NovelToon NovelToon
Bayangan Si Cupu Tampan

Bayangan Si Cupu Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen School/College / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:6.1k
Nilai: 5
Nama Author: Ahmad Taufik

Di balik kacamata tebal, kemeja kusut, dan sepatu bolongnya, Raka Arya Pratama terlihat seperti mahasiswa paling cupu di kampus. Ia dijauhi, dibully, bahkan jadi bahan lelucon setiap hari di Universitas Nasional Jakarta. Tidak ada yang mau berteman dengannya. Tidak ada yang peduli pada dirinya.

Tapi tak ada yang tahu, Raka bukanlah mahasiswa biasa.

Di balik penampilan lusuh itu tersembunyi wajah tampan, otak jenius, dan identitas rahasia: anggota Unit Operasi Khusus Cyber Nusantara,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kafe

Langit senja menggantung muram di atas Universitas Nasional Jakarta. Angin sore bertiup lembut, menyapu pelan rambut kusut Raka yang berjalan dengan langkah tertatih. Bajunya kusut, kacamata bulatnya kini dililit plester bening, satu lensanya retak. Luka kecil di pelipis kirinya masih merah, mengering perlahan. Ia tak mempercepat langkahnya, hanya berjalan pelan, menyusuri trotoar kampus yang mulai sepi.

Vespa butut yang biasa ia kendarai telah hancur berantakan di area parkir. Spionnya patah, knalpotnya rusak, dan joknya disobek seseorang. Namun Raka hanya meliriknya sebentar, lalu mengeluarkan ponsel tua dari sakunya dan mengirim pesan pendek:

“Ambil motor itu malam ini. Tunggu sampai area kosong.”

Tak ada emosi di wajahnya. Bahkan saat dia tahu siapa yang melakukannya — dia tetap diam. Karena peran yang ia mainkan bukan pahlawan. Melainkan pecundang.

Ia terus berjalan keluar gerbang utama.

Dan saat itulah...

“Ciiit—”

Sebuah suara rem memecah senja.

Sebuah BMW M4 Coupe berwarna abu metalik melambat dan berhenti tepat di sampingnya. Mobil itu mengilap, mencolok, namun dikemudikan tenang. Kaca jendela sisi pengemudi perlahan turun.

Dari dalam, suara yang dingin namun terdengar jelas di antara bisikan angin terdengar:

“Masuk.”

Raka menoleh pelan.

Cheviolla Afanata. Masih dengan ekspresinya yang tak terbaca. Duduk di balik kemudi dengan santai, satu tangan di setir, satu lagi menopang dagunya yang menoleh ke arah Raka. Rambutnya diikat rendah, dan ia mengenakan jaket kulit tipis. Tatapannya tajam — tidak marah, tidak kasihan, hanya... tak ingin dibantah.

Raka terdiam. Kakinya tetap terpaku di trotoar.

Beberapa mahasiswa yang masih nongkrong di sekitar taman kecil melihat adegan itu. Bisik-bisik langsung tersebar cepat.

> “Eh, itu Cheviolla kan?”

“Dia nyuruh si cupu itu masuk mobilnya?”

“Kok bisa?”

“Dia ngedeketin anak cupu itu?!”

Tapi Cheviolla tak peduli.

Kaca mobil turun sepenuhnya, dan ia mengulangi:

“Masuk.”

Nada suaranya lebih rendah. Dingin. Tapi penuh tekanan tak kasat mata, seolah berkata bahwa tidak ada opsi lain.

Raka hanya menghela napas pelan. Ia tahu, terlalu banyak mata yang mengawasi. Kalau ia menolak, pembicaraan akan makin liar. Kalau ia menerima... ya, tetap saja pembicaraan akan makin liar.

Namun, dalam diamnya, dia sudah mengambil keputusan. Ini bukan waktunya menolak. Belum.

Ia membuka pintu penumpang dan masuk. Duduk tenang, membenarkan posisi kacamatanya yang sudah miring. Sunyi menyelimuti kabin mobil mewah itu.

Cheviolla tidak berkata apa-apa. Ia langsung melajukan mobil keluar dari gerbang.

Dari belakang, mata-mata penasaran terus menatap kepergian mereka. Gadis itu, yang terkenal dingin dan tak tersentuh, kini tiba-tiba terlihat membawa “si cupu” pergi dengan mobilnya sendiri.

