Embun Nadhira Putri, 28 tahun, terjebak antara tuntutan pekerjaan dan desakan keluarganya untuk segera menikah. Ketika akhirnya mencoba aplikasi kencan, sebuah kesalahan kecil mengubah arah hidupnya—ia salah menyimpan nomor pria yang ia kenal.
Pesan yang seharusnya untuk orang lain justru terkirim kepada Langit Mahendra Atmaja, pria matang dan dewasa yang tidak pernah ia pikirkan akan ia temui. Yang awalnya salah nomor berubah menjadi percakapan hangat, lalu perlahan menjadi sesuatu yang jauh lebih berarti.
Di tengah tekanan keluarga terutama sang Mama, rutinitas yang melelahkan, dan rasa takut membuka hati, Embun menemukan seseorang yang hadir tanpa diminta.
Dan Langit menemukan seseorang yang membuatnya ingin tinggal lebih lama.
Terkadang takdir tidak datang mengetuk.
Kadang ia tersesat.
Kadang ia salah alamat.
Dan kali ini…
takdir menemukan Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 – Pertemuan Yang (Tak) Sengaja
Aula utama PT Global Farmasi sejak pukul tujuh pagi sudah berubah menjadi lautan manusia yang bergerak tak henti. Dekorasi biru-putih yang harusnya tampak elegan malah terlihat seperti festival yang dipasang tergesa-gesa; balon helium mengambang kacau karena tali pengikatnya terlalu panjang, banner besar di panggung depan sedikit miring, dan lampu sorot masih berkedip-kedip seperti sedang protes keras pada kerja keras panitia.
Embun berdiri di tengah kekacauan itu, tubuhnya tegap namun jelas sudah berada di batas kesabaran. Sanggulnya yang dibuat terburu-buru menahan sebagian rambut, tapi beberapa helai membandel jatuh di sisi wajahnya, menambah kesan "panitia burnout" yang sangat otentik.
Di tangan kirinya, clipboard penuh catatan. Di tangan kanannya, walkie-talkie yang berbunyi tanpa ampun.
“Embun, MC-nya masih di jalan! Katanya terjebak macet!”
“Bun, sound system feedback terus, tolong dateng ke panggung!”
“Backdrop-nya salah cetak, Bun! Salah cetak! Itu tulisannya ‘Anniverty’ bukan ‘Anniversary’!”
Embun memejamkan mata, menarik napas panjang yang hanya menambah tekanan di dada. ‘Tuhan, ini kantor apa sirkus keliling, sih?’
Belum selesai dengan satu masalah, masalah lain muncul di peripheral vision-nya.
Doni — staf laki-laki yang punya spesialisasi menghilang di saat-saat kritis — muncul dari balik tirai panggung sambil membawa mug kopi panas dan ekspresi selow yang membuat Embun ingin menukar tubuhnya dengan vacum cleaner agar bisa menyedot Doni masuk ke ruang penyimpanan.
“DONI!” Suara Embun menggelegar bak alarm tsunami, membuat tiga panitia di belakang panggung hampir menjatuhkan properti dekor. “KALAU KAMU NGILANG LAGI, AKU LAPORIN KAMU KE MAMAMU SAMA BPJS TENAGAKERJAAN SEKARANG JUGA!!!”
Aula mendadak sunyi.
MC pengganti yang baru datang menoleh. Dua staf dekor nyaris jatuh dari tangga. Doni langsung jongkok sambil menutup kepala seperti warga saat simulasi gempa, wajahnya pucat.
“JANGAN BU! SAYA MASIH BUTUH UANG THR!!”
Aula kembali pecah oleh tawa gemuruh. Panitia, staf, bahkan vendor catering yang lewat sambil dorong troli pun ikutan ngakak.
Embun berdiri di tengah tawa itu, wajahnya memerah sampai telinga. Dia membuka mulut ingin membela diri, mengelak, atau pura-pura amnesia… namun sebelum sempat bergerak—
Suara bariton itu terdengar. Dalam. Lembut. