NovelToon NovelToon
Kelas Tujuh Untuk Zahrana

Kelas Tujuh Untuk Zahrana

Status: sedang berlangsung
Genre:Sistem
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: DUOELFA

Aku menunggu jawaban dari bu Nirmala dan bu Zahira, namun hingga dua hari ini berikutnya, aku belum mendapatkan jawaban dari masalah tersebut.

"Bu, Andai aku tak cerita tentang masalah bullying ini pada ibu, aku mungkin masih sekolah di sekolah X ya bu," ucap Zahrana padaku saat kami tengah makan bersama.

Aku memandang putri sulungku tersebut.

"Bila kamu tidak bilang pada ibu, ibu yakin, Allah akan menunjukkan jalan lain agar ibu bisa mengetahui masalahmu nduk. Wis nggak usah dipikirkan lagi. Ayo cepat makannya. Nanti keburu dihabiskan mas," ucapku mengalihkan pembicaraan.

Aku berusaha tak terlalu mendengarkan perkataan Zahrana karena aku masih menunggu penjelasan dari bu Zahira dan bu Nirmala dan pengakuan dari Ghania agar semua menjadi jelas. Akankah Zahrana tetap bisa sekolah disana atau tidak pun tidak, akupun tak tahu jawabannya karena aku akan mempertimbangkan semua dari beberapa sisi, dan aku pasti akan memilih sisi yang paling aman untukmu, Zahran

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DUOELFA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

TENTANG SEKOLAH GRATIS

Ada sekolah gratis di desa sebelah. Jaraknya tidak jauh dari rumah. Mungkin sekitar dua atau tiga kilo meter dari rumah. Aku berusaha mencari informasi tentang sekolah tersebut. Ada yang memberitahuku bahwa ternyata ada anak  tetangga yang bersekolah di sana. Ibu anak itu bernama mbak Mukminin. Sementara anak yang  bersekolah disana, namanya Navira kalau tidak salah.

Aku sangat kurang hafal pada anak-anak para tetangga karena aku jarang sekali bermain ke rumah tetangga, atau untuk berkumpul-kumpul sekedar berbincang atau bergosip dengan mereka atau kalau istilahnya ditempatku disebut dengan nonggo.

Pernah pasa suatu saat, aku bermain ke rumah tetangga dengan membawa serta Mumtaz dan adiknya, Arsenio. Saat aku tengah mengawasi adiknya bermain, tanpa kusadari ternyata Mumtaz telah bermain hingga ke tepi jalan dan hampir saja terserempet motor. Daripada terjadi hal yang tidak diinginkan, sejak saat itu aku jarang sekali bermain ke rumah tetangga. Aku juga selalu menutup pintu rumah bagian depan karena jarak antara jalan raya dan depan rumah tidak terpaut jauh. Hanya kisaran empat atau lima meter saja. Aku takut bila baik Mumtaz maupun Arsenio tiba-tiba saja keluar tanpa pamit atau tanpa sepengetahuanku karena keadaan jalan raya didepan rumah sangat ramai.

Saat hari minggu, di waktu senggang, setelah menyelesaikan kegiatan rumah, seperti memasak, mencuci baju dan membersihkan rumah, aku keluar rumah sejenak menuju rumah mbak Inin, panggilan dari mbak Mukminin untuk menanyakan sesuatu yang berhubungan dengan sekolah gratis yang berada di desa sebelah. Aku meminta Zahrana untuk menjaga adiknya, Mumtaz dan Arsenio agar aku bisa lebih leluasa berbicara dengan mbak Mukminin tentang sekolah gratis tersebut.

Aku berjalan ke rumah mbak Inin, tetanggaku yang jarak rumahnya tak jauh dari rumahku. Hanya seratus meter saja. Hanya berbeda hadapan. Rumahku menghadap ke selatan, sedangkan rumah mbak Inin menghadap ke utara.

"Asssalamu'alaikum," sapaku diambang pintu pada pemilik rumah.

"Wa'alaikumussalam. Siti. Tumben kamu ke sini. Ada apa?" jawab mbak Inin dari dalam rumah.

Aku terdiam sejenak.

"Mbak Inin sedang repot nggak?" Tanyaku pada mbak Inin.

"Aku nggak repot. kalau hari minggu seperti ini aku libur," jawab mbak Inin.

"Kerja dimana sekarang mbak? Masih di depot?" Tanyaku pada pak Inin, karena setahu mbak Inin pernah kerja di depot makanan di daerah kota.

"Sudah lama aku nggak kerja disana. Aku sekarang jaga es teh di daerah Banjaran, dekat sekolah yang mahal itu lho Sit," jelas mbak Inin.

"Oalah. Di sana," jawabku sambil menganggukkan kepala tanda memahami letak sekolah tersebut.

"Ada keperluan apa? Tumben kamu kemari," Tanya mbak Inin penasaran.

"Navira sekolah dimana mbak?" 

"Sekolah gratis di desa sebelah Sit. Keuangan keluarga juga lagi nggak memungkinkan untuk menyekolahkan Navira ditempat yang bagus."

"Boleh tanya-tanya nggak mbak? Ini Zahrana sudah kelas enam. Aku berencana menyekolahkan di sana."

Mbak Inin tampak beranjak dari tempat duduk dan masuk ke dalam kamar. Saat keluar kamar, ia menghampiriku dan memberikan sebuah brosur berwarna biru bercampur kuning. Disana terdapat keterangan  bagaimana Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di sekolah gratis tersebut lengkap dengan persyaratan masuk serta hal-hal yang akan didapatkan oleh siswa baru.

