azalea steffani leandra seorang anak tunggal kaya raya ,ceria dan juga manja dipertemukan dengan seorang pria yang sifatnya berbanding terbalik dengannya dan ternyata pria itu adalah pengasuhnya ketika ibunya tidak ada dirumah (bodyguard)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayel_zaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
WAKTU BERSAMA
Lea menghela napas, lebih dalam kali ini. Ada sesuatu yang luruh dari matanya, tapi bukan lagi air mata, melainkan beban yang pelan-pelan dilepaskannya. Ia menoleh ke arah pria itu, matanya masih basah, tapi sudah mulai ada cahaya di sana.
"Makasih…” ucapnya pelan.
gavin menyerngitkan dahinya," buat?"
" udah mau dengerin cerita gue " jawabnya.
pria itu hanya mengangguk, senyumnya tipis tapi hangat. Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka bangkit dari bangku taman dan mulai berjalan perlahan di jalan setapak, ditemani suara malam dan langit penuh bintang.
Mereka tak butuh kata-kata lagi. Malam itu cukup menjadi saksi, bahwa kadang yang paling menyembuhkan bukan solusi, tapi seseorang yang mau duduk diam dan tetap tinggal.
******
Pagi itu, matahari baru mulai menyapu langit dengan semburat jingga lembut. Jalanan masih sepi, hanya suara burung dan angin pagi yang menemani. Sebuah mobil hitam berhenti perlahan di depan pagar rumahnya. Mesin dimatikan, lalu jendela di sisi pengemudi terbuka menampakkan pria itu, duduk tenang di balik kemudi, menunggu dengan sabar.
Tak lama, pintu rumah terbuka. gadis itu keluar, mengenakan seragam sekolah, tapi ada yang terlihat berbeda, wajahnya pucat. dari kemarin dia sudah sakit tapi sama sekali tidak memperdulikannya. Langkahnya pelan, tapi ada senyum kecil yang menghiasi wajahnya ketika melihat mobil itu di sana.
Ia membuka pintu penumpang dan masuk, meletakkan tas di pangkuannya. Suasana di dalam mobil hangat, tak terlalu ramai oleh kata-kata, tapi juga tak canggung.
" masih ngantuk?" tanya gavin pelan sambil melirik.
" iya, ngantuk banget malah "jawab lea.
gavin yang menyadari bahwa wajah gadis itu terlihat pucat, ia menaruh punggung tanggannya dikening lea.
" lo sakit, yakin mau sekolah?" tanya gavin tak percaya.
" iya ga papa," jawabnya bersikeras ingin tetap besekolah.
Mobil itu melaju pelan di jalanan pagi yang mulai ramai, tapi suasana di dalam tetap sunyi, bukan karena canggung, tapi karena lea mulai terlelap, bersandar di jok dengan napas pelan. Wajahnya masih pucat, dan sesekali tubuhnya gemetar kecil karena demam yang belum reda.
Sesampainya di depan gerbang sekolah, gavin mematikan mesin, lalu menoleh pelan. “Kita udah sampai,” katanya lembut.
gadis itu membuka matanya perlahan, tampak bingung sejenak sebelum mengangguk kecil. Ia berusaha duduk tegak, tapi tubuhnya lemas.
“lo yakin mau masuk kelas?” tanyanya lagi, nada suaranya penuh tanya,
" iya " gadis itu tetap teguh dengan ucapannya.
Pria itu keluar lebih dulu, lalu membuka pintu penumpang dan membantunya turun.
dikoridor kelas, lea dan teman-temannya secara tak sengaja berpapasan, teman-temannya melihat lea yang tampak begitu pucat lantas khawatir.
" lea.. lo ke uks aja ya" laura meminta agar lea mau mendengarkannya.
" nanti kalau gue enggak tahan " jawabnya menolak permintaan laura.
" lo serius?" viona bertanya untuk memastikan lagi.
tapi lea masih sama seperti sebelumnya, dia
mengangguk sebagai jawaban untuk viona.
kini waktunya jam pelajaran olahraga, semua murid disuruh untuk segera pegi kelapangan, begitu juga dengan lea, semua temannya menyuruh ny untuk tidak ikut dan berbaring diuks tetapi lea yang keras kepala tetap ingin mengikutinya.
Langit siang itu cerah, matahari menggantung tinggi tanpa awan sedikit pun menghalangi. Lapangan sekolah dipenuhi suara riuh siswa-siswi yang sedang bersiap mengikuti pelajaran olahraga. Lea berdiri di pinggir lapangan, mengenakan seragam olahraga, wajahnya tampak pucat tertimpa cahaya matahari. Keringat dingin membasahi pelipisnya, tapi ia tetap berusaha berdiri tegak bersama teman-teman sekelasnya.
“lea, ke uks aja pliss ” bisik flo pelan, dia memohon sembari berdiri di sebelahnya.
Lea menggeleng kecil, " gua gak mau, gua bosen disana" ia mencoba tersenyum agar tampak seperti biasa saja.
