Nagendra akankah mencair dan luluh hatinya pada Cathesa? Bagaimana kisah selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12
Ruangan rapat lantai 15 Alejandro Corp siang itu dipenuhi suasana profesional nan kaku. Para perwakilan dari pihak bank sudah duduk rapi, laptop terbuka, file presentasi tersusun sempurna.
Tepat pukul 13.00, pintu terbuka.
Nagendra Ramiel Alejandro masuk dengan setelan abu gelap dan tatapan setajam ujung pena. Langkahnya mantap, penuh wibawa. Tidak ada basa-basi. Tidak ada senyum sambutan. Hanya aura dominasi yang otomatis membuat semua orang duduk lebih tegak.
Dan di antara mereka—Diva. Yang biasanya suka membanding-bandingkan diri, kali ini justru terpaku.
“Astaga… ini CEO-nya?”
Untuk pertama kalinya, Diva merasa kecil—bukan karena penampilan, tapi karena ketenangan intimidatif pria yang baru saja duduk di ujung meja itu.
“Kita mulai,” ucap Nagendra singkat. Suaranya rendah tapi terdengar tegas ke seluruh penjuru ruangan.
Diva membuka file presentasinya dengan tangan sedikit berkeringat. Saat gilirannya bicara, ia sempat salah menyebut angka.
“Maaf, Pak. Maksud saya, return 8,7 persen, bukan 87…”
Ia tertawa kecil—nada manis yang biasanya ampuh di rapat manapun.
Tapi tidak di sini.
Nagendra hanya menatapnya tanpa ekspresi.
“Fokus. Jangan asal bicara di hadapan pemegang proyek ratusan miliar.”
Diva tercekat. Merasa pipinya panas.
Beberapa rekan bank tampak mencuri pandang dengan panik. Tapi Nagendra kembali menatap layar—tenang, dingin, seperti tidak terjadi apa-apa.
Pertemuan terus berjalan. Diva mencoba profesional. Tapi matanya tak bisa berhenti mengamati pria di ujung meja itu.
Dingin. Tegas. Tampan. Karismatik. Dan tak memberi ruang siapa pun untuk bermain-main.
“Gila… pantes aja Cathesa keliatan pede banget tadi pagi. Cowok ini… memang beda level.”
⸻
Selesai rapat, semua berdiri. Diva mencoba mendekati.
“Pak Nagendra… saya ingin menyampaikan apresiasi saya atas kesempatan kerjasama ini.”
Nagendra menatapnya. Sekilas. Datar.
“Sampaikan saja ke bagian keuangan untuk detail selanjutnya. Saya tidak campur terlalu dalam.”
“Tentu, Pak. Tapi… saya juga ingin mengatakan… saya punya kenalan yang kerja di sini. Sekretaris pribadi Bapak—Cathesa.”
Seketika, mata Nagendra berubah. Sedikit mengernyit. Tapi tidak membalas.
“Saya tahu,” jawabnya pendek.
Diva menelan ludah. Berharap reaksi lebih, tapi justru terintimidasi lebih dalam.
Nagendra lalu mengangguk kecil.
“Saya ada meeting berikutnya. Terima kasih atas waktunya.”
Ia pergi begitu saja.
Diva berdiri mematung. Untuk pertama kalinya, ia tidak tahu harus bicara apa. Dan yang paling menyebalkan…
“Dia bahkan nggak ngelirik aku dua kali.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Setelah keluar dari ruang rapat, Diva berjalan cepat ke arah lift. Jantungnya masih berdebar tak keruan, bukan karena gugup—tapi karena… ambisi.
“Dia beda. Dingin. Galak. Tegas. Dan—sialnya—terlalu menarik.”
Saat pintu lift menutup, ia melirik bayangannya sendiri di dinding logam.
“Cowok seperti itu… harus ditaklukkan.”
Tangannya merapikan poni, lalu memeriksa lipstik merah maroon yang sudah sedikit memudar.
“Dan aku tahu caranya.”
⸻
Sore harinya, Diva duduk di sebuah kafe sambil membuka laptop. Tapi matanya tidak fokus ke layar. Ia sibuk mencari nama di ponselnya, lalu mengirim pesan.
📩 “Mama. Aku tadi ketemu CEO tempat kerja sepupumu. Dia… luar biasa banget.”
Tak lama, balasan datang.
📩 “Oh ya? Alejandro itu memang konglomerat. Kayak pangeran, ya. Kamu cocoknya sama yang gitu.”
📩 “Iya, Ma. Aku bakal cari cara supaya bisa deket. Dan sepupuku itu… si Cathesa? Dia nggak akan tahan lama di posisinya.”
Diva tersenyum puas.
“Cowok seperti Nagendra cuma butuh wanita yang tahu caranya main… dan aku tahu.”
⸻
Malam itu, Diva mulai menyusun langkah. Dia membuka akun LinkedIn milik Alejandro Corp, menelusuri proyek-proyek terbaru, lalu mencari tahu kebiasaan pribadi sang CEO.
“Pecinta kopi hitam… suka baca laporan manual… enggak suka basa-basi…”
Ia mencatat semuanya.
“Berarti aku harus jadi versi terbaikku. Cerdas, berkelas… dan sedikit misterius.”
