NovelToon NovelToon
Pewaris Sistem Kuno

Pewaris Sistem Kuno

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Spiritual / Sistem / Kultivasi Modern
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Ali Jok

Jaka, pemuda desa yang tak tahu asal-usulnya, menemukan cincin kuno di Sungai Brantas yang mengaktifkan "Sistem Kuno" dalam dirinya.

Dibimbing oleh suara misterius Mar dan ahli spiritual Mbah Ledhek, ia harus menjalani tirakat untuk menguasai kekuatannya sambil menghadapi Bayangan Berjubah Hitam yang ingin merebut Sistemnya.

Dengan bantuan Sekar, keturunan penjaga keramat, Jaka menjelajahi dunia gaib Jawa, mengungkap rahasia kelahirannya, dan belajar bahwa menjadi pewaris sejati bukan hanya tentang kekuatan, tetapi tentang kebijaksanaan dan menjaga keseimbangan dunia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ali Jok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pengawasan Sang Penguasa Lawu

lAku harus jujur, mendaki gunung itu bukanlah hobi favoritku. Apalagi mendaki Gunung Lawu yang legendaris angker itu. Batu-batunya tajam sekali, seolah-olah gunung ini sengaja ingin membuatku tersandung setiap langkah. Kabut tebal membuatku hampir tidak bisa melihat tangan sendiri, dan dinginnya menusuk sampai ke tulang.

Tapi anehnya, justru di sini aku merasa paling tenang. Mungkin karena setelah segala kekacauan yang terjadi, Eyang Retno yang sekarat, Padepokan yang diserang, dan pengkhianat yang masih berkeliaran, setidaknya di sini hanya ada aku dan gunung ini.

"Mar," bisikku, sambil menggosok-gosokkan tanganku yang sudah membeku. "Aku butuh bantuan. Bantu aku untuk... menyelaraskan diri dengan tempat ini. Jangan lawan, tapi jadi bagian darinya."

"Memahami," kata Mar di kepalaku. "Mengaktifkan Modus Harmoni. Peringatan: Energi gunung sangat tidak stabil. Seperti mencoba berdansa dengan singa yang sedang tidur."

"Lebih baik daripada berkelahi dengannya," gumamku sambil melepas sepatuku. Saat telapak kakiku menyentuh tanah lembab, sesuatu yang aneh terjadi. Aku bisa merasakan getaran dari dalam bumi, seperti detak jantung yang besar dan kuno. Getaran itu merambat naik melalui kakiku, membuat seluruh tubuhku bergetar.

Untuk pertama kalinya sejak mulai pendakian, aku merasa mengerti. Ini bukan tentang mencapai puncak secepat mungkin. Ini tentang mendengarkan apa yang ingin dikatakan gunung ini.

Tapi tentu saja, gunung ini punya cara sendiri untuk menguji pengertianku.

Tiba-tiba, di tengah segala warna abu-abu dan hijau tua, mataku tertarik pada sehelai daun pakis yang hijau terang sekali. Terlalu terang. Seperti neon sign yang berkata "SENTUH AKU!" Padahal Mbah Ledhek sudah memperingatkanku untuk menghindari warna hijau.

Dan seperti orang bodoh yang memang dari sananya, aku menyentuhnya.

Dunia berubah.

"Jaka... tolong..."

Ibu Parmi terikat di pohon, wajahnya penuh ketakutan. Darah mengalir dari luka di dahinya. Aku bisa melihat ketakutan di matanya, dan yang lebih buruk lagi - aku bisa melihat kekecewaannya padaku.

"Jaka! Itu ilusi!" teriak Mar. "Tingkat bahaya maksimum! Jangan percaya!"

Tapi sulit sekali. Bagian dari diriku yang masih menjadi anak yatim itu ingin berlari dan membebaskannya. Aku hampir saja menuruti dorongan itu ketika tiba-tiba aku ingat: Ibu Parmi tidak pernah memanggilku "Jaka". Selalu "Nak" atau "Le".

