Setelah dua tahun menikah, Laras tidak juga dicintai Erik. Apapun dia lakukan untuk mendapatkan cinta suaminya tapi semua sia-sia. Laras mulai lelah, cinta Erik hanya untuk Diana. Hatinya semakin sakit, saat melihat suaminya bermesraan dengan Dewi, sahabat yang telah dia tolong.
Pengkhianatan itu membuat hatinya hancur, ditambah hinaan ibu mertuanya yang menuduhnya mandul. Laras tidak lagi bersikap manja, dia mulai merencanakan pembalasan. Semua berjalan dengan baik, sikap dinginnya mulai menarik perhatian Erik tapi ketika Diana kembali, Erik kembali menghancurkan hatinya.
Saat itu juga, dia mulai merencanakan perceraian yang Elegan, dibantu oleh Briant, pria yang diam-diam mencintainya. Akankah rencananya berhasil sedangkan Erik tidak mau menceraikannya karena sudah ada perasaan dihatinya untuk Laras?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni Juli, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12. Datanglah Lagi Besok
Hubungan mereka terasa begitu dingin dan asing. Meja makan pagi itu menjadi saksi bisu atas hubungan mereka yang hambar. Laras malas bicara, begitu juga Erik. Topik mereka selama ini hanya berkisar pada pekerjaan atau urusan rumah tangga.
Erik tidak tahu bagaimana dengan kehidupan istrinya meskipun Laras mengetahui bagaimana dengan hari yang ia jalani.
Rasanya cukup canggung, apalagi setelah perdebatan-perdebatan yang mereka lakukan beberapa hari belakangan.
Erik menyesap kopinya, menghela napas perlahan. Setidaknya pagi ini tak ada roti bakar gosong. Laras juga tidak lagi bertanya soal apa yang dia lakukan semalam, atau dengan siapa dia makan malam bersama ibunya. Semua terasa datar, hambar.
"Hari ini aku mau pergi, tidak ke kantor," ucap Laras akhirnya, bangkit dari kursinya.
"Mau ke mana?" tanya Erik tanpa menoleh, nadanya malas, nyaris acuh tak acuh.
"Salon, mempercantik diri. Belanja beberapa pakaian. Dan sekalian beli kebutuhan dapur. Jadi, jangan lupa transfer."
"Transfer lagi? Bukankah kemarin aku sudah transfer?" Erik mengangkat alis.
Laras tersenyum miring. "Yang kau transfer bukan uang kewajibanmu, Erik. Membeli perlengkapan rumah ini tanggung jawabmu, begitu juga dengan biaya mempercantik diri istrimu. Atau… kau ingin aku mencari pria lain yang bisa memenuhi kebutuhanku?"
Mata Erik menajam. "Jangan coba-coba, Laras. Aku tidak akan memaafkanmu kalau kau berani bersama pria lain."
"Kenapa marah?" balas Laras dengan nada dingin. "Bukankah kau punya banyak simpanan? Kau boleh, kenapa aku tidak boleh?"
Erik berdiri, suaranya keras, "Apapun yang kau katakan, jangan pernah berpikir untuk memiliki pria lain. Jika itu terjadi, aku akan menendangmu keluar dari rumah ini tanpa sepeser pun uang!"
Laras menatap Erik dengan tenang, tanpa rasa takut sedikit pun. Ini bukan pertama kali ancaman itu keluar.
Setelah Erik pergi, Laras hanya tersenyum. Tak mencintai, tapi tak rela dibagi. Apa sebenarnya yang diinginkan Erik darinya? Dia pun tidak tahu, dan tidak ingin peduli.
Saat hendak meninggalkan rumah, Erik tiba-tiba menyodorkan sebuah kartu.
"Pakai ini untuk belanja. Tapi ingat, jangan berlebihan. Sekalipun aku izinkan kau pakai uangku, tetap ada batasannya."
Laras mengambil kartu itu dengan cepat. "Tenang saja. Aku tahu batas. Mana yang boleh dibeli dengan uangmu, dan mana dengan uangku."
Erik tak menjawab. Hanya menatap punggung istrinya yang menjauh sambil menenteng tas mahal. Biasanya Laras akan merengek, minta diantar. Tapi sekarang, ia pergi tanpa sepatah kata manis pun.
Laras memacu mobilnya perlahan, menikmati hembusan angin dari jendela yang terbuka. Ada sedikit rasa puas dalam dirinya. Informasi yang ia miliki soal Diana bisa jadi senjata besar. Dan jika Erik benar-benar masih peduli pada Diana, ia tahu akan seperti apa arah permainan ini.
Dia akan membantu Erik jika pria itu membutuhkannya. Dengan demikian Dewi akan melihat, dia hanyalah wanita penghangat ranjang saja. Dia pun akan menendang Dewi ketika Erik sudah tidak membutuhkan dirinya lagi.
Sekali dayung, dua pulau terlampaui. Dia akan mendapatkan keuntungan besar dari kepedulian Erik terhadap Diana.
Satu malam satu miliar, berapa uang yang akan dia dapatkan saat kedua mantan kekasih itu bertemu kembali?
Senyumnya melengkung penuh siasat. Namun ponselnya berdering, memotong lamunan. Nomor tak dikenal.
Laras menjawab cepat. "Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?"
"Selamat pagi, Bu Laras. Saya Bryan Nugraha. Saya ingin membahas proposal kerja sama yang Ibu ajukan kemarin. Apakah Ibu bisa meluangkan waktu hari ini?"
