Istriku menganut childfree sehingga dia tidak mau jika kami punya anak. Namun tubuhnya tidak cocok dengan kb jenis apapun sehingga akulah yang harus berkorban.
Tidak apa, karena begitu mencintainya aku rela menjalani vasektomi. Tapi setelah pengorbananku yang begitu besar, ternyata dia selingkuh sampai hamil. Lalu dia meninggalkanku dalam keterpurukan. Lantas, wanita mana lagi yang harus aku percaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fitTri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pergi Belanja
🌸
🌸
“Kamu belum siap?” Alendra menemukan Asyla yang baru saja selesai menjemur pakaian di bagian belakang villa.
“Memangnya mau ke mana, Pak?” Wanita itu menatap majikannya yang mengenakan celana cargo se lutut dan kaos oblong saja. Hari Sabtu memang dia libur pergi ke kantor, tetapi biasanya hanya santai saja di rumah.
“Katanya kebutuhan dapur sudah habis?”
“Oh, iya memang.”
“Terus kenapa kamu belum siap?”
Asyla terdiam.
“Kalau mau belanja sebaiknya pergi dari sekarang. Soalnya kalau siang nanti jalan macet.”
“Oh ….”
“Tirta sudah mandi belum?” Lalu Alendra mendekati Tirta yang seperti biasa asyik bermain dengan mangkok warna warni dan sendok plastiknya.
“Sudah tadi pas saya lagi giling cucian, tapi—”
“Ya sudah, cepat kamu juga siap-siap.”
“Tapi jemurannya belum selesai, Pak.” Asyla menunjukkan keranjang cucian nya yang masih penuh karena baru saja dia angkat dari mesin pengering.
“Baik, setelah itu selesai kamu siap-siap.” Pria itu meraup tubuh kecil Tirta kemudian membawanya ke arah depan villa.
***
“Pak?” Asyla muncul setelah beberapa saat, dengan mengenakan celana panjang dan kaos tanpa motif saja. Memang hanya itulah jenis pakaian paling bagus yang dia miliki selama ini.
“Sudah siap?” Alendra hanya menatapnya tanpa berkomentar sedikitpun.
Asyla menganggukkan kepala.
“Ya sudah, ayo?” Pria itu berjalan ke arah mobil, dan setelah membuka pintu di bagian penumpang dia memutar ke arah bagian pengemudi.
“Asyla, cepat naik!” ujarnya ketika Asyla hanya tertegun di samping kendaraan beroda dua itu.
“Saya … duduk di depan, Pak?” tanya nya, ragu-ragu.
“Ya. Masa mau di belakang? Memangnya saya ini sopir kamu?”
“Umm ….”
“Cepatlah, keburu siang. Nanti jalannya macet.”
Asyla menarik dan menghembuskan napasnya pelan-pelan. Dia ragu, dan sebenarnya merasa sungkan. Tapi Alendra yang sudah menunggu di balik kemudi tampak tak sabar sehingga dengan terpaksa dirinya masuk lalu duduk di kursi yang sudah tersedia.
“Apa saja yang kita butuhkan?” Mobil mulai berjalan keluar dari area rumah setelah Alendra menyerahkan Tirta ke pangkuan Asyla.
“Sembako.” Wanita itu menatap gerbang yang tertutup sendiri setelah Alendra menekan tombol pada remote yang memang selalu dia bawa, sengaja agar memudahkannya jika sewaktu-waktu tidak ada orang untuk membuka atau menutupkannya.
“Selain itu?”
“Gula, kopi, sus*, roti sama makanan ringan.”
“Buah-buahan perlu?”
“Perlu, kan memang Bapak juga makan buah?”
“Oh iya.”
“Pasar nya belok kiri, Pak.” Asyla menunjuk ke arah kiri saat kendaraan roda empat itu terus melaju.
“Masa? Orang yang sering saya lewati ada di sana.” Namun Alendra tetap menjalankan mobilnya ke arah depan.
“Itu ….” Lalu beberapa saat kemudian mobil yang mereka tumpangi memasuki area swalayan besar di kota itu. Pusat perbelanjaan yang biasa dikunjungi orang-orang perkotaan ketika membutuhkan bahan makanan.
