NovelToon NovelToon
TRANSMIGRASI KE ERA KOLONIAL

TRANSMIGRASI KE ERA KOLONIAL

Status: sedang berlangsung
Genre:Time Travel / Dokter Genius / Romansa / Fantasi Wanita / Transmigrasi / Era Kolonial
Popularitas:6.3k
Nilai: 5
Nama Author: Archiemorarty

Aruna Prameswari tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dalam sekejap. Seorang dokter muda abad ke-21 yang penuh idealisme, ia mendadak terhempas ke abad ke-19, masa kelam kolonial Belanda di tanah Jawa. Saat rakyat tercekik oleh sistem tanam paksa, kelaparan, dan penyakit menular, kehadiran Aruna dengan pengetahuan medis modern membuatnya dipandang sebagai penyelamat sekaligus ancaman.

Di mata rakyat kecil, ia adalah cahaya harapan; seorang penyembuh ajaib yang mampu melawan derita. Namun bagi pihak kolonial, Aruna hanyalah alat berharga yang harus dikendalikan.

Pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Van der Capellen membuka lembaran baru dalam hidupnya. Sosok pria itu bukan hanya sekedar penguasa, tetapi juga lawan, sekutu, sekaligus seseorang yang perlahan menguji hati Aruna. Dalam dunia asing yang menyesakkan, Aruna harus mencari arti keberadaannya: apakah ia hanya tamu yang tersesat di masa lalu, atau justru takdir membawanya ke sini untuk mengubah sejarah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 12. TERTANGKAP

Empat bulan sudah Aruna tinggal di Desa Waringin, dan dalam rentang waktu yang singkat itu ia menjelma menjadi cahaya yang menerangi setiap sudut desa. Ladang yang dahulu kering kerontang kini kembali menghijau. Warga yang dulu berjalan lesu dengan perut kempis karena lapar kini tampak lebih segar, dengan senyum yang tak lagi jarang. Anak-anak yang dulu hanya bisa menangis karena sakit kini berlarian di jalan tanah, rambut mereka berkilau oleh sinar matahari, tubuh mereka lebih berisi berkat gizi dari kebun yang dirawat penuh kasih.

Namun, sebagaimana segala kebahagiaan yang tumbuh di tanah jajahan, ketenangan itu selalu rapuh di hadapan bayang-bayang kompeni.

Pagi itu, saat embun masih bergelantung di ujung dedaunan, suara derap kuda dan denting pedang mengoyak udara. Tanah bergetar, debu berhamburan, dan kepulan asap dari mulut kuda-kuda perang Belanda menandai kedatangan sepasukan tentara kompeni ke Desa Waringin. Seragam mereka rapi, biru laut dengan hiasan emas di pundak. Bayonet yang terhunus berkilat diterpa sinar mentari.

Warga desa yang sedang menumbuk padi, menyabit rumput, atau menimba air, sontak berhenti. Tatapan mereka memantul cemas, dada mereka terasa dicekik rasa takut yang tiba-tiba menguasai. Anak-anak berlari mencari perlindungan di balik gendongan ibu-ibu mereka.

Seorang perwira dengan bulu topi gagah di kepala, turun dari kudanya. Dialah Jenderal Willem van Deventer, lelaki berwajah tegas dengan mata biru dingin bak danau beku. Tampilan rapi, bibirnya kaku seakan enggan tersenyum. Ia berdiri di depan, diikuti belasan prajurit dengan senapan teracung.

Dengan suara keras, ia mengucap dalam bahasa Belanda,

"Breng de vrouw genaamd Aruna naar voren! Zij moet met ons mee naar Batavia om voor de gouverneur te verschijnen!" (Bawa perempuan bernama Aruna ke hadapan! Ia harus ikut bersama kami ke Batavia untuk menghadap gubernur!)

Warga yang tak paham hanya saling berpandangan bingung. Namun seorang penerjemah pribumi yang ikut bersama rombongan meneriakkan arti kata-kata itu dengan lantang:

"Kompeni meminta Aruna! Dia harus dibawa ke Batavia untuk menghadap Gubernur Van der Capellen!"

