udara hingga daun-daun di pepohonan sekitar rumah berguguran meski angin tak berhembus.
Arsel menggertakkan giginya. "Kalau begitu, aku tak punya pilihan lain."
Ia merapal mantra lebih dalam, suara hatinya memanggil energi yang jarang ia gunakan, energi api biru astral. Dari kedua telapak tangannya, api itu menyala. Bukan api biasa, melainkan nyala biru pucat, berkilau seperti bara bintang, dingin namun membakar hingga ke inti jiwa. Cahaya itu menyilaukan makhluk-makhluk kegelapan, membuat mereka meraung kesakitan, beberapa langsung hancur menjadi abu hitam yang terseret angin gaib.
Arsel melangkah maju, melemparkan bola api biru ke arah kerumunan. Api itu meledak, menghasilkan gelombang cahaya biru yang menyapu puluhan makhluk sekaligus. Jeritan mereka menggema di antara bayangan, melengking menusuk telinga, hingga udara bergetar.
"PERGILAH!" teriak Arsel, matanya memancarkan cahaya biru menyala.
Satu demi satu makhluk terhempas, terbakar tanpa api, tubuh mereka lenyap menjadi kabut pekat yang kemudian menghilang. Namun semakin banyak ia mengusir, semakin terasa tenaga Arsel terkuras. Lututnya gemetar, nafasnya berat, dadanya serasa diremuk. Api biru astral ini memang kekuatan pamungkas, namun sekaligus racun yang menghisap energi kehidupan sang pemakai.
Di dalam kamar, tubuh Arsel yang tergeletak mulai gemetar hebat. Wajahnya pucat pasi, urat di pelipisnya menonjol, keringat deras mengalir.
"Dia terlalu memaksakan diri!" jerit Tama, tangannya menahan tubuh Arsel agar tidak terhuyung. "Api astral itu ... dia bisa mati kalau terlalu lama memakainya!"
Retno panik, semakin memeluk Sadewa yang kini menatap kosong, pupil matanya bergetar.
"Dingin sekali," ucap Sadewa lirih. Suaranya datar, matanya menatap kosong ke arah dinding yang bergetar.
Tama menoleh cepat. "Tidak! Dewa mulai terbuka! Mereka mencoba masuk ke tubuhnya!"
Tubuh Sadewa menegang, rahangnya kaku. Nafasnya berat, lalu mendadak tubuhnya terhentak ke belakang. Matanya membelalak, namun bukan lagi tatapan anak kecil yang ketakutan, melainkan pandangan kosong, hitam pekat, seakan seseorang dari balik tirai sedang mengintip keluar.
"Tubuh ini ... tubuh ini milik kami!" suara asing bergema dari mulut Sadewa. Suara itu bukan suara Dewa melainkan suara berganda, berat dan serak, bercampur jeritan seribu bisikan.
Retno menjerit histeris. "Nggak! Jangan ambil anakku!"
Dian menutup mulutnya, menangis. Naras melangkah maju, ingin meraih adiknya, namun ditahan oleh Tama. "Jangan! Kau bisa terseret masuk kalau menyentuhnya sekarang!"
Di alam sukma, Arsel jatuh berlutut. Api biru di tangannya mulai meredup, tubuhnya nyaris habis terkuras. Makhluk besar bertanduk itu masih berdiri tegak, meski tubuhnya penuh luka gosong akibat api astral.
"Bodoh," katanya dengan suara bergemuruh. "Kekuatanmu hebat, manusia ... tapi kau terlalu lemah untuk melawan kami semua. Dan lihatlah, tubuh bocah itu, sudah terbuka untuk kami."
Arsel menoleh panik ke arah rumah. Ia bisa melihat dari dimensi itu, Sadewa berdiri dengan mata hitam, suaranya bukan lagi suaranya sendiri.
"Tidak ... Dewa," desis Arsel.
Saat itulah, sesuatu yang tak pernah mereka duga terjadi.
Dari kegelapan kamar, tepat di sudut yang paling pekat, muncul sosok perempuan. Rambutnya panjang kusut, menutupi sebagian wajahnya. Kulitnya putih kebiruan, pucat bagai mayat tenggelam. Bajunya lusuh, koyak di sana-sini, dan matanya kosong, namun menyiratkan amarah purba yang tak terlukiskan.
