"Dendam bukan jalan keluar. Tapi bagiku, itu satu-satunya jalan pulang"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Hiaaaattt...!
Aji Mahendra berkelebat, pedangnya membabat deras ke arah lawan. Raka sigap berkelit ke samping kiri sambil menyodorkan tangannya ke depan. Namun tiba-tiba, tangan kiri Aji Mahendra menderu hebat, membuat Raka tergagap dan buru-buru menarik kembali tangannya.
DUGGG...!
Pukulan Aji Mahendra telak menghantam bahu Raka, membuatnya oleng ke samping. Belum sempat menstabilkan tubuhnya, tendangan Aji Mahendra melayang cepat mengarah ke perut. Dengan refleks luar biasa, Raka menangkis dengan tangannya. Saking kuatnya tendangan itu, tubuh Raka sedikit terangkat dari tanah.
Belum berhenti di situ, serangan mematikan datang lagi pedang Aji Mahendra berkelebat dari atas, siap membelah tubuh. Menyadari posisi yang sangat berbahaya, Raka menghentakkan kakinya ke tanah dan memutar tubuhnya di udara, menghindari tebasan dengan manuver cekatan.
Ia mendarat ringan dan mantap di tanah.
Raka membelai bahunya yang terasa nyeri, lalu memutar-mutar lengannya agar urat-uratnya kembali ke posisi semula. Ia sedikit meringis menahan sakit.
“Ini yang namanya jurus Naga Mencabik Langit, Menelan Bumi...”
seringai Aji Mahendra, sambil menudingkan pedangnya dan mengepal tangan kiri, kaki kanannya terus bergerak lincah, seakan menari-nari di atas tanah.
Raka sangat takjub. Selama ini, ia belum pernah berhadapan dengan lawan yang menggunakan senjata, namun tangan dan kaki lawannya seolah hidup, turut menyerang dari berbagai arah.
Ia kembali mengambil posisi kuda-kuda Putri Bulan. Kali ini, ia yang lebih dulu melancarkan serangan dengan geram.
“Hiaaaat...!” teriaknya sambil menyodorkan telapak tangan ke depan. Namun, dengan cepat ia menariknya kembali saat melihat pedang Aji Mahendra hendak menebas. Serangannya langsung disusul dengan dorongan tangan kiri ke arah wajah lawan. Aji Mahendra dengan sigap mengelak ke samping. Tanpa disadari Raka, dalam gerakan itu Aji juga melancarkan tendangan.
BUUUGGG...!!
Tendangan itu menghantam perut Raka dengan telak. Ia terhuyung ke belakang tiga langkah, meringis menahan sakit.
Tak ingin melewatkan kesempatan, Aji berniat langsung menyerang saat melihat Raka dalam posisi tidak siap. Namun begitu kakinya yang tadi menendang menapak ke tanah, ia tiba-tiba merasakan nyeri luar biasa.
Salah satu jarinya seperti patah. Tadi, saat menendang Raka, ia sempat terkejut seolah bukan perut yang ia hantam, melainkan sebongkah batu. Kini, Aji pun ikut meringis menahan sakit di kakinya.
"Ternyata jurusmu hebat juga, Banci..." Raka menyeringai, berdiri tegak seolah tak terjadi apa-apa. Sikapnya itu membuat Aji Mahendra terbelalak, akhirnya sadar siapa yang sedang dia hadapi. Kyai Banjar Banyu Bening saja pernah berkata bahwa belum tentu ia sanggup menghadapi Raka. Dulu Aji Mahendra menganggap Kyai Banjar hanya merendahkan diri. Tapi sekarang, dia melihat sendiri kehebatan Pendekar Iblis yang mengguncang dunia persilatan.
Aji Mahendra meringis ngeri. Hampir semua jurus andalannya telah dikeluarkan, namun Pendekar Iblis menyambut semuanya dengan santai. Tak ada tanda-tanda keseriusan di wajah Raka dia masih saja cengar-cengir seperti mengejek. Kini, Aji Mahendra merasa seakan sedang berhadapan dengan Pendekar maut, tapi ia tak sudi menyerah begitu saja.
"Baiklah, Pendekar Pedang Naga... kuampuni nyawamu," ucap Raka sembari menarik sebatang kayu cendana dari pinggangnya. "Melihat kehebatanmu... kurasa kau masih berguna bagi orang lain," lanjutnya dengan seringai mengejek.
Ucapan itu justru membuat Aji Mahendra semakin murka.
"Hiyaaaat!" teriaknya, menyerang dengan penuh amarah. Raka menyambutnya hanya dengan kayu cendana di tangan. Aji Mahendra tersenyum kecil pedangnya terbuat dari besi pilihan, kini dilawan dengan sepotong kayu. Jangankan...
Hanya kayu cendana dan besi biasa yang akan terbabat oleh Pedang Naga itu… TRAAAANG! Aji Mahendra terkejut saat senjatanya beradu dengan kayu cendana itu seolah membentur besi murni berkualitas tinggi. Pedangnya langsung bergetar hebat, hingga ia harus menggunakan kedua tangan untuk menguasai getaran tersebut.
Sekejap kemudian, aroma khas kayu cendana memenuhi rongga napasnya, membawa rasa damai. Namun, tiba-tiba Aji Mahendra tersentak.
"Ini… racun? Bangsat! Kau sungguh licik, Iblis!" teriaknya dengan marah, menyadari seluruh ototnya mulai melemas. Ia bahkan tak sanggup lagi mengangkat pedangnya. Tubuhnya pun roboh menghantam tanah.
"Hahahaha… Kau sendiri yang gegabah ingin membunuhku, sampai tak menyadari serangan yang begitu halus itu," ujar Raka dengan seringai penuh kemenangan sambil memasukkan kembali kayu cendana ke balik jubahnya.
"Hanya iblis yang menggunakan racun sepicik itu!" seru Aji Mahendra, tak terima dikalahkan secara tidak jantan.
"Segala cara bisa digunakan untuk menang, Pendekar…" jawab Raka tenang. "Kalau bicara soal curang, bukankah kau juga licik tadi? Membabatkan senjata tajam saat kita sedang beradu tangan kosong. Apa itu bukan curang juga?".
lanjut dong