"Ini bukan nyata," kataku pada diriku sendiri, suaraku bergetar. "Ibu Parmi aman di rumah." Aku memejamkan mata erat-erat, berkonsentrasi pada kenangan terakhirku melihatnya tersenyum di depan rumah kami.

Ketika aku membuka mata lagi, pemandangan mengerikan itu sudah hilang. Yang tersisa hanyalah pohon biasa dan daun pakis yang sekarang terlihat biasa saja. Tapi jantungku masih berdebar kencang.

"Ujian pertama," gumamku. "Lulus."

Pendakian berlanjut, dan semakin tinggi aku naik, semakin aneh pemandangan yang kulihat. Tiba-tiba, di depan matanya muncul sebuah pasar yang ramai. Tapi ada yang salah dengan pasar ini. Semua orang di sana seperti bayangan, wajah mereka kabur dan suara mereka bergema.

"Wahai Pewaris," sapa seorang pedagang dengan suara mendayu. "Lihatlah pusaka yang kubawa. Ini bisa memberimu kekuatan yang kau impikan tanpa perlu bertapa bertahun-tahun."

Di tangannya ada sebuah keris yang berkilauan. Aku bisa merasakan energi yang memancar darinya - kuat dan menggoda.

"Jaka, jangan!" peringatkan Mar. "Itu jebakan! Kekuatan instan selalu ada harganya, dan biasanya harganya adalah jiwamu!"

Aku menghela napas. Dia benar. Aku ingat bagaimana Eyang Retno sekarat karena dikhianati oleh seseorang yang mungkin juga tergoda oleh kekuatan instan.

"Terima kasih," kataku pada bayangan itu. "Tapi aku lebih suka mendapatkan kekuatanku sendiri." Aku berjalan melewatinya tanpa menoleh, mendengar erangan kekecewaan yang perlahan memudar.

Semakin tinggi aku naik, semakin kuat energi yang kurasakan. Aku tiba di dataran tinggi di mana batu-batu vulkanik memancarkan kehangatan dan cahaya merah samar. Aku merasa harus duduk dan bermeditasi di sini.

Saat aku memejamkan mata, sesuatu yang ajaib terjadi. Di depan mata batinku, muncul simbol-simbol aneh yang berputar-putar.

"Ambang Energi Kosmik tercapai," lapor Mar, terdengar hampir tak percaya. "Memuat modul Pengamat Para Dewa... Selesai. Peringatan: Ada yang memperhatikan kita. Sesuatu yang... sangat besar."

Aku tidak bisa menjelaskannya, tapi aku bisa merasakannya. Ada kesadaran besar yang sedang mengamati. Bukan dengan mata, tapi dengan sesuatu yang lebih dalam. Aku membuka mata fisikku, setengah berharap melihat raksasa atau dewa. Tapi yang kulihat hanya kabut dan batu.

Tapi perasaan itu tidak hilang. Aku merasa sangat kecil, seperti semut yang sedang diamati oleh manusia. Dengan hati yang berdebar, aku membungkuk hormat ke segala arah. Mungkin mereka tidak bisa melihatku, tapi paling tidak aku bisa menunjukkan rasa hormat.

Jalanku kemudian menjadi lebih mudah, seolah-olah gunung sendiri yang membimbingku. Aku tiba di puncak, Hargo Dalem. Di sini, udaranya terasa berbeda - berat dan penuh wibawa.

Di atas sebuah batu datar yang seperti singgasana, duduk seorang lelaki tua. Pakaiannya sederhana tapi bermartabat. Dia tidak berkata apa-apa, tapi matanya... matanya mengatakan segalanya. Mata yang telah melihat ribuan tahun berlalu.

"Entitas tingkat dewa terdeteksi," bisik Mar, seolah takut mengganggu. "Sang Penguasa. Hormati."

Aku tidak perlu disuruh dua kali. Aku bersujud, menyentuhkan keningku ke batu yang dingin. Di hadapannya, aku merasa seperti anak kecil yang tidak tahu apa-apa.

