Naila baru saja turun dari bus dari luar pulau. Ia nekat meninggalkan keluarga karena demi menggapai cita-cita yang terhalang biaya. Naila lulus jalur undangan di sebuah kampus negeri yang berada di ibu kota. Namun, orang tuanya tidak memiliki biaya hingga melarangnya untuk melanjutkan pendidikannya hingga memaksanya menikah dengan putra dari tuan tanah di kampung tempat ia berasal.
Dengan modal nekat, ia memaksakan diri kabur dari perjodohan yang tak diinginkan demi mengejar mimpi. Namun, akhirnya ia sadar, biaya perguruan tinggi tidak bisa dibayar hanya dengan modal tekad.
Suatu saat Naila mencari pekerjaan, bertemu dengan balita yang keluar dari pekarangan tanpa penjagaan. Kejadian tak terduga membuat ia bekerja sebagai pengasuh bagi dokter tampan yang ditinggal mati oleh istri yang dicintainya.
#cintaromantis #anakrahasia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Di Ranjang Masa Lalu
Martin yang mendengar bualan sang adik pun menghentikan langkahnya. "Jika kau terus mengoceh dan mengganggunya, lebih baik kau balik kanan sekarang juga!"
Mendengar ancaman kakaknya, Marvel tersenyum tipis. "Nggak! Kali ini gak akan kubiarkan!" Ia pun menggendong Rindu sekaligus menarik Naila menuju pintu besar bewarna putih tulang yang berada tepat di tengah bagian rumah laksana istana ini.
Sejenak, ia menarik tangan kecil ponakan yang ada dalam gendongan. Lalu ditempelkan pada sebuah alat pipih yang ada di dekat gagang pintu bewarna gold yang berkilau karena pantulan cahaya lampu yang ada di serambi bagian depan rumah ini.
Ceklit
Terdengar suara nyaring menandakan kunci rumah elektrik di sana telah terbuka. Naila masih diam, matanya penuh rasa kagum, tak percaya dirinya benar-benar ada di rumah sebesar dan secanggih ini.
Marvel menarik gagang pintu tersebut. Rumah yang tadinya bagian dalam tampak gelap, perlahan lampu di sana mulai menyala seakan menyambut kedatangan mereka. Marvel menoleh dan menahan tawa kecil melihat reaksi polos itu.
"Kayaknya kamu bener-bener baru banget lihat rumah begini, ya? Tapi aku yakin, kamu nggak bakal betah. Rumah ini terlalu besar. Ngurusnya pasti capek banget."
Naila sejenak membenarkan apa yang diucapkan Marvel. Namun, dalam pikirannya yang masih lugu, ia berusaha untuk terus merasa yakin, bahwa ia pasti mampu mengemban tugas demi bisa menghidupi dirinya di kota besar nan asing ini. Namun, semuanya hanya disimpan dalam hati.
"Kamu pikir, kakakmu ini seperti apa? Dia hanya akan mengasuh anakku! Bukan untuk mengurus rumah ini!"
Marvel tertawa sinis. "Ah, alasan! Aku yakin kakak ipar terlalu lelah mengurus semua ini. Makanya dia me—"
"Om ... Pak ... Please, jangan bertengkar lagi," sela Naila yang merasa terjebak dalam perselisihan dua adik kakak ini.
"Ka-kalau Om Marvel dan Pak Martin terus begini, saya rasa lebih baik mencari pekerjaan di tempat lain aja deh ."
Marvel menatap Naila lewat ujung matanya. "Kamu mencoba mengancam kami?"
Spontan, Naila mengibaskan tangannya. "Bukan, bukan! Saya cuma... ya, saya pikir, suasana kerja yang tenang dan damai itu penting. Apalagi, ada dua anak kecil di sini. Mereka pasti meniru apa yang mereka lihat."
Naila menunduk, melihat Rindu yang sekarang memeluk kakinya erat-erat. Ia teringat buku-buku di perpustakaan sekolah. Ia sering membaca soal psikologi anak, tumbuh kembang, dan semua itu membuatnya sedikit paham apa yang dirasakan balita ini.
"Hmmmff, benar. Maafkan saya," akhirnya Martin bicara. Ia menatap sang putri sulung yang tak mau lepas dari pengasuhnya ini. Setelah itu, ia merogoh kantong celana.
"Tangkap!" Ia melempar sesuatu ke arah Marvel.
Refleks, Marvel menangkap benda itu. Matanya mengerjap tak percaya melihat benda yang tak pernah ia sangka diserahkan padanya. "Kunci mobil? Buat apa?"