"Oh, tentu saja. Kapan dan di mana saya bisa bertemu Anda, Pak Nugraha?"
"Kalau tidak keberatan, siang ini di kantor saya?"
"Tentu, saya akan datang."
"Baik. Saya tunggu, Bu Laras."
Laras menyimpan ponselnya, dia tidak akan mengatakan pada Erik akan pertemuan itu. Dia sudah memberitahu, jadi dia tidak perlu membuat laporan lagi.
Tapi sebelum itu, dia akan menikmati waktunya terlebih dahulu. Memanjakan diri sebagai wanita, Laras bahkan memotong rambutnya agar terlihat lebih rapi.
***
Setelah memanjakan diri, Laras tiba di sebuah gedung perkantoran mewah di kawasan pusat bisnis siang itu. Dengan penampilan anggun dan elegan, blus putih satin, rok pensil hitam, dan heels yang berkilau, ia memasuki lobby, menyebut nama Briant Nugraha di resepsionis.
"Silakan naik ke lantai delapan. Beliau sudah menunggu," ucap petugas ramah.
Laras melangkah mantap ke lift, memperbaiki penampilannya sedikit. Ia sudah beberapa kali bekerja sama dengan rekan bisnis Erik, dan sebagian besar adalah pria paruh baya yang terlalu banyak bicara dan terlalu sedikit bekerja.
Tapi kali ini berbeda, pria muda dengan kharisma luar biasa. Begitu pintu ruang kantor terbuka, pria itu sudah menunggu.
Langkah Laras terhenti sejenak, tatapan tertuju pada pada sosok Briant Nugraha.
Kemarin dia tidak terlalu memperhatikan. Pria itu tinggi, tegap, dan mengenakan setelan biru navy yang pas tubuh. Wajahnya bersih, rahangnya tegas, rambutnya tersisir rapi. Ada kharisma yang tenang, tidak berlebihan, dan justru itu membuatnya memikat. Mata mereka bertemu. Sekejap saja, tapi cukup membuat Laras terdiam sebelum segera sadar diri.
"Se-selamat siang, Pak Nugraha," sapa Laras, memaki kebodohannya yang terpesona dengan pria itu.
“Selamat siang, Bu Laras,” balas Briant sambil tersenyum dan menyodorkan tangan. “Senang dapat bertemu, kau orang yang tepat waktu."
"Aku tidak ingin mengecewakan," Laras menjabat tangannya dengan percaya diri, meski sempat merasakan kehangatan dalam genggaman itu tapi dia menariknya dengan cepat.
"Apakah ada yang kurang dalam proposal itu?"
"Ya, sebab itu saya meminta Bu Laras untuk datang. Silahkan duduk."
"Terima kasih," Mereka duduk, dan mulai membahas proposal.
Briant tampak fokus, tapi sesekali matanya mencuri pandang ke wajah Laras. Ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Wanita itu, memesona. Cantik, pintar, tenang, dan punya karisma dingin yang tak bisa diabaikan.
Sayangnya, ia juga adalah istri dari Erik Wijaya, pria yang kabarnya sedang tak bahagia dalam pernikahan. Semua orang tahu.
Laras pun menyadari pandangan itu, tapi memilih menjaga sikap. Ia bukan wanita bodoh yang akan menyeret diri dalam skandal murahan, bukan saat ini, bukan dengan pria yang bisa jadi sangat berguna untuknya.
Setelah membahas detail proposal, Briant berkata sambil menutup berkas, “Saya akan tinjau lebih lanjut, tapi secara keseluruhan ini menarik.”
"Jika memang ada yang harus diperbaiki, saya akan segera melakukanya."
"Apa mau aku bantu?" Tawaran itu terucap begitu saja.
Laras tersenyum anggun. “Saya senang mendengarnya. Tapi saya tidak bisa merepotkan pak Nugraha."
"Tidak masalah, mulai besok datanglah. Akan lebih baik kita kerjakan bersama. Dengan demikian kita tahu letak kekurangannya."
"Apa tidak apa-apa?" Laras tampak ragu.
"Aku tidak keberatan sama sekali."
Tatapan mereka bertemu, ada ketegangan samar di udara. Bukan ketegangan buruk, melainkan sesuatu yang belum diucapkan, belum ditentukan. Tapi keduanya tahu, chemistry itu nyata.
"Baiklah, itu lebih baik."
"Jika begitu, datanglah lagi besok. Kita akan memperbaiki semua ini."
"Aku tidak tahu Pak Nugraha akan sebaik ini," Laras berdiri untuk berpamitan, "Ini sebuah kehormatan karena dibantu secara langsung."
"Aku suka dengan proyek ini, sayang untuk dilewatkan apalagi sampai gagal. Anggap saja, service tidak biasa."
“Terima kasih sudah bersedia meluangkan waktu. Kita akan bertemu lagi, untuk urusan pekerjaan.”
Briant mengangguk, setengah tersenyum. “Saya menghargai profesionalismemu, Bu Laras. Tapi jika suatu saat kau butuh teman bicara di luar urusan bisnis… saya bersedia.”
"Apa itu juga termasuk service?"
Briant terkekeh, "Ya, anggap begitu."
"Terima kasih," Laras tersenyum tipis, lalu berpamitan.
Briant mengantar sampai ke lift. Tidak dipungkiri, dia tertarik dengan wanita itu meski dia tahu, tidak seharusnya ketertarikan itu ada.
hayuu Erik n Ratna cemuuuunguut utk tujuan kalian yg bersebrangan 🤣🤣
semangat utk mendapat luka Erik 🤣