Raka menyenderkan kepala ke jendela. Matanya menerawang, mulutnya terkatup rapat.

Lalu ia berbisik pelan, nyaris tak terdengar:

“Kau benar-benar berbeda, ya…”

Namun Cheviolla hanya menyahut, tanpa menoleh sedikit pun:

“Diam.”

Dan Raka pun hanya tersenyum tipis.

Senyum yang tak akan pernah bisa dipahami oleh orang biasa.

BMW M4 itu melaju lembut di tengah sorot lampu kota yang mulai menyala. Di dalam kabin, Cheviolla mengemudi dalam diam, rahangnya mengeras, matanya lurus menatap jalan. Sementara Raka duduk di sebelahnya, menunduk. Kacamata bulatnya kini hanya bertumpu pada satu gagang yang masih utuh, sisi lainnya dililit plester.

Pelipisnya masih memerah dan sedikit mengering, bekas darah tipis tampak samar di kulit pucatnya.

Mereka tidak bicara selama perjalanan. Sampai akhirnya Cheviolla memutar arah, memasuki kawasan kafe di daerah Tebet, dan berhenti di depan sebuah tempat bergaya Jepang bernama Kinohana. Ia turun duluan, tak berkata sepatah kata pun. Raka sempat bingung, namun mengikuti.

Kafe itu tenang, dipenuhi aroma kopi dan kayu hangat. Musik jazz mengalun pelan.

Cheviolla memilih tempat duduk pojok. Begitu Raka duduk di hadapannya, ia membuka maskernya dan meletakkan tas dengan kasar di kursi sebelah.

“Kamu bodoh.”

Suara itu keluar dingin, tapi ada emosi tertahan. Mata Cheviolla menusuk lurus ke arah Raka yang hanya diam.

Raka tidak menjawab. Tangannya menyentuh kacamata yang nyaris copot.

“Kenapa kamu nggak balas waktu dia mukul kamu?”

Nada suaranya naik sedikit.

“Dia pukul kamu depan semua orang! Kamu cuma diam, bahkan minta maaf!”

Raka menunduk. Ada jeda sebelum ia bicara.

“Kalau aku balas... bakal makin ribut.”

“Ribut?” Cheviolla mengulang kata itu, nyaris tak percaya.

“Raka, dia mukul kamu sampai berdarah! Kacamata kamu patah! Dan kamu cuma... diam?”

Ia menggeleng. Wajah cantiknya menegang, seolah ada sesuatu yang menghantam amarahnya sendiri.

“Kamu pikir mereka bakal berhenti? Mereka akan nginjek kamu terus kalau kamu nggak lawan.”

Raka mengangkat pandangan, kali ini menatap lurus padanya. Matanya masih tenang, tapi sorotnya... sulit dibaca.

“Aku sudah biasa.”

Kalimat itu membuat Cheviolla terdiam sejenak. Ia mengernyit. “Biasa?”

Raka tersenyum kecil.

“Biasa dibenci. Biasa dianggap lemah. Tapi aku nggak peduli.”

Pelayan datang membawakan kopi. Espresso dan latte. Juga pisang goreng madu.

Tak ada yang bicara selama beberapa detik. Cheviolla menggenggam cangkir latte-nya, uap panas menyelimuti wajahnya yang semakin muram.

“Aku paling benci orang kayak kamu.” katanya tiba-tiba, pelan.

Raka menoleh, bingung.

“Orang yang diem aja waktu diinjek. Orang yang tahu salah tapi nggak ngelawan.” Ia menghela napas. “Tapi entah kenapa, hari ini aku malah marah sama mereka, bukan kamu.”

Raka tak menjawab. Ia hanya menunduk lagi, menyeruput kopi hitamnya perlahan. Tangannya yang satu menyentuh sudut kacamata yang ringkih itu.

“Lain kali, balas.” kata Cheviolla dingin.

“Kalau kamu nggak bisa, aku yang balas.”

Raka mendongak. Kali ini senyumnya lebih jelas.

“Kenapa kamu peduli?”

Cheviolla tidak menjawab. Bahkan dia sendiri pun bingung kenapa dia peduli.

Ia menatap keluar jendela. Senja sudah tenggelam. Tapi di dalam kafe itu, dua dunia yang berbeda duduk saling diam, dinding antara mereka perlahan mulai retak.

1
Suyono Suratman
mantap
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!