“Sampai. Ayo turun?” ujar Alendra saat mobil sudah berada di parkiran, dan dia segera turun kemudian berjalan memutar lagi untuk membuka pintu penumpang meski Asyla sudah lebih dulu melakukannya.
“Padahal ke pasar tradisional aja, Pak. Di sana lebih ….”
“Disini lebih mudah menemukan semua yang kita butuhkan karena tempatnya ada di satu area.” Alendra menggiring Asyla memasuki banguan besar itu. “Kamu belum pernah belanja di sini?” tanya nya saat menarik sebuah troli yang berjejer rapi di bagian depan.
Asyla menggeleng. Dia sering melihatnya di televisi, atau melewati tempat itu saat akan bepergian. Tapi masuk ke dalam sana belum pernah. Rasanya tidak percaya diri saka karena jika ingin berbelanja pasti harus membawa uang yang sangat banyak.
“Baiklah, sekarang kamu ke sini ‘kan?” Alendra tersenyum.
Dia membimbing Asyla memasuki barisan demi barisan rak besar berisi segala kebutuhan rumah tangga. Dari mulai sembako sampai semua jenis minuman. Macam-macam bumbu dan saus yang diperlukan untuk memasak sampai ke berbagai macam makanan berat ataupun ringan. Membuat sang asisten rumah tangga pusing karena saking banyaknya benda yang dia lihat.
Beras, minya, gula dan beberapa kotak daging juga ikan sudah mengisi troli berukuran besar itu. Tidak lupa kopi dan makanan ringannya. Lalu saat mereka melewati area buah dan sayur Alendra mengambil beberapa jenis juga. Dia cukup cekatan karena memang terbiasa melakukannya. Selain karena sudah terlatih saat remaja mengantar ibu atau asisten rumah tangga mereka, pernikahan dengan Silvia pun membuatnya menjadi pria mandiri dalam beberapa hal. Jadi, bukanlah hal yang aneh baginya soal urusan perdapuran seperti ini sehingga tak usah banyak bertanya lagi kepada Asyla.
“Apa lagi yang kurang, ya?” tanya nya setelah troli penuh dengan barang belanjaan, sedangkan Asyla hanya terdiam. Dia takjub dengan semua barang itu, dan belanja kali ini adalah yang terbanyak selama hidupnya. Bulan lalu Alendra hanya memberinya beberapa lembar uang yang kemudian dibelanjakannya di warung sembako dekat villa, dengan bantuan tukang ojek untuk membawanya.
“Syla, apa lagi?” tanda pria itu kepada asisten rumah tangganya yang menatap isi di dalam troli.
“Udah kayaknya, Pak. Umm ….”
“Sabun-sabun bagaimana?”
“Di villa masih ada sih, tapi kalau mau ditambah juga boleh. Biar ada stok.”
“Baik.” Lalu Alendra mendorong troli ke lorong rak di mana berbagai jenis sabun tertata rapi. Sabun cuci, sabun mandi, sabun untuk peralatan dapur dan mobil. Yang ke semuanya Alendra ambil masing-masing dua kantong dalam ukuran besar.
“Sudah cukup belum?” tanya pria itu lagi setelah yakin semua kebutuhan rumah lengkap.
“Sepertinya cukup, Pak. Malah kelebihan mungkin.” Asyla tertawa karena saking banyaknya belanjaan mereka.
“Nggak apa-apa, daripada nanti kamu bolak-balik ke warung di bawah, kan capek.”
“Hmm ….”
“Kalau sudah cukup kita ke kasir?”
Asyla menganggukkan kepala. Dia hanya akan mengikuti saja apapun yang akan majikannya lakukan. Karna tidak tau juga harus apa saja jika belanja di tempat itu.
Namun langkah Alendra terhenti saat mereka melewati area pakaian, di mana baju-baju dengan banyak model menggantung di rak. Ada yang untuk anak-anak juga orang dewasa, dan dia tiba-tiba saja menoleh kepada Asyla dan Tirta.
“Kamu … butuh pakaian nggak?” tanya nya kemudian.
“Hum?” Asyla mengerutkan dahi, belum paham apa yang Alendra maksud.
“Apa kamu butuh pakaian? Saya lihat setiap hari hanya itu-itu saja.”