Sekejap saja riuh tangis dan teriakan memenuhi desa. Mereka tahu dengan jelas apa yang akan terjadi jika seorang perempuan diambil oleh pemerintah Belanda; tidak pernah berakhir baik.

"Jangan! Aruna penolong kami!" seru seorang lelaki paruh baya.

"Tanpa dia, siapa yang akan mengajari kami cara merawat ladang?" tangis seorang ibu muda.

"Kalau dia pergi, bagaimana dengan anak-anak kami?!" jerit seorang lainnya.

Para prajurit Belanda tetap berdiri tegak, senjata mengarah, wajah tanpa belas kasih.

Aruna yang saat itu sedang menyiapkan ramuan obat di gubuk kecil dekat balai desa, mendengar hiruk pikuk itu. Langkahnya cepat, kain jariknya berkibar, wajahnya pucat namun tegar. Ia segera menuju kerumunan, hatinya berdegup keras. Ia tahu apa yang terjadi, ia sudah menduganya. Kompeni datang.

"Aruna! Jangan keluar!" Nyi Ratna berusaha menahan, tapi Aruna meletakkan tangannya di bahu wanita tua itu, menatap dengan sorot yang tenang.

"Aku harus, Mbok. Mereka datang mencariku," kata Aruna.

Ketika Aruna muncul di tengah kerumunan, warga spontan berdesakan di sekelilingnya, seakan tubuh-tubuh mereka bisa menjadi perisai dari ancaman kompeni.

"Ini tidak adil!" teriak Karto, suami Marni. "Aruna telah membuat kami hidup layak, mengapa kalian ingin merenggutnya?"

Jenderal Willem van Deventer maju selangkah, sorot matanya menusuk. Ia berbicara lagi dengan nada dingin:

"Als ze niet vrijwillig meegaat, zullen we dit dorp verbranden en iedereen doden." (Jika dia tidak mau ikut dengan sukarela, kami akan membakar desa ini dan membunuh semua orang.)

Penerjemah pribumi menyampaikan ancaman itu. Seketika suasana berubah kaku. Wajah-wajah pucat, tangan-tangan gemetar. Tangisan anak-anak kian keras.

Aruna merasakan dunia seakan berhenti berputar. Ia menatap satu per satu wajah warga: Marni yang memeluk bayinya erat-erat, Karto yang berusaha berdiri gagah meski tubuhnya gemetar, anak-anak kecil yang menggigil ketakutan, dan Nyi Ratna yang matanya sudah berkaca-kaca.

"Tidak ...," desah Aruna lirih.

"Aruna! Jangan ikut mereka!" Marni tiba-tiba menerobos, memeluk Aruna erat, tangisnya pecah. "Kalau kau pergi, kau tidak akan kembali. Mereka akan memperlakukanmu buruk di sana!"

Aruna mengelus punggung Marni, air matanya jatuh juga. "Marni ... dengarkan aku. Jika aku menolak, mereka akan membunuh kalian semua. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Lebih baik aku sendiri yang pergi."

"Tidak! Aku mohon, jangan!" Marni menjerit, namun Aruna perlahan melepaskan pelukan itu.

Nyi Ratna maju, menggenggam tangan Aruna erat-erat. “Nduk, kau sudah seperti anakku sendiri. Jangan pergi. Biarlah aku yang tua ini menanggung, bukan kau."

Aruna tersenyum getir. "Mbok, justru karena aku menganggapmu seperti ibuku, aku tidak ingin melihatmu mati di hadapanku. Jaga warga, ajarkan mereka apa yang sudah aku ajarkan. Kebun, obat-obatan, kesehatan. Jangan biarkan desa ini kembali suram."

Nyi Ratna menangis sesenggukan, tubuhnya bergetar.

