Tanggal pernikahan sudah ditentukan, namun naas, Narendra menyaksikan calon istrinya meninggal terbunuh oleh seseorang.
Tepat disampingnya duduk seorang gadis bernama Naqeela, karena merasa gadis itu yang sudah menyebabkan calon istrinya meninggal, Narendra memberikan hukuman yang tidak seharusnya Naqeela terima.
"Jeruji besi tidak akan menjadi tempat hukumanmu, tapi hukuman yang akan kamu terima adalah MENIKAH DENGANKU!" Narendra Alexander.
"Kita akhiri hubungan ini!" Naqeela Aurora
Dengan terpaksa Naqeela harus mengakhiri hubungannya dengan sang kekasih demi melindungi keluarganya.
Sayangnya pernikahan mereka tidak bertahan lama, Narendra harus menjadi duda akibat suatu kejadian bahkan sampai mengganti nama depannya.
Kejadian apa yang bisa membuat Narendra mengganti nama? Apa penyebab Narendra menjadi duda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arion Alfattah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 - promosi diri
Tatapan Vaughan heran melihat reaksi Mario. "Ayo duduk."
"Eh. Hmmm ini gak salah kan? Lo maksud saya Anda .."
"Bicara seperti biasa saja saat kita sedang berdua."
"Gimana gue gak kaget melihat nama di meja ini, lo .." Mario kembali berbicara biasa saja, ia juga ikut duduk setelah Vaughan lebih dulu duduk di kursi kebesarannya.
Vaughan tersenyum. "Kita belum kenalan." Lalu dia mengulurkan tangannya.
Mario menatap serius baru turun menatap uluran tangan Vaughan, dengan gemetar ia pun membalas uluran tangannya.
"Hahaha kenapa jadi gemetar gini? Ada yang salah dengan saya?"
'Jelas salah karena gue sedang berhadapan dengan bos gue sendiri. Terus sikap gue tadi mencerminkan bawahan kurang ajar.'
"E-enggak, cuman kaget, syok doang."
Vaughan terkekeh. "Saya Vaughan Alexander."
Kemudian tangan mereka terlepas.
"Hmmm." Namun Mario merasa tidak asing dengan nama bagian terakhirnya.
"Ayolah, jangan sungkan, saya sudah bilang bersikap biasa saja saat berdua atau diluar jam kerja. Kita bicara soal tadi." Dia duduk dengan santai, menyender seraya tangan kiri berada diatas meja. Jemarinya bergerak mengetuk pelan membentuk irama.
"Maaf, saya, maksudnya gue masih kaget kalau ternyata orang kita temui seorang direktur Alexandria. Itu artinya perusahaan di kota J milik lo juga."
"Bukan milik saya tapi milik papa saya, saya hanya meneruskan usaha yang sudah papa saya bangun dari nol. Sudah saya bilang kita bahas yang tadi, jadi gimana?"
Kini Vaughan berubah serius lagi, kedua tangannya melipat diatas meja.
Mario menghela nafas. "Sebelumnya gue .. Saya .." Tatapan mata Vaughan sangat tajam membuat Mario mendadak kikuk.
"Intinya gue mau tahu dulu tujuan lo apa mendekati adek gue? Kalau hanya sekedar main-main gue gak izinkan lo dekati."
"Sudah saya katakan kalau saya serius, saya bukan tipe orang yang suka main-main. Saya tertarik sama Aqeela dari awal jumpa, hal wajar jika kamu takut adikmu dipermainkan laki-laki, tapi saya serius ingin menjalin hubungan dengan Aqeela bukan untuk main-main. Saya sudah pikirkan ini matang-matang."
Mario mengangguk paham. "Soal masa lalumu?"
"Baik." Vaughan menghela nafas panjang kemudian kembali bersuara, "usia saya tak lagi muda, sudah 30 tahun, itu sebabnya saya tidak mau main-main dengan perasaan." Dia berhenti, memperhatikan reaksi Mario yang terlihat kaget.
"30? Tapi wajah lo kayak bocah SMA."
Vaughan tersenyum. "Ya mungkin awet tua."
"Awet muda kali."
"Haha itu maksudnya, dan yang lebih gong nya lagi saya duda tanpa anak, orisinil tanpa pernah dipakai, mantan calon istri 1 sudah meninggal dan mantan istri 1 itupun sudah dinyatakan meninggal di hari ke 18 hari pernikahan. Jadi Aqeela bisa tenang tanpa dibayangi masalalu, soal materi cukup buat menghidupi Aqeela, pengalaman lumayan, bergaransi hingga selamanya," balas Vaughan terkekeh sendiri.
Mario mencebik. "Lo emang pede boros, masa memperkenalkan diri sampai segitunya, baru kali ini gue ketemu orang kaya elo."
Vaughan tertawa, ia juga bingung kenapa bisa seperti ini. Mungkin karena efek dari pertemuan dengan Aqeela membuatnya jadi gila. Mengingat wajah menggemaskan itu mendadak ia jadi rindu, rindu mengerjai bocah sedeng nya.
