Menjalin hubungan dengan pria lajang ❌
Menjalin hubungan dengan duda ❌
Menjalin hubungan dengan suami orang ✅
Mawar tak peduli. Bumi mungkin adalah suami dari tantenya, tapi bagi Mawar, pria itu adalah milik ibunya—calon ayah tirinya jika saja pernikahan itu dulu terjadi. Hak yang telah dirampas. Dan ia berjanji akan mengambilnya kembali, meskipun harus... bermain api.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ila akbar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Sementara itu, di Pulau…
Sejak kepergian Mawar ke Jakarta tanpa kabar, hidup Anjani terasa semakin hampa. Hari-harinya berlalu dalam keheningan yang menyesakkan. Tanpa Mawar, Anjani seperti kehilangan separuh jiwanya.
Setiap hari, Anjani pergi ke pelabuhan. Berdiri di bibir pantai, menatap hamparan laut luas yang seakan tak berujung. Menunggu. Berharap.
Ia berharap Mawar akan pulang.
Tak peduli seberapa lama ia berdiri di sana. Tak peduli angin kencang menerpa tubuhnya yang semakin renta. Tak peduli terik matahari membakar kulitnya, atau dinginnya malam menusuk hingga ke tulang. Ia tetap menunggu.
Memandang laut yang terus berdebur, matanya nanar. Langit gelap dihiasi cahaya bulan, angin laut mengibarkan rambutnya yang terurai. Dalam diam, ia berbisik pelan, suaranya terbawa angin malam.
“Mawar, kamu di mana?”
Dadanya terasa sesak. “Apa di perjalanan kamu baik-baik saja sampai di Jakarta? Kenapa sampai sekarang kamu belum juga kasih kabar pada Mbak?”
Matanya mencari… menelusuri cakrawala yang tak bertepi, seolah berharap bisa menemukan sosok adiknya di kejauhan.
Ombak memukul bibir pantai, angin malam bertiup semakin kencang, membawa serta segala keresahan yang menyelimuti hatinya. Tapi Anjani tetap berdiri di sana. Tetap menunggu.
Sebab, jauh di lubuk hatinya, ia yakin…
Mawar akan pulang.
Entah kapan. Entah dalam keadaan seperti apa.
Tapi ia akan pulang.
Di sampingnya, Aryo—lelaki yang selalu setia menemani, menatapnya dengan sorot mata yang penuh kekhawatiran. Tanpa berkata-kata, ia melepaskan sweaternya, lalu dengan lembut menyelimutkan ke tubuh Anjani yang kecil—terlihat rapuh, seolah dipenuhi beban yang begitu berat.
“Anjani, hari sudah malam.” Suaranya terdengar pelan, nyaris seperti bisikan. “Ayo… kita pulang.”
Hatinya mencelos melihat gadis yang begitu ia cintai berdiri mematung, terpaku pada laut yang tak memberikan jawaban. Aryo takut… takut kehilangan Anjani pada kesedihan yang semakin mengakar.
Anjani tak langsung menjawab. Setetes air mata jatuh, membasahi pipinya yang dingin. Perlahan, ia mengalihkan pandangan dari laut, menatap Aryo dengan mata yang sayu.
Lalu, dengan suara lirih, ia akhirnya berbisik, “Ayo…”
Namun jauh di dalam hatinya, ia tahu—hatinya tetap akan tinggal di tepi pantai itu. Menunggu. Entah sampai kapan.
***
Di Jakarta.
Pagi pun datang, bukannya semangat yang menyala, tapi justru rasa lapar yang menyiksa. Ketika Mawar hendak melangkah keluar mencari keberadaan Lusi, tantenya, tiba-tiba perutnya mencengkeram dalam nyeri yang menusuk.
“Aw, sttt! Aduuuh…”
Ia merintih pelan, menekan perutnya yang kosong. Nafsu mencari Lusi untuk membalaskan dendam sirna sesaat, tergantikan oleh kebutuhan yang lebih mendesak—ia harus makan. Jika tidak, tubuhnya mungkin tak akan sanggup bertahan lebih lama.
Mawar menghela napas berat dan melangkah keluar. Kali ini, bukan Lusi yang akan ia cari, melainkan pekerjaan. Apa pun itu, asal bisa memberinya sesuap nasi.
Ia menyusuri jalanan kota yang padat, mencari harapan di antara gedung-gedung tinggi yang seolah menertawakannya. Pandangannya menangkap sekelompok anak jalanan yang menjajakan koran di trotoar. Dengan cepat, ia mendekat.
“Dek, Kakak boleh ikut jualan koran seperti kalian?” tanyanya dengan suara penuh harap.
Anak-anak itu tak langsung menjawab. Mereka saling pandang, ragu. Sebelum akhirnya, salah satu dari mereka berbisik kepada yang lain.
Namun, sebelum Mawar sempat berbicara lagi, anak-anak itu tiba-tiba berlari terbirit-birit.