Aruna memeluk kembali Marni yang masih menahan Aruna agar tidak pergi. Sekuat tenaga Aruna berusaha untuk tidak menangis, tak ingin terlihat lemah di hadapan musuh.

Ia bisa melihat warga desa yang sudah seperti keluarganya sendiri. Aruna masih belum banyak membantu mereka, belum banyak mengajari mereka berbagai hal.

Tangisan Marni masih belum reda ketika Aruna berusaha melepaskan pelukannya. Wanita itu berlutut di tanah, wajahnya menengadah dengan mata sembab.

"Aruna, kalau kau pergi, aku akan merasa seperti kehilangan saudara sendiri. Kau satu-satunya orang yang memperlakukan aku dengan hormat, yang membuatku percaya bahwa hidup di desa miskin ini tetap bisa bahagia. Jangan biarkan mereka merenggutmu!" isak Marni.

Aruna terdiam. Suara itu menusuk jantungnya lebih tajam daripada ujung bayonet Belanda. Ia ingin menjawab 'aku tidak akan pergi', namun kilatan senapan yang mengarah pada anak-anak membuat lidahnya kelu.

Seorang lelaki tua, Pak Wiro, maju tertatih-tatih dengan tongkatnya. "Tuan Londo!” serunya lantang meski suaranya serak. "Kalau kalian membawa Aruna, maka kalian merenggut jantung desa ini. Dia bukan sembarang perempuan! Tanpa dia, kami semua sudah mati kelaparan. Apakah gubernur kalian buta hingga tak bisa melihat betapa berartinya Aruna bagi kami?"

Prajurit Belanda mendorong lelaki tua itu dengan kasar hingga ia jatuh tersungkur. Warga berseru marah, namun bayonet yang diacungkan membuat semua langkah tertahan.

Aruna menunduk menolong Pak Wiro, mengangkat tubuh renta itu kembali berdiri.

"Pak, jangan lawan mereka, aku tidak ingin melihat ada yang terluka karena aku," kata Aruna.

Pak Wiro menggenggam tangan Aruna, gemetar. "Kau cahaya kami, Nduk. Tanpamu, gelap kembali datang."

Aruna tersenyum pahit, air matanya jatuh di tangan keriput itu. "Pak, justru karena aku cahaya, maka aku Tidak boleh membuat kalian padam bersamaku. Aku rela pergi, asal kalian tetap hidup."

Ingatan- ingatan indah berkelebat di kepala Aruna. Hari pertama ia tiba di Desa Waringin, tubuh-tubuh kurus menyambutnya dengan tatapan ragu. Ia mengajarkan cara menanam dengan sistem sederhana, membagi ramuan herbal yang ia racik sendiri, dan tersenyum ketika melihat anak-anak kembali tertawa. Malam-malam ia duduk di beranda rumah Nyi Ratna, mendengarkan cerita rakyat dari mulut tua yang penuh hikmah. Dan pagi-pagi ia berjalan ke ladang, merasakan tanah yang mulai subur berkat kerja keras bersama.

Semua itu kini terasa seperti bunga yang harus dipetik sebelum sempat mekar sepenuhnya.

Aruna menatap Jenderal Willem dengan sorot mata yang tidak gentar. "Aku ikut. Tapi dengarkan sumpahku, jika satu pun dari warga ini diganggu, aku akan berteriak di hadapan gubernur bahwa janji Belanda hanyalah dusta. Kalian bisa membunuhku, tapi ingatlah, nama kalian akan menjadi noda di catatan sejarah."

Penerjemah pribumi memberitahu ucapan Aruna kepada sang Jendral.

Jenderal Willem menatapnya lama. Entah kagum, entah sekadar menghitung nilai seorang perempuan pribumi yang berani menantang.

"Je hebt lef, (Kau punya nyali)," kata Jendral Willem pelan. Lalu ia menoleh pada pasukannya, memberi isyarat agar senapan diturunkan.

