London, sebuah tempat yang menyisakan kenangan termanis dalam hidup Orion Brox. Dalam satu hari di musim panas, ia menghabiskan waktu bersama gadis cantik yang tak ia ketahui namanya. Namun, rupa dan tutur sapanya melekat kuat dalam ingatan Orion, menjelma rindu yang tak luntur dalam beberapa tahun berlalu.
Akan tetapi, dunia seakan mengajak bercanda. Jalan dan langkah yang digariskan takdir mempertemukan mereka dalam titik yang berseberangan. Taraliza Morvion, gadis musim panas yang menjadi tambatan hati Orion, hadir kembali sebagai sosok yang nyaris tak bisa dimiliki.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
One Day In London 12
Bagi seorang wanita, kejujuran dan keseriusan dari seorang lelaki merupakan poin penting sebelum memilih pasangan hidup. Pacaran hanyalah status, bisa dilakukan bisa tidak. Yang paling penting adalah kesungguhan dia dalam membawa hubungan itu, sekadar cinta-cintaan layaknya anak remaja atau dibawa melangkah pada jenjang yang lebih serius.
Olliver termasuk laki-laki yang sangat serius dalam hubungannya. Terbukti dia berani datang jauh-jauh dari luar kota hanya untuk menyatakan perasaannya, dan itu langsung di hadapan orang tua si wanita. Sungguh, dia adalah lelaki pilihan. Dia mengutamakan pernikahan di tengah maraknya lelaki yang hanya memburu pacaran.
Itu sebabnya, malam ini Tara juga merasa beruntung dipertemukan dengan Olliver. Lelaki itu tak hanya membuatnya nyaman, tetapi juga punya keberanian dan keseriusan. Secara tidak langsung, Olliver telah membuat Tara yakin untuk merajut masa depan bersamanya. Mungkin ... itu jua yang dinamakan cinta.
"Olliver, aku menghargai ketulusan dan keseriusanmu. Tapi, aku dan istriku tidak bisa menentukan jawaban. Kami serahkan semuanya pada Tara sendiri. Meski kami orang tuanya, tapi kami juga tidak bisa memaksa. Ini menyangkut masa depannya Tara, jadi dialah yang paling berhak menentukan pilihan. Jika dia tidak bisa menerimamu, kami juga tidak bisa membantu. Tapi sebaliknya, jika dia menerimamu, restu kami akan selalu menyertai kalian," ucap Nero, yang kemudian dibenarkan oleh Raina.
Sebagai orang tua, mereka hanya bisa mengarahkan—bukan memaksa.
"Tanyakan langsung pada Tara, Olliver, dia mau atau tidak menikah denganmu," sambung Raina seraya melirik Tara sekilas.
Usai mendengar ucapan Raina, Olliver langsung menatap sang pujaan hati yang kini duduk di hadapannya. Lantas dengan keberanian penuh dia mengulangi pertanyaannya.
Masih dalam pandangan Olliver, Tara menunduk. Pipinya sedikit bersemu merah, merasa tersipu karena di sana tidak hanya mereka berdua. Namun, ada orang tua dan juga adiknya. Pastilah sekarang mata-mata itu tertuju padanya.
Namun meski begitu, Tara juga tidak menggantungkan jawaban. Dia sadar bukan lagi remaja yang ketika mendapat pernyataan cinta meminta waktu untuk berpikir. Dirinya sudah dewasa, sudah cukup matang untuk menimbang baik dan buruk dalam waktu singkat.
"Aku mau." Dua kata akhirnya keluar dari bibir Tara. Walau dengan menunduk, tetapi suaranya cukup keras, sehingga semua orang bisa mendengarnya, tak terkecuali Olliver.
Tak terkendalikan lagi perasaan Olliver saat itu. Detak jantung berpacu, debaran hati bertalu. Ruang rindu dalam jiwanya seolah bersorak. Begitu riuh perasaan dan pikiran Olliver saat ini, layaknya seorang peserta kompetisi yang membawa pulang kemenangan.
Jika menuruti kata hati, ingin rasanya Olliver bangkit dan memeluk Tara erat-erat. Lantas menggendongnya dan membawanya berputar-putar. Seperti adegan dalam film-film romantis, ahh pasti manis.
Namun, Olliver juga masih punya kesadaran, tak mungkin melakukan itu sekarang. Ada calon mertua dan calon adik ipar, apa kata mereka nanti.
"Terima kasih, Tara." Alhasil, Olliver hanya mengucap terima kasih, seraya tangannya mengambil kotak cincin yang masih bersembunyi di balik saku celana. "Karena kamu udah mau menerimaku, ini ... untukmu, Tara. Ini adalah bukti cinta dan keseriusanku sebelum membawa Mama Papa ke sini," lanjutnya sambil menyodorkan cincin tersebut ke hadapan Tara.
Bukan hanya Tara yang terkejut, melainkan juga Raina dan Nero. Mereka tak menyangka kalau ternyata Olliver sudah menyiapkan cincin untuk Tara. Sematang itu persiapannya.
"Kamu ... udah bawa cincin?" Kali ini Tara menunduk lagi, tetapi mengangkat wajahnya dan jelas menatap Olliver.
Laki-laki itu pun tersenyum, lalu mengangguk pelan. "Cincinnya udah kupesan dari dua minggu yang lalu. Ada inisial nama kita. Tara, aku benar-benar mencintaimu dari awal kita ketemu."
Terharu? Tentu saja. Di usianya yang sudah 28 tahun ini, baru sekarang Tara bertemu dengan lelaki yang benar-benar serius akan cintanya.
"Aku ... juga mencintaimu," jawab Tara. Meski ucapannya tidak semantap Olliver, tetapi sudah cukup untuk menjadi bukti bahwa sekarang mereka adalah sepasang kekasih, atau lebih tepatnya calon pengantin.
Tak lama setelah Tara membalas pernyataan cintanya, Olliver mengambil cincin berlian itu dan menyematkannya di jari manis Tara.
Alterio, sebagai penonton yang paling muda, langsung berteriak mengucapkan selamat, sekaligus meledek kakaknya, mengatakan kalau sekarang bukan jomlo abadi lagi.
Sementara itu, di rumah Olliver sendiri, tampak Orion sedang berdiri di balkon kamar. Sambil bertumpu pada terali, dia menyesap kuat rokok yang baru disulut—yang entah sudah batang ke berapa.
Hati Orion resah, gundah, dan gelisah. Satu bulan penuh dia mencari keberadaan Sunny, tetapi nihil. Padahal, dia sudah menyuruh orang-orang kepercayaan untuk ikut serta mencari tahu tentang wanita pujaannya. Namun, tak satu pun dari mereka yang berhasil.
Hampir setiap jengkal Kota Jakarta sudah mereka jelajahi, tetapi masih juga tak ada titik terang tentang keberadaan Sunny. Wanita itu seolah-olah raib ditelan bumi, seperti hantu yang muncul sekilas lantas hilang tanpa jejak. Bodohnya, Orion malah jatuh cinta dan tak bisa mengikis perasaannya.
"Ke mana lagi aku harus mencarimu, Sunny?" ucap Orion dengan kepala yang mendongak. Seakan-akan dia berharap mendapat jawaban dari langit atau juga angin malam yang berulang kali menerpanya.
Bersambung...