Matanya memicing ke arah layar, muncul foto Cathesa yang di-tag dalam sebuah acara kantor.
“Kamu… nggak akan bertahan, Thesa. Kamu bukan level dia.”
Ia menutup laptop pelan sambil menyeruput latte.
“Permainan dimulai.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hari berikutnya, Diva kembali ke kantor Alejandro Corp dengan alasan mengantarkan dokumen tambahan untuk divisi keuangan.
Tapi tentu saja… itu hanya alasan.
Dengan blazer putih dan rok pensil abu-abu yang membentuk siluet ramping tubuhnya, ia melangkah mantap ke resepsionis.
Lipstiknya merah darah. Senyumnya manis tapi tajam.
“Saya mau bertemu Ibu Lisa dari keuangan, sekalian menitipkan beberapa lampiran tambahan dari pihak bank.”
Resepsionis mempersilakan Diva menunggu.
Namun mata Diva tak bisa lepas dari arah lift privat—jalur yang hanya digunakan Nagendra dan staf-staf tertentu… termasuk satu nama yang mulai membuat darahnya mendidih.
Cathesa.
Dan benar saja, tak lama kemudian pintu lift terbuka, menampakkan sosok Cathesa dengan tumpukan dokumen di pelukannya, tampak tergesa.
Diva tersenyum palsu dan melambai.
“Cathesa! Kamu kerja keras banget, ya.”
Cathesa sedikit terkejut, tapi tetap membalas sopan.
“Oh, halo. Iya, biasa… deadline laporan mingguan.”
“Wah, jadi sekretaris CEO Alejandro pasti sibuk, ya?”
Tatapan Diva menyelidik. “Tapi juga… menyenangkan?”
Cathesa mengangguk kecil. “Lumayan… asal nggak telat masuk, hehe.”
“Hmm. Kamu beruntung banget, ya.” Diva tersenyum miring. “Berada sedekat itu sama sosok luar biasa seperti beliau. Kalau aku sih… pasti langsung baper.”
Cathesa hanya tersenyum simpul.
“Mulai main kode, nih.”
Sebelum Cathesa bisa membalas, lift berbunyi. Kali ini… Nagendra keluar.
Langkahnya cepat, tajam, dan—seperti biasa—tanpa basa-basi.
Namun, detik berikutnya…
“Cathesa, ikut saya. Ada revisi untuk MoU Singapura.”
Nada suara dingin, tapi sedikit lebih tenang dari biasanya. Diva memperhatikan. Ada sesuatu di nada itu. Sesuatu yang tidak dia dapat waktu meeting kemarin.
Cathesa mengangguk dan segera mengikuti.
Nagendra hanya melirik sekilas ke arah Diva—tanpa kata, tanpa salam.
Diva membeku.
“Dia bahkan nggak ingat aku?”
Ia menggigit bibir. Tapi senyumannya kembali muncul.
“Tenang. Ini baru permulaan. Dia pasti akan ingat aku… cepat atau lambat.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Visual Diva...
Setelah melihat Cathesa dan Nagendra menghilang ke dalam lift privat, Diva duduk kembali di ruang tunggu, bibirnya mengerucut.
“Revisi dokumen, katanya. Huh. CEO mana yang turun langsung buat revisi kertas? Kalau bukan karena si sekretaris itu…”
Ia mengambil ponselnya, membuka galeri foto—dan memandangi selfie-nya dengan sudut wajah terbaik. Satu jepretan langsung diunggah ke Instagram Story.
📸 Caption:
“Kembali ke tempat si misterius CEO. Who knows what’s next? 😉 #AlejandroCorp #FinanceAndPower”
Ia pastikan tag lokasi kantor Nagendra aktif. Karena Diva tahu, permainan ini bukan cuma soal kemampuan… tapi juga soal pencitraan.
“Cowok cuek itu cuma butuh pendekatan yang strategis. Sekali dia lihat aku ada di lingkarannya, sisanya tinggal waktu.”
Dia melirik ke arah ruangan eksekutif yang tertutup. Di dalam sana, entah apa yang sedang dibicarakan Nagendra dan Cathesa.
“Cathesa… kamu mungkin deket lebih dulu. Tapi kamu bukan aku.”
⸻
Sementara itu di dalam ruang CEO…
Nagendra menyerahkan dokumen ke Cathesa tanpa banyak bicara. Tapi ada yang berbeda. Sesekali matanya melirik ke arah wajah Cathesa yang tampak gelisah.
“Ada yang salah?”
Cathesa mengangkat alis. “Eh? Nggak. Cuma… ya, tadi ketemu Diva lagi.”
Nagendra tidak merespons langsung. Ia hanya berkata datar,
“Perempuan yang terlalu banyak bicara bisa jadi gangguan dalam lingkungan kerja.”
Cathesa tertawa pelan, menahan agar tidak terlalu keras. “Kamu baru tahu, Pak?”
Nagendra melirik sekilas. Lalu…
“Dan perempuan yang terlalu sering tersenyum juga.”
Cathesa membeku.
“Eh, saya… senyum karena grogi.”
“Bagus,” katanya. “Kalau kamu terlalu nyaman, aku jadi curiga.”
⸻
Di luar ruangan, Diva masih menunggu. Tapi bukan menunggu pertemuan—melainkan… kesempatan.