Tangisan masih belum reda ketika Aruna naik ke punggung kuda. Bayangan tubuhnya yang ramping di bawah cahaya matahari pagi tampak begitu rapuh, namun sorot matanya seperti baja.

"Aruna?!" Teriakan itu datang dari sekelompok anak-anak kecil yang berlari ke tengah jalan. Mereka membawa bunga-bunga liar dari ladang. Mereka menaruh bunga itu di tanah, tepat di jalur kuda Aruna. "Cepatlah pulang. Kami menunggu!" teriak salah satu bocah dengan suara serak karena tangis.

Aruna menunduk, air matanya mengalir deras. Ia ingin turun dan memeluk mereka semua, namun prajurit Belanda mendorong anak-anak itu ke samping. Ia hanya bisa berseru lantang, "Kalian harus tumbuh lebih kuat! Jangan berhenti belajar! Jadilah lebih baik dariku!"

Perjalanan keluar desa dimulai. Roda gerobak pasukan berderit, derap kuda menggema, dan debu mengepul. Warga berlarian mengikuti di belakang hingga batas desa, terisak-isak memanggil nama Aruna.

Aruna menoleh terus, tak sanggup melepaskan pandangan dari mereka. Ia melihat Nyi Ratna berdiri tegak di gerbang bambu desa, kedua tangannya terkatup di dada, air mata mengalir deras namun wajahnya penuh doa. Ia melihat Marni terduduk di tanah, tubuhnya terguncang tangis, sementara Karto merangkul bahu istrinya, matanya merah karena menahan amarah dan duka. Ia melihat anak-anak menjerit, tangan-tangan mungil mereka terulur ke udara seolah bisa meraih Aruna kembali.

Aruna menahan napas panjang. "Tuhan, tolong jagalah mereka semua."

Begitu melewati hutan kecil di ujung desa, suara tangis mulai meredup tertelan jarak. Yang tersisa hanyalah kicau burung, derap kuda, dan suara logam senjata yang beradu ringan di sisi pelana prajurit. Aruna menatap langit biru di atas kepalanya, namun rasanya langit itu kini tak lagi ramah.

Seorang prajurit Belanda muda yang menunggang kuda di sebelahnya melirik diam-diam. Ada keraguan di matanya, seolah ia sendiri tak setuju membawa seorang perempuan dengan cara yang begitu kasar. Namun ia tetap diam, karena perintah adalah perintah.

Aruna menarik napas dalam, mencoba menguatkan diri. Ia tahu, di Batavia nanti, apa pun bisa terjadi. Wanita pribumi jarang dihormati di mata penguasa kolonial. Namun ia bertekad: ia tidak akan membiarkan dirinya diperlakukan hina. Jika harus berkorban, ia akan melakukannya dengan kepala tegak.

Hari itu, Desa Waringin merasakan kehilangan yang mendalam. Bayang-bayang suram kembali menyelimuti meski matahari masih bersinar. Namun di hati warga, api kecil tetap menyala: api yang ditinggalkan Aruna. Dan di hati Aruna sendiri, api itu ia bawa bersamanya, menyinari jalan panjang penuh ketidakpastian menuju Batavia.