Asyla terdiam.
“Ayo kita beli beberapa, buat Tirta juga.” Pria itu mendorong troli hingga berada di sebuah sisi yang aman, kemudian meraih tangan Asyla untuk ditariknya ke dalam area pakaian.
“Tapi, Pak?”
Dia segera memilih beberapa helai baju yang dinilainya pantas untuk Asyla. Entah itu celana, kaos, ataupun dress.
“Jangan itu, Pak. Saya nggak pernah pakai baju yang seperti itu!” Asyla menolak sehelai dress berwarna maroon. Tidak terbayangkan olehnya ketika mengepel lantai dengan mengenakan pakaian itu.
“Ini untuk pergi sepertinya?” Alendra pun menatapnya lekat-lekat. Sepertinya pakaian itu akan terlihat sangat bagus jika Asyla yang memakainya.
“Nggak. Memangnya saya mau pergi ke mana?”
Pria itu terdiam sebentar, “oh iya, ya. Kamu kan seharian di villa. Hahaha.” Dia tertawa kemudian meletakkan kembali pakaian itu di gantungan.
“Sudah, ini saja, Pak. Baju saya masih banyak. Lagian saya cuma di villa aja.” Setelah beberapa kali menolak akhirnya Asyla menyerah juga. Lelah juga berdebat dengan majikannya, sekaligus malu karena sempat menjadi tontonan orang-orang.
“Yakin?”
“Yakin. Makasih, ini udah cukup.” Setumpuk pakaian dia dekap yang hampir menutupi tubuh kecil Tirta.
“Baik. Setelah ini kita cari untuk Tirta, ya?” Namun Alendra masih bersemangat mencari hal lainnya, terutama pakain untuk anak-anak. Dan tanpa bisa dihentikan dia mengambil beberapa helai lagi untuk anak itu.
Dan pada akhirnya, Asyla hanya bisa terdiam saja saat pria itu membawa banyak pakaian anak dan beberapa jenis mainan. Dia merasa tidak percaya jika tidak mengalaminya sendiri, bahwa di dunia ini ada seseorang seperti Alendra.
“Udah, Pak. Cukup!” ucap Asyla ketika pria itu hampir kembali mengambil beberapa hal.
“Tapi baju itu bagus, sepertinya cocok untuk Tirta?”
“Tapi ini sudah banyak, nanti nggak kepakai.”
“Ya ganti tiap hari, bukannya disimpan. Bukankah anak seumuran Tirta sedang aktif-aktifnya? Bajunya juga sering kotor, kan? Jadi, dari pada keseringan pakai yang lama, lebih baik ganti dengan yang baru.”
Lagi-lagi Asyla terdiam. Bagaimana cara menjelaskannya pada lelaki, ya? Tapi sepertinya dia sangat menikmati aktivitas belanja tersebut. Hal itu terlihat dari betapa senangnya dia ketika memilih pakaian dan mainan.
“Ayo kita bayar?” katanya setelah merasa puas dengan barang belanjaannya. Dia meneruskan langkah ke arah kasir dan membayar semua yang telah dibeli, termasuk pakaian dan mainan tadi. Lalu setelahnya mereka memutuskan untuk pulang walau sempat berdebat terlebih dahulu, karena keinginan Alendra untuk berkunjung ke tempat lainnya sedangkan Asyla yang hanya ingin segera kembali ke villa.
🌸
🌸
Mau dong dibelanjain🤭🤭
Cuma mau ngingetin untuk terus like, komen, gift sama vote nya gaess. Biar novel ini terus naik.
alopyu sekebon😘😘
Belum lagi besok pagi kamu juga yang harus membersihkan dan merapikan sisa2 pesta.
Sudah terlihat sikap Si Listy yang menyebalkan dan seenaknya sendiri. Besok2 klo di kantor mulai menjauh dari Si Listy, Le...
Ale harus lebih hati2 sama perempuan modelan Listy,,belum apa2 sudah sombong gitu
udah mah ngotot pingin di villa Ale,mo nyediain akomodasi segala taunya batal malah ngerepotin tuan rumah.
Ini perempuan main nyelonong masuk tempat tinggal orang aja, bok permisi kek🤦♀️