Pelajaran dimulai, pemanasan dilakukan seperti biasa. Saat semua siswa mulai berlari memutari lapangan, langkah Lea tampak berat. Napasnya cepat, pandangannya mulai buram, dan suara di sekelilingnya seakan menghilang perlahan. Ia tetap memaksa, terus berlari meski kakinya mulai gemetar.
Tak jauh dari lapangan, seseorang berdiri di tepi kelas, mata pria itu tak lepas memerhatikan Lea dari tadi. Wajahnya mengeras begitu melihat langkah Lea mulai goyah. Dan dalam hitungan detik, tubuh gadis itu limbung, lalu jatuh ke tanah tanpa sempat menahan diri.
“LEA!”
Teriakan viona menggema, bersamaan dengan beberapa siswa yang berhenti berlari. Teman-temannya langsung mengerubungi, panik. Tapi sebelum siapa pun sempat bertindak lebih jauh, pria itu, yang dari tadi mengamati—sudah lebih dulu berlari masuk ke lapangan, menerobos kerumunan, dan berlutut di samping Lea.
Guru olahraga yang melihat kejadian itu buru-buru menghampiri, tapi pria itu sudah lebih dulu mengangkat tubuh Lea ke dalam gendongannya.
“gue bawa ke UKS sekarang,” katanya cepat, singkat, tak memberi ruang untuk debat.
Tak ada yang membantah. Semua hanya diam, menatap punggungnya menjauh sambil membawa Lea, terlihat jelas dari cara dia memeluknya, bahwa dia sangat khawatir.
Lea terbaring di UKS dengan wajah yang semakin pucat. Napasnya mulai tidak teratur, keringat dingin membasahi dahinya. Tubuhnya menggigil hebat di balik selimut tipis yang sama sekali tak cukup menghangatkannya.
Dari pojok ruangan, Gavin berdiri gelisah. Pandangannya tak lepas dari Lea. Berkali-kali dia melirik ke pintu, menunggu bantuan atau setidaknya perhatian dari guru yang berjaga. Tapi tak ada yang datang.
Beberapa menit berlalu. Lea sempat mengerang pelan, tangannya mencengkeram sisi ranjang. Gavin langsung mendekat dan memegang bahunya.
“Lea, bertahan… lo denger gue, kan?” suaranya pelan, tapi sarat panik.
Gavin menoleh ke arah ruang guru yang hanya terpisah kaca bening. Salah satu guru duduk santai di sana, sibuk dengan ponselnya. Seorang lagi bahkan tampak tertawa kecil sambil menyeruput kopi.
Gavin mengetuk kaca, keras. “ pak, kalian bakal gini terus sampai kondisinya makin parah?"
Tak ada reaksi. Salah satu hanya melirik sekilas, lalu kembali ngobrol.
Itu cukup buat darah Gavin mendidih. Ia membuka pintu dan melangkah cepat ke ruang guru.
" maaf, tapi dia pingsan,bukan masuk angin biasa" serunya, nada suaranya meninggi.
Guru perempuan di sana menatap malas. “Udah dikasih obat kok tadi. Kita liat dulu aja ya, jangan panik.”
“Liat dulu?” Gavin menahan amarahnya. " dia pingsan, setidaknya kalian peduli atau bawa pergi kerumah sakit."
Guru yang lain hanya mengangkat bahu. “Kita nggak bisa asal bawa murid keluar sekolah juga. Tunggu aja dulu…”
Gavin mengepalkan tangan. “lo suruh gue nunggu? nunggu sampai kapan? nunggu sampai kondisi nya makin parah?, lo semua kalau enggak berguna gak usah disini!!.” dia membanting keras pintu ruangan itu dan segera pergi.
Tanpa menunggu izin siapa pun, Gavin kembali ke UKS, membuka selimut Lea, lalu mengangkat tubuhnya dengan hati-hati ke gendongannya. Lea setengah sadar, matanya terbuka setipis celah.
“Gavin…” bisiknya lirih.
“Ssshh, gue di sini. Lo kuat, ya. Kita ke rumah sakit sekarang.”
Beberapa siswa yang kebetulan lewat di lorong menatap heran, tapi Gavin tak peduli. Langkahnya cepat dan tegas, membawa Lea melewati aula sekolah, menuju mobilnya yang terparkir di luar gerbang. Tak ada lagi kata-kata. Yang ada hanya ketakutan dan kemarahan, dan keinginan kuat untuk menyelamatkan Lea.
Malam itu, rumah sakit terasa hening. Hanya suara mesin infus yang sesekali berbunyi, menandai waktu yang bergerak lambat. Lea membuka matanya perlahan. Cahaya lampu temaram membuat ruangan terlihat samar.
Dan di sana, di sisi ranjang, Gavin tertidur sambil duduk. Kepalanya menunduk, dan tangannya masih menggenggam jemari Lea dengan erat.
“Gavin…” suara Lea lirih.