Sadewa menoleh kaku ke arahnya, dan untuk pertama kalinya, wajahnya yang sempat dikuasai kegelapan menunjukkan rasa gentar.
"Sosok itu ..." ucap Sadewa lirih, suaranya kembali seketika, melihat sosok tak asing yang tidak biasa.
Sosok perempuan itu perlahan mengangkat wajahnya. Dari mulutnya yang pucat biru, terbit raungan, teriakan begitu nyaring, panjang, dan menggelegar.
Suara itu tidak sekadar terdengar ... tapi terasa.
Gelombang energi memancar dari tubuhnya, menghantam seluruh sudut rumah. Jendela bergetar keras lalu pecah berkeping-keping. Dinding retak, pintu menghempas terbuka, dan lampu-lampu di kamar Sadewa meledak bersamaan, berjatuhan dalam percikan listrik.
Makhluk-makhluk di luar rumah meraung panik. Gelombang suara itu menghantam mereka, membuat tubuh bayangan mereka terburai, tercerai-berai menjadi kabut hitam yang terseret entah ke mana. Bahkan makhluk besar bertanduk itu terhuyung mundur, menutup telinganya yang mengeluarkan darah hitam kental.
Arsel, meski hampir pingsan dalam wujud rohnya, menatap tak percaya. "Siapa kamu sebenarnya?"
Sosok perempuan itu tak menjawab. Ia hanya terus berteriak, semakin keras, hingga tanah bergetar, udara beriak seperti riak air, dan energi besar membuncah ke segala arah.
Di dalam kamar, Naras dan Dian menutup telinganya, namun wajahnya tidak lagi ketakutan, melainkan lega.
Dewa terhuyung, Naras dan Dian terhempas ke dinding, Tama berusaha melindungi tubuh Arsel. Namun mereka semua tahu: sosok perempuan itu bukan musuh.
Hingga akhirnya,satu ledakan energi terakhir terdengar. Cahaya putih kebiruan membuncah, menelan seluruh ruangan. Lalu, hening.
Lampu kamar pecah seluruhnya, menyisakan kegelapan total. Angin berhenti, tanah tak lagi bergetar. Semua terasa sepi, sepi yang menakutkan sekaligus melegakan.
Di tengah kegelapan itu, hanya terdengar isakan kecil Sadewa.
Asap tipis masih menggantung di udara kamar Sadewa. Bau logam hangus bercampur dengan aroma listrik terbakar menusuk hidung, sisa dari lampu-lampu yang pecah berhamburan di lantai. Retno menutup mulut dengan tangannya, dadanya naik-turun cepat. Dian masih menangis terisak di pelukan Naras yang wajahnya pucat pasi, matanya tak berkedip menatap titik kosong di dinding.
Sadewa sendiri masih terduduk di ranjangnya, wajahnya basah oleh air mata. Namun kali ini bukan sekadar ketakutan yang terpancar di matanya, ada sesuatu yang lain, rasa lega sekaligus kebingungan yang sulit dijelaskan.
Sosok perempuan itu berdiri di tengah kamar. Rambut panjangnya yang kusut jatuh menutupi setengah wajah, kulit putih kebiruan bercahaya samar di bawah sinar bulan yang menembus dari jendela pecah. Matanya kosong, namun dari tatapan itu terpancar sesuatu yang ganjil: rasa marah, rasa sakit, dan sekaligus perlindungan yang menusuk hingga ke dalam jiwa.
Ia menoleh sekilas ke arah Sadewa, bibir pucatnya bergerak tanpa suara, seperti mencoba mengucapkan sesuatu, namun tak mampu.
Lalu, sama tiba-tiba seperti kedatangannya, sosok itu mulai memudar. Tubuhnya larut dalam kabut tipis yang berputar, tersapu bersama bayangan terakhir para makhluk yang sudah tunggang langgang meninggalkan rumah. Dalam hitungan detik, tak ada lagi jejak kehadirannya.
Hanya keheningan yang menyisa.
"Dia ... dia menghilang," bisik Dian dengan suara parau.
Retno mendekap Sadewa erat, berulang kali mencium kening anaknya. "Kau baik-baik saja, Nak? Kau tidak apa-apa?"
Sadewa hanya mengangguk kecil, tubuhnya masih gemetar.