"Kembali lah ke rumah mama! Aku tak ingin anakku semakin stres cuma gara-gara kamu!"
Marvel menyengir memasukkan kunci tersebut ke kantong kemeja. Tanpa banyak cincong, ia melangkahkan kaki dengan ringan menapaki anak tangga. Di rumah ini, ia, memiliki kamar tersendiri dan dengan leluasa ia mendorong begitu saja pintu tersebut.
"Uhuk ... Uhuk ... Uhuk!"
Debu langsung menyambutnya. Maklum, kamar itu sudah lama tak dihuni.
"Kak! Apa kau masih kekeuh untuk tidak akan menggunakan jasa ART? Uhuk ... Uhuk ... Uhuk." teriak Marvel sembari mengibas-ngibaskan tangan mengharap udara segar kembali masuk ke rongga pernapasannya.
Di saat itu pula, ia menatap Naila. Namun, bibirnya hanya bisa diam.
Naila mencoba mencari makna dari gelagat yang diberikan majikannya ini. 'Apa Bapak pengen aku membersihkannya ya? ' batinnya.
"Maaaa, Lindu ngantuk ..." Rindu kembali menarik kecil tangan Naila.
'Nanti aja deh beresin kamarnya, habis anak-anak tidur.'
"Pak, kalau boleh tau, kamar Rindu dan Reivan yang mana, ya? Biar saya bisa temani mereka tidur," tanya Naila.
Akan tetapi, Martin hanya menggaruk bagian belakang telinganya. "Hmmm, menemani mereka tidur?"
"Iya, Pak. Ini kan salah satu tugas saya sebagai pengasuh mereka kan?"
"Hmmm, begitu ya?" Kepala Martin menoleh ke arah sebuah pintu. Namun, ia kembali terdiam seribu bahasa.
"Hiks ... Hiks ... Hiks ...." Kali ini, bayi yang berada dalam pelukannya mulai gelisah. Tangannya tak berhenti mengusap mata.
"Kak! Kamu denger nggak sih? Gimana mau ngurus rumah segede ini tanpa ART?" Marvel mengusap lengan panjang pakaiannya dengan kasar menatap kesal pada sang kakak.
"Sudah kukatakan, kau kembali saja ke rumah mama. Tapi memang dasar keras kepala tak mau mendengar apa yang aku katakan."
Marvel melirik Naila yang tampak kerepotan menghadapi Rindu yang juga mulai rewel. "Masa aku meninggalkan kalian berdua aja di sini?" Jari telunjuknya bergoyang ke arah kiri kanan secara bergantian.
"Tak akan kubiarkan syaiton mengisi celah itu."
"Ck! Terserah kau saja!" Martin balik badan, merasa perselisihan di antara mereka tak akan pernah ada ujungnya. Ia pun bergerak menuju pintu sebuah kamar.
Rindu yang mengenal ruangan itu pun mengikuti dan menarik Naila, membuat gadis yang belum paham dengan rumah tersebut hanya bisa mengikuti dengan pasrah.
Setelah menarik gagang pintu, Martin tersentak karena tiba-tiba anak sulungnya sudah menyelonong masuk ke kamar utama tersebut. Rindu terus menarik Naila menuju ranjang yang sangat besar dan langsung memanjat.
"Ayo, Ma ... Kita bobo!" Ia kembali menarik Naila naik.
Namun, kali ini Naila mencoba menahan tarikan gadis kecil itu. Dalam ruang tidur berukuran luas tersebut, tampak banyak sekali foto Martin bersama istrinya. Dengan cepat ia menyimpulkan bahwa ini bukan lah kamar Rindu.
"Kok tidurnya di sini? Kita pindah yuk?" ajak Naila mencoba menarik Rindu. Sesekali ia juga melirik Martin yang masih berdiri di ambang pintu.
"Kita kan bobo di sini, Ma. Bobo sama papa dan adek juga."
Naila mengernyitkan kening. Ia segera memahami maksud perkataan Rindu bahwa selama ini mereka selalu bertiga.
"Kalau begitu, kakak keluar aja ya. Kakak ga bisa tidur sama Rindu di sini." Dengan buru-buru, Naila meninggalkan Rindu yang perlahan mulai menangis. Akhirnya, tangisan itu mampu menahan langkahnya.
"Mamaaaa, Mamaaaa, Mama mau ke mana?" isaknya.
Mendengar sang putri menangis, Martin pun mendekat dan berdiri di dekat Naila
"Kamu, tidur lah di kamar ini."