Dia menoleh padaku, dan untuk sesaat, aku melihat senyum kecil di bibirnya. Lalu, dengan gerakan pelan, dia menunjuk ke arah celah antara dua batu besar. Dari sana, memancar cahaya keemasan.

Aku mengangguk, memahami tanpa kata-kata. Aku berjalan menuju cahaya itu, dan saat aku melewati sang Penguasa, sebuah suara bergema dalam jiwaku "Jagalah keseimbangan."

Di balik celah batu, ada pemandangan yang membuatku terpana. Sebuah mata air yang begitu jernih sehingga hampir tidak terlihat. Airnya memancarkan cahaya sendiri, dan cahaya itu berdenyut seirama dengan detak jantungku.

Dengan tangan gemetaran, aku mengeluarkan botolku. Tapi sebelum aku mencelupkannya, sebuah bisikan terasa dalam pikiranku: "Persembahan."

Aku mengerti. Aku melepaskan kalung kayu peninggalan orang tuaku - satu-satunya petunjuk tentang asal-usulku. Dengan hati tulus, aku meletakkannya di tepi mata air. "Untuk kehidupan," bisikku.

Saat botolku terisi penuh, Mar berbicara dengan suara yang hampir khidmat.

"Kita mendapatkan restu. Air ini sekarang memiliki kekuatan penyembuhan tertinggi."

Air mata kebahagiaan menetes di pipiku. Aku berhasil! Eyang Retno akan selamat!

Tapi kemudian, ketika aku berdiri dan memandang ke bawah dari puncak gunung, mataku menangkap sesuatu yang membuat darahku membeku. Asap hitam membumbung dari kejauhan. Bukan dari arah Padepokan.

Tapi dari arah Desa Sukoharjo. Rumahku. Tempat Ibu Parmi dan Pak Karto tinggal.

Kegembiraanku berubah menjadi keputusasaan dalam sekejap. Aku terjebak dalam dilema yang paling mengerikan: menyelamatkan Eyang Retno dengan air kehidupan ini, atau menyelamatkan keluargaku di Sukoharjo.

"Waktu ke Padepokan: 6 jam. Waktu ke Sukoharjo: 8 jam. Kondisi Eyang Retno: kritis," kata Mar, seolah membaca pikiranku.

"Jangan," desisku. "Jangan buat ini lebih sulit."

Aku memandang botol di tanganku. Cairan kehidupan yang bisa menyelamatkan seorang pendekar tua yang bijaksana. Lalu aku memandang asap hitam yang semakin membesar di kejauhan. Ancaman terhadap orang-orang yang telah mengangkatku sebagai anak mereka sendiri.

Janjiku pada Sekar berteriak dalam pikiranku. Tapi wajah Ibu Parmi juga tidak kalah kuat. Aku terjebak antara kewajiban dan cinta, antara janji dan keluarga.

Aku berdiri di puncak gunung keramat, dengan kekuatan untuk menyelamatkan satu nyawa, tapi dihadapkan pada kemungkinan kehilangan banyak nyawa lainnya. Botol di tanganku tiba-tiba terasa sangat berat.

"Mar," kataku, suaraku parau. "Apa yang harus kulakukan?"

Tapi untuk pertama kalinya, Mar diam saja. Mungkin karena bahkan sistem paling canggih pun tidak bisa memecahkan dilema seperti ini.

1
ShrakhDenim Cylbow
Ok, nice!
Walaupun latar belakangnya di Indonesia, tapi author keren gak menyangkut-pautkan genre sistem dengan agama🤭
ShrakhDenim Cylbow: Bagoos💪
total 2 replies
Marchel
Cerita yang bagus lanjutkan kak..
Ali Asyhar: iyaa kak terimakasih dukungannya
total 1 replies
Ali Asyhar
semoga cerita ini membuat pembaca sadar bahwa mereka penting untuk dirinya
T A K H O E L
, , bagus bro gua suka ceritanya
bantu akun gua bro
Ali Asyhar: oke bro
total 5 replies
Ali Asyhar
otw bro
Vytas
semangat up nya bro
Vytas
mampir juga bro,
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!