Naras mengerutkan kening, matanya penuh pertanyaan. Namun tidak ada suara yang keluar dari mulutnya, masih terlalu shock.
Tama perlahan bangkit dari posisinya, tubuhnya masih lemas karena mengerahkan terlalu banyak tenaga menjaga lingkaran. Ia menatap kosong ke arah tempat sosok perempuan tadi berdiri. "Ya, dia bukan musuh. Justru dialah yang menyelamatkan kita semua dari kehancuran."
Retno menoleh ke Tama, matanya masih berlinang. "Siapa dia sebenarnya? Kenapa dia membantu?"
Tama hanya menggeleng pelan. "Aku tidak tahu. Entah siapa, entah apa, tapi jelas dia melindungi Dewa."
Sementara itu, Arsel akhirnya membuka mata. Tubuhnya terhuyung, napasnya tersengal, dan wajahnya pucat seperti orang yang baru saja keluar dari kematian. Tama segera meraih bahunya, menahan agar ia tak jatuh.
"Arsel!" seru Tama.
Arsel mengangkat tangannya lemah. "Aku ... aku lihat semuanya."
"Kamu gila sampai memakai api biru itu," kata Tama tegas.
Arsel hanya tersenyum tipis. "Tapi mereka pergi, kan?"
Tama mengangguk, meski wajahnya serius. "Bukan karena kita. Ada sosok lain yang datang. Sosok perempuan."
Mata Arsel melebar, ia menoleh pada Sadewa yang masih dipeluk Retno. "Perempuan? Kau juga melihatnya, Dewa?"
Sadewa mengangguk, wajahnya serius meski air mata masih menetes. "Dia sosok pertama yang aku lihat di kamar ini. Biasanya hanya diam di sudut kamar dekat lemari."
Arsel terdiam. Ia mengingat kembali di dunia sukma, teriakan luar biasa yang membuat ribuan makhluk tercerai-berai. Energi itu jauh melampaui apa pun yang ia miliki. Bahkan api astralnya tak sebanding dengan kekuatan teriakan perempuan itu.
"Kalau begitu," gumam Arsel lirih, "kita bukan hanya menghadapi mereka yang ingin tubuh Sadewa, tapi juga harus menemukan siapa sebenarnya perempuan itu. Dan tampaknya ada sesuatu yang terjadi pada diri Sadewa sampai-sampai semua makhluk menginginkannya."
Malam berangsur hening. Rumah porak-poranda: jendela-jendela pecah, dinding penuh retakan, lantai berserakan pecahan kaca. Namun di tengah kekacauan itu, ada secercah rasa lega, untuk sementara, mereka selamat.
Retno duduk di samping Sadewa yang sudah mulai terlelap. Tubuh lelah itu akhirnya tertidur karena kepayahan fisik dan mental. Wajahnya masih pucat, namun nafasnya teratur.
Naras menutup mata, mencoba mengatur pernapasan. Dian menggenggam tangan ibunya erat, seakan tak ingin dilepaskan.
Arsel bersandar di dinding, menatap langit-langit yang gelap. Tubuhnya masih terasa lemas, namun pikirannya penuh tanda tanya. Ia tahu, ini baru awal. Tanda yang ditinggalkan dukun pada Sadewa bukanlah hal remeh. Dan perempuan misterius itu, siapa pun dia, jelas memegang kunci rahasia besar yang selama ini tersembunyi.
Tama duduk di dekatnya, menepuk bahunya pelan. "Kau sudah berkorban banyak malam ini. Istirahatlah. Kita butuh kepalamu tetap jernih."
Arsel hanya mengangguk samar. Matanya menatap ke arah Sadewa yang terlelap, lalu ke arah jendela yang kini hanya menyisakan kerangka kayu. Hening malam terasa penuh rahasia yang belum terjawab.
Di luar, angin kembali berhembus pelan. Seolah malam mencoba menenangkan mereka setelah kengerian yang baru saja lewat. Namun jauh di kedalaman gelap, Arsel tahu ... mereka akan datang lagi. Dan kali berikutnya, mungkin jauh lebih kuat.
ikutan emosi,kalut,takut n apa y,gtu lah pokoknya mah
ternyata bener kn jadi tumbal
kenapa si dewa ini
apa ayahnya Dewa???