"Ini brosurnya Sit. Bila ada perlu, silakan hubungi nomer yang tertera di brosur itu," kata mbak Inin. 

"Iya mbak," jawabku.

"Menurutku, sekolahnya enak Sit. Masuk sekolah setiap hari Senin hingga Jumat. Pulangnya jam setengah tiga sore. Jadi hari Sabtu dan Minggu libur. Ada mobil antar dan jemput untuk pulang dan pergi ke sekolah, dapat tiga stel seragam secara gratis, tidak ada SPP. Kita hanya mengeluarkan uang untuk keperluan membeli tas, sepatu, kaus kaki. Kalau sepatu masih muat, tas juga masih layak, kaus kaki sudah, nggak perlu beli Sit," Jelas mbak Inin yang membuatku tertarik pada sekolah gratis tersebut.

"Iya mbak."

"Sekolahnya juga gak bawa buku tulis atau buku bacaan Sit. Jadi kamu gak usah beli buku tulis atau peralatan menulis yang lain. Tapi bawa hp yang ram nya agak tinggi ya. Ram empat atau lima karena untuk menyimpan data karena baik buku bacaan sekolah, tugas sekolah atau keperluan belajar akan dikirim lewat hp. Siswa hanya perlu membayar uang untuk wifi.Per hari seribu atau dua ribu aku lupa. Nanti coba kutanyakan pada Navira bila ia sudah pulang dari sekolah. Jadi intinya sekolah di sekolah gratis yang berada di desa tetangga itu hanya membutuhkan hp sebagai sarana belajar selama tiga tahun. Anak-anak hanya perlu membawa uang saku sesuai  kemampuan orang tua dan uang untuk bayar wifi. Murah sekali bukan Sit?"

Aku hanya menganggukkan kepala tanda mengiyakan. Setelah cukup untuk bertanya tentang sekolah gratis tersebut, aku pamitan pada mbak Inin.

"Mbak Inin, aku pamit ya. Takut Mumtaz dan Arsenio mencariku," pamitku pada mbak Inin.

"Brosurnya kamu bawa aja Sit," ujar mbak Inin sambil mengulurkan brosur sekolah gratis itu padaku yang segera kuterima.

"Terima kasih brosurnya mbak. Nanti akan kubaca-baca lagi dirumah. Mbak, kalau ada info lowongan pekerjaan yang boleh membawa anak kecil, minta tolong dikabari aku ya. Aku sangat butuh pekerjaan mbak," pesanku pada mbak Inin.

Mbak Inin menyembik.

"Kamu ini ngawur. Mana ada lowongan kerja yang boleh bawa anak kecil. Gak jadi kerja, malah momong. Bisa-bisa malah dipecat," tukas mbak Inin yang kutanggapi dengan tertawa.

"Ya kalau ada mbak. Siapa tahu?" ucapku terkekeh.

Mbak Inin terlihat tertawa lebar menanggapi perkataanku.

"Kalau ada yang seperti itu, aku daftar duluan. Biar aku saja yang kerja di sana," sahut mbak Inin.

Aku kembali tersenyum. Mbak Inin memang orang yang suka sekali banyol (bercanda). Dulu ia kakak tingkatku saat sekolah di SD dan saat masih kecil, kami mengaji bareng di surau atau langgar yang tak jauh dari rumah. Kalau sekarang istilahnya mungkin lebih tepat dengan kata mushalla ya? Tapi kalau surau itu, sepengetahuanku, ukurannya lebih kecil dari mushalla. Apa aku salah ya? Entahlah. Bila para pembaca tahu, bisa kalian tulis di kolom komentar ya. Terima kasih.

Kami, aku dan mbak Inin mulai  jarang sekali bertemu saat sudah beranjak remaja karena memiliki kesibukan masing-masing. Bila aku ke rumah mbak Inin selain hari Minggu, mungkin kami juga tak bisa bertemu dan saling berbincang seperti tadi.

"Pamit mbak. Mumtaz dan Arsenio mungkin sudah mencariku saat ini. Nanti malah keasyikan ngobrol, jadi gak tau waktu."

Mba Inin tertawa.

"Ya cepat pulang. Perasaan tadi kamu Sudah pamit. Tapi malah masih tambah terus ngobrolnya," ujar mbak Inin yang kutanggapi dengan tertawa.

"Mbak Inin, mbak Inin. Terima kasih sudh membuat mood ku semakin baik hari ini," ucapku dalam hati.

Aku kembali berjalan kaki untuk pulang. Sesampainya dirumah, Mumtaz dan Arsenio menghampiriku.

"Buk, minta jajan," ucap Mumtaz.

"Aku iya. Minta jajan," sahut Arsenio.

Uangku tinggal sepuluh ribu rupiah, hasil jualan rongsokan botol bekas kemarin. Kuulurkan uang itu pada Zahrana agar ia membelikan jajan untuk kedua adiknya.

"Mbak, seperti biasa ya. Dua ribuan. Sampean dua ribu, Mas dua ribu, Adik dua ribu," ucapku pada putri sulungku.

"Iya bu," jawab Zahrana sambil mengandeng Mumtaz untuk menemaninya ke toko yang tak jauh dari rumah.

1
ibuke DuoElfa
semangat
ibuke DuoElfa
selamat membaca
kozumei
Wow, luar biasa!
ibuke DuoElfa: Terima kasih kak
semoga suka dengan cerita saya
total 1 replies
Eira
Ingin baca lagi!
ibuke DuoElfa: sudah update 2 bab kak
masih proses review
semoga suka dengan cerita saya ya

selamat membaca
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!