Mario mengernyit. "Lo gila? Senyum-senyum sendiri."
"Sepertinya gila karena adikmu."
"Bos gila, ini mah," gumam Mario menggeleng heran. "Terus?"
"Ya saya tanya kamu izinin saya dekati Aqeela tidak? Intinya saya ini duda perjaka, pemakaian 18 hari, kondisi prima, kilometer masih rendah, gak ada lecet, belum pernah dipake masih gress orisinil, tahan sampai 90 menit, menyalah gak tuh? Lecet dikit aman."
Bhuahahaha
Mario tertawa terbahak-bahak atas pemaparan Vaughan. "Hahaha lo promosi diri apa promosi motor hah? Hahahaha, sumpah kocak juga lo."
"Promosi diri, kocak. Saya seriusan nih."
Mario masih mencoba menahan tawa. "Ok, ok, gue suka cara lo promosi diri, lo duda perjaka yang belum pernah di pakai hahaha."
Laki-laki itu menghela nafas panjang. Ternyata susah juga meyakinkan orang.
"Di terima gak nih?" Vaughan mencebik kesal.
"Gue sih tergantung adek gue, dia mau kagak sama duda perjaka kayak elo? Kalau dia mau silahkan, gas aja. Gue izinin lo dekati adek gue tapi jangan sakiti adek gue."
Mario mulai mencair, dia tak lagi kaku berhadapan dengan orang yang nantinya akan jadi bos.
"Promise."
***********
Kamar lain.
"Kak, buka pintunya, aku mau bicara, Kak." Sejak kejadian tadi pagi Alvaro tidak menampakan dirinya di depan Nazira, hal itu memicu rasa kesal.
"Kak, aku bisa jelasin kok, jangan gini dong, aku ini pacar kamu."
Tidak ada sahutan suara dari dalam dikarenakan tidak ada penghuninya.
"Lo ngapain berisik di depan kamar orang, Zira? Ini sudah malam waktunya istirahat," seru Aqeela hendak ke kamarnya eh malah melihat Zira berdiri di kamar Alvaro berteriak mengganggu penghuni kamar lain.
Nazira menoleh, menatap tajam. "Gara-gara elo kak Al marah sama gue."
"Lo sinting ya? Gue gak melakukan apapun kenapa jadi gue yang lo salahin? Harusnya lo mikir penyebab dia marah kenapa, jangan asal nyalahin orang lain dong." Aqeela males meladeni Zira, dia melenggang pergi, tapi tangannya ditarik Zira.
Grep.
Plak!
Secara tiba-tiba Aqeela mendapatkan tamparan dari Zira. Wajah gadis itu sampai menoleh ke samping dengan rambut menutupi bagian wajahnya.
Pipinya terasa panas, rahangnya mengeras. "Kurang ajar lo!" Sentaknya sebari membalas tamparan Zira kemudian mendorongnya.
Plak!
"Aww!!" dia memekik sakit, tubuhnya terbentur ke dinding.
"Lo gila! Lo yang salah malah nyalahin gue, otak lo sinting, Zira. Gue gak tahu kesalahan gue dimana tapi lo malah nampar gue, setres lo!" sentaknya mendorong bahu Zira.
"Lo penyebab kak Al marah sama gue, dia pergi ninggalin gue sendiri karena ingin mengejar lo, lo jahat!"
"Gue jahat? Kalau kak Al pergi ninggalin elo sendirian dalam kamar setelah bergulat jangan salahin gue dong, tapi mikir kenapa bisa lo buat dia seperti itu. Harusnya lo mikir dengan pikiran jernih, dia marah karena lo sudah jebak dia, IYA KAN?" Suara lantang Aqeela menggelegar, menatap tajam wanita didepannya penuh intimidasi.
"Gu-gue ..." Zira mendadak gugup, ia lupa kalau Aqeela bukan orang yang mudah percaya terlebih Alvaro bercerita versinya, itu bisa saja meyakinkan Aqeela jika ini ada undur kesengajaan.
"Kok gagap? Mau jadi Azis gagap lo? CK, cantik iya, bodoh jangan dong, lo pikir gue bego sampai bisa lo kelabui macam kak Al? Enggak, gue gak sebodoh itu."
"Qeel," lirih Zira menatap sendu, matanya berkaca-kaca.
"Gue gak tahu kejadian sebenarnya, tapi kalau bisa kalian selesaikan berdua karena gue gak mau dibawa-bawa sama masalah yang bukan berasal dari gue. Itu ulah kalian berdua, kalian yang bersenang-senang gue yang disalahin, setres lo." Kemudian Aqeela melenggang pergi menuju kamarnya seraya mendengus kesal.
Setelah masuk kamarnya.
"Dasar setan tuh orang."
"Siapa yang setan?"
"Bang! Elo!"