“Eh? Dek! Adek mau ke mana? Tunggu!” seru Mawar sambil mengejar mereka.
Meskipun lemas karena lapar, langkahnya berusaha mengimbangi mereka hingga akhirnya ia tiba di sebuah tempat yang tak ia kenali. Nafasnya tersengal saat ia melihat sekeliling—rumah-rumah kardus berjejer, tenda-tenda lusuh terbentang di sudut-sudut, dan anak-anak kecil dengan wajah penuh debu berlarian tanpa alas kaki, tertawa riang seolah dunia mereka tidak dipenuhi kesulitan.
Sebelum Mawar sempat memahami situasi yang ada, anak-anak yang tadi berlari kini kembali, kali ini bersama seorang pria muda. Usianya sekitar 25 tahun, tidak jauh berbeda dengan usia Mawar, mengenakan jaket hitam lusuh, sepatu kotor, dan celana jeans robek-robek. Salah satu dari mereka menunjuk ke arah Mawar dengan wajah ketakutan.
“K-Kak Anjas! Itu Kakak-kakak jahatnya!”
Mawar terkejut. “Eh, nggak! Kakak bukan orang jahat! Sungguh! Kakak Cuma ingin ikut jualan koran…”
Pria yang dipanggil Kak Anjas tersenyum tipis, sorot matanya tajam namun hangat. Ia mengangkat tangannya, menenangkan anak-anak di sekelilingnya.
“Tenang… Aku percaya kok,” katanya, suaranya dalam dan menenangkan. “Ngomong-ngomong, ada yang bisa aku bantu?”
Mawar menelan ludah, lalu menunduk menatap anak-anak jalanan di sekitarnya. Mereka semua tampak kelaparan—sama seperti dirinya.
“Kalau diizinkan, aku ingin ikut berjualan koran seperti mereka.”
Anjas menatapnya sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. “Baiklah, kalau itu keinginanmu, aku akan membantumu.”
Mawar tersenyum lemah. Setidaknya, hari ini ia memiliki harapan baru.
Setelah mendapatkan izin dari Anjas, beberapa anak jalanan segera mengajak Mawar bergabung. Mereka berjalan kembali bersama-sama menuju trotoar, membawa tumpukan koran di tangan. Saat ada pejalan kaki yang lewat, mereka menawarkan dagangan dengan suara lantang. Ketika lampu merah menyala, mereka berlarian mendekati mobil-mobil yang berhenti, menyodorkan koran dengan penuh harap.
Melihat keseriusan yang terpancar dari wajah Mawar, Anjas, yang diam-diam memperhatikannya dari kejauhan, tidak bisa menahan senyum kecil yang terukir di bibirnya.
***
Seharian sudah mereka semua berjualan koran. Para anak jalanan kembali berlari menuju taman tempat mereka biasa berkumpul. Anjas, yang sudah menunggu di sana, melambaikan tangannya.
“Hey, hey! Semuanya, ke sini!”
Anak-anak itu berlari riang, berhamburan mengambil satu per satu nasi bungkus yang telah disiapkan. Mawar mengikuti mereka dengan langkah ragu.
“Dek, kita mau ke mana?” tanyanya kepada seorang anak kecil di sampingnya.
Anak itu menoleh dengan senyum polos. “Ayo, Kak! Kak Anjas sudah memanggil! Berarti waktunya makan!”
Mawar diam, mengamati mereka yang dengan penuh semangat menyantap makanan mereka. Aromanya menggoda perutnya yang kosong sejak kemarin. Tanpa sadar, ia menelan ludah saat melihat seorang anak kecil makan dengan lahap, apalagi ketika ia melihat anak kecil itu menggigit ayam goreng yang terlihat sangat enak dan empuk.
Tiba-tiba, suara Anjas membuatnya tersentak.
“Kenapa kamu hanya diam? Ini masih ada makanan. Apa kamu belum lapar?”
Mawar mendongak, matanya membesar. Ia sempat berpikir bahwa ia tak mendapat jatah makanan. Tapi kini, di hadapannya, Anjas menawarkan sebungkus nasi.
Tanpa berpikir panjang, Mawar buru-buru mengambilnya. “Oh! I-iya! Terima kasih, Kak!”
Ia langsung membuka bungkusannya dan menyantap nasi itu dengan cepat, tanpa peduli dengan tatapan anak-anak jalanan yang kini melongok heran ke arahnya.
Anjas hanya tersenyum lembut, membiarkan Mawar melahap makanannya tanpa berkata-kata.
Saat Mawar menyadari bahwa ia sedang diperhatikan, ia menghentikan suapannya sejenak. “K-kenapa kalian ngelihatin aku makan kayak gitu?” tanyanya canggung.
Anjas tersenyum semakin lebar, senyum yang entah kenapa terasa hangat dan menenangkan. “Sudah, anak-anak. Lanjutkan makan kalian.”