Gavin langsung terbangun. Matanya menatap wajah Lea, terkejut—dan lega. “Lo udah sadar…”
Lea mengangguk pelan. “Mama gue… datang nggak?”
Diam. Sekejap, Gavin ragu menjawab.
“Nggak.” Suaranya akhirnya pelan.
Lea memalingkan wajah, mencoba menahan ekspresi yang langsung runtuh. “Dia bener-bener nggak peduli, ya…”
Gavin menatapnya lama. Rasa kecewa Lea terlalu jelas untuk disembunyikan. Dan saat itu juga, Gavin mengambil keputusan.
“Gue keluar bentar. Nggak lama.”
---
Beberapa jam kemudian, Gavin kembali. Kali ini dengan senyum samar dan jaket yang dia sodorkan ke Lea.
“Ayo ikut gue.”
“Sekarang? Gue masih…” Lea bingung.
“Gue udah atur semuanya. Lo butuh ini.”
---
Mereka naik ke mobil, menyusuri kota malam yang sepi. Hingga akhirnya Gavin berhenti di sebuah bioskop besar. Parkiran kosong. Lampu di atas pintu masuk menyala lembut.
Lea memandang heran. “Ini…”
Gavin hanya tersenyum. “Satu studio. Buat lo.”
Mereka masuk, dan benar saja—satu studio bioskop, hanya mereka berdua. Kursi-kursi kosong, layar besar, dan suara film mulai mengalun. Film favorit Lea, yang bahkan belum tayang resmi di bioskop manapun.
“lo punya uang sebanyak ini…?” lea menatap heran gavin,
" g-gue punya tabungan, kebetulan gue lagi pengen ngabisin aja " dia menatap lea seolah-olah meyakinkannya.
"ooh.." hanya itu yang keluar dari mulutnya.
Lea menatap layar, lalu ke Gavin. Untuk pertama kalinya dia selalu merasakan aman setiap berada disisi pria itu, dia tersenyum sembari memakan popcorn dan beralih menatap layar.
Layar bioskop memantulkan cahaya lembut ke wajah Lea yang duduk nyaman bersandar di kursi empuk. Film di depannya mengalir ringan, komedi romantis yang penuh adegan lucu dan hangat. Suara tawa Lea mulai terdengar pelan, lalu makin jelas.
“Wah, itu lucu banget sih,” katanya sambil terkekeh, menutup mulutnya.
Tak lama kemudian, ia tertawa lepas. Bahunya naik turun, matanya sampai berkaca karena terlalu banyak tertawa. Suara tawa yang tulus, ringan, seperti anak kecil yang bebas dari beban apa pun. Suara yang tak terdengar sejak lama.
Gavin menoleh pelan ke arahnya. Tak ada kata. Ia hanya duduk di sebelahnya, menatap Lea dari samping. Senyum perlahan muncul di wajahnya, senyum yang penuh lega. Matanya menyiratkan sesuatu yang tenang dan dalam kebahagiaan melihat orang yang ia jaga akhirnya bisa tertawa lagi.
Bukan karena filmnya, bukan karena tempatnya, tapi karena Gavin tahu, itu pertama kalinya Lea bisa lepas dari segala hal yang menyakitinya, meski hanya sementara.
Suasana bioskop perlahan sepi. Film sudah selesai. Lea dan Gavin berjalan keluar tanpa banyak bicara. Di dalam mobil, hanya suara AC dan musik instrumental lembut yang mengalun pelan.
Lea duduk diam. Tatapannya menerawang ke luar jendela. Lalu, tiba-tiba saja, tanpa aba-aba, air mata menetes pelan dari sudut matanya.
Gavin yang sedang menyetir, melirik sekilas.
“…Lo nangis?”
Lea buru-buru menyeka wajahnya, tapi gagal menyembunyikan isaknya. “Maaf. Gue nggak ngerti kenapa…”
Dia tertawa kecil, tapi suaranya bergetar. “Tadi gue ketawa-tawa kayak orang bebas. Sekarang malah nangis kayak anak kecil.”
Gavin nggak langsung jawab. Tangannya menggenggam setir erat, matanya tetap fokus ke jalan. Tapi nada suaranya berubah, sedikit lebih dalam.
“Kadang orang baru bisa nangis setelah ngerasa aman.”
Lea menunduk, menatap tisu di tangannya. Isaknya mulai mereda. Tapi air matanya masih turun pelan.
Gavin melirik lagi, lalu kembali ke jalan.
“Lo nggak perlu minta maaf karena nangis.”
Lea mengangguk pelan.
Gavin menghela napas, lalu bicara pelan, tanpa menoleh.
“Gue nggak ngerti caranya nenangin orang. Tapi… kalau diem aja cukup, gue bakal diem.”
Dan malam itu, mereka melanjutkan perjalanan tanpa banyak bicara. Tapi keheningan di antara mereka bukan lagi canggung, melainkan tenang. Nyaman. Dalam caranya sendiri, Gavin tetap ada di situ.