1
Jelita S
Kita yg ngontrak ini diam z lh,,,
Jelita S
aku jdi senyum2 sendiri 😍😍
Jelita S
ada jga kompeni yg baik seperti Gubernur satu ini,,,pantesan sampe skg msih banyak orang kita yg menikah sama Belanda kompeni penjajah😄😄😄
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
cie cie yang mau MP jadi senyum" sendiri 🤣🤭😄
Archiemorarty: Hahahaha.... astaga /Facepalm/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
menjadi melow deh dan jadi baper sama perkataan nya Van Der 😍😭❤❤
Archiemorarty: waktunya romance dulu kita...abis itu panik...abis itu melow...abis itu...ehh..apa lagi ya /Slight/
total 1 replies
Jelita S
gantung z si Concon itu
Archiemorarty: Astaga 🤣
total 1 replies
Jelita S
adakah ramuan pencabut nyawa yg Aruna buat biar tak kasihkan sama si Concon gila itu😂
Archiemorarty: Tinggal cekokin gerusan aer gerusan biji apel aja, sianida alami itu /Slight/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
Van Der lucu banget
Archiemorarty: Hahaha /Facepalm/
total 3 replies
gaby
Tukang Fitnah niat mempermalukan tabib, harus di hukum yg mempermalukan jg. Dalam perang sekalipun, Dokter atau tenaga medis tdk boleh di serang.
Archiemorarty: Benar itu, aturan dari zaman dulu banget itu kalau tenaga medis nggak boleh diserang. emang dasar si buntelan itu aja yang dengki /Smug/
total 1 replies
Wulan Sari
semoga membela si Neng yah 🙂
Archiemorarty: Pastinya /Proud/
total 1 replies
gaby
Jeng jeng jeng, Kang Van der siap melawan badai demi membela Neng Aruna/Kiss//Kiss/
Archiemorarty: Sudah siap sedia /Chuckle/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
Akhirnya sang pujaan hati datang plisss selamat Aruna 😭😭😭😭
gaby
Aduuh Kang Van der kmanain?? Neng geulisnya di fitnah abis2an ko diem aja, kalo di tinggal kabur Aruna tau rasa kamu jomblo lg. Maria & suaminya mana neh, mreka kan berhutang nyawa sm Aruna, mana gratis lg alias ga dipungut bayaran. Sbg org belanda yg berpendidikan harus tau bakas budi. Jadilah saksi hidup kebaikan Aruna. Kalo ga ada Aruna km dah jadi Duda & kamu Maria pasti skrg dah jadi kunti kolonial/Grin//Grin/
Archiemorarty: Hahaha...sabar sabar /Facepalm/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
plisss up yang banyak
Archiemorarty: Hahaha...jari othor keriting nanti /Facepalm/
total 1 replies
Jelita S
dasar si bandot tua,,,tak kempesin perutnya baru tau rasa kamu kompeni Belanda
Archiemorarty: Hahaha...kempesin aja, rusuh dia soalnya /Facepalm/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
aduh bagaimana Aruna menangani fitnah tersebut
Archiemorarty: Hihihi...ditunggu besok ya /Chuckle/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
seru bangettt, ternyata Van deer romantis juga yaa kan jadi baperrr 😍😍😭😭😭
Archiemorarty: Bapak Gubernur kita diem diem bucin atuh /Chuckle/
total 1 replies
gaby
" Jangan panggil aq lagi dgn sebutan Tuan, tp panggilah dgn sebutan Akang". Asseeek/Facepalm//Facepalm/
Archiemorarty: Asyekkk
total 1 replies
gaby
Akhirnya rasà penasaranku terbayarkan. Smoga Maria & suaminya menyebarluaskan kehebatan & kebaikan Aruna, agar Aruna makin di hormati. Kalo Aruna dah pny alat medis, dia bisa jd dokter terkaya di Batavia, ga ada saingannya kalo urusan bedah. Kalo dah kaya Aruna bisa membeli para budak utk dia latih atau pekerjakan dgn upah layak. Ga sia2 Van der membujang sampe puluhan tahun, ternyata nunggu jodohnya lahir/Grin//Grin/
Archiemorarty: Hahaha...membujang demi doi dateng ya/Proud/
total 1 replies
gaby
Babnya lompat atau gmn thor?? Kayanya kmrn babnya tentang Aruna yg menolong wanita belanda yg namanya Maria, apa kabarnya Maria?? Bagaimana reaksi publik ketika melihat Aruna menyelamatkan pasien sesak napas di tengah2 keramaian pasar. Dan bagaimana respon warga kolonial ketika mendengar kesaksian dr suami Maria yg jd saksi kehebatan Aruna. Ko seolah2 bab kmrn terpotong
Archiemorarty: owalah iya, salah update aku...astaga. maapkan othor... update lagi ngantuk ini. ku ubah ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!