Mawar menatap Anjas dengan penuh rasa ingin tahu. Siapa sebenarnya pria ini? Mengapa ia begitu peduli pada anak-anak jalanan? Dan yang lebih membingungkan, mengapa ada sesuatu yang terasa berbeda darinya?
Meskipun pakaian yang dikenakannya lusuh dan mencerminkan kehidupan jalanan, ada sesuatu dalam diri Anjas yang tak bisa diabaikan—cara bicaranya, sorot matanya, bahkan sikapnya. Ia tidak sepenuhnya tampak seperti anak jalanan biasa. Seolah-olah ia berasal dari dunia yang berbeda, dunia yang lebih berkelas, lebih berpendidikan.
Saat suasana mulai tenang, Anjas menatap Mawar dengan sorot mata lembut, namun terselip keingintahuan di dalamnya. Ada sesuatu pada gadis ini yang membuatnya penasaran—cara bicara yang ragu-ragu, sorot matanya yang menyimpan kesedihan, serta keberadaannya yang terasa janggal di tempat ini.
“Kalau boleh tahu, namamu siapa? Dan bagaimana kamu bisa sampai ke sini?” tanyanya dengan suara tenang.
Mawar menelan ludah, hatinya sedikit bimbang sebelum akhirnya menjawab, “N-Namaku Mawar, Kak.”
Senyum Anjas merekah, seolah nama itu membangkitkan sesuatu dalam pikirannya. “Mawar... Nama yang cantik,” ucapnya pelan. Ada sesuatu dalam nama itu yang mengingatkannya pada keindahan sekaligus ketangguhan.
Tak ingin berlama-lama membiarkan keheningan di antara mereka, Anjas pun memperkenalkan diri. “Namaku Anjas.”
Mawar tersenyum tipis, sedikit malu-malu. “Iya, Kak, Aku sudah tahu dari anak-anak.”
Anjas terkekeh pelan, mengangguk-angguk. “Oh iya, benar juga.”
Namun, rasa penasarannya belum juga hilang. Dengan lembut, ia kembali bertanya, “Kalau boleh tahu, kamu dari mana? Dan kenapa kamu sampai di sini sendirian?”
Mawar menundukkan kepala, tangannya meremas ujung bajunya dengan gelisah. “Aku dari sebuah pulau terpencil… Aku datang ke Jakarta untuk mencari alamat tanteku. Tapi… sampai sekarang aku…”
Ucapan Mawar terputus. Mendadak, sebuah pikiran melintas di benaknya. Mungkin saja… Mungkin saja Anjas tahu sesuatu!
Ia mengangkat wajahnya dengan ekspresi penuh harapan. “Oh iya, Kak! Aku boleh nanya sesuatu nggak?”
Anjas mengangguk santai. “Tentu. Mau nanya apa?”
Mawar menggigit bibirnya, sedikit ragu sebelum akhirnya bertanya, “Kak Anjas… siapa tahu Kakak mengenal tanteku. Suaminya seorang pengusaha sukses dan ternama. Barangkali Kakak pernah dengar nama mereka. Tanteku bernama—”
Namun sebelum Mawar sempat menyelesaikan ucapannya, ponsel Anjas tiba-tiba berdering, memotong percakapan mereka.
Anjas menghela napas, ekspresinya berubah sedikit kesal. “Sebentar ya, Mawar. Aku angkat telepon dulu.”
Ia kemudian menjawab panggilan itu dengan nada tergesa. “Aduuuh, ada apa lagi sih? Iya, iya. Aku nggak lupa! Nih, aku langsung on the way ke situ.”
Setelah menutup telepon, Anjas segera bangkit dari tempat duduknya. Sorot matanya berubah serius, seakan sesuatu yang mendesak sedang menunggunya.
“M-Mawar, maaf ya! Lain waktu kita sambung lagi obrolan kita. Aku harus pergi sekarang.”
Mawar hanya bisa mengangguk pelan, meski hatinya penuh rasa penasaran dan sedikit kecewa.
Anjas lalu menoleh ke arah anak-anak jalanan yang masih menikmati makanan mereka. “Anak-anak! Kakak pergi dulu! Mungkin malam ini Kakak nggak pulang.”
Anak-anak itu serempak menjawab, “Iya, Kak! Hati-hati!”
Dengan langkah cepat, Anjas menghilang di tengah hiruk-pikuk kota.
Sementara itu, Mawar masih duduk di tempatnya, menatap punggung pria itu yang semakin jauh. Ada banyak pertanyaan yang belum terjawab.
Siapa sebenarnya Anjas? Apa yang membuatnya begitu peduli pada anak-anak jalanan? Dan… mengapa ia merasa bahwa pria itu mungkin memiliki jawaban yang ia cari?
Mawar menghela napas panjang, menatap hari yang mulai sore.
Ia tahu, perjalanannya masih panjang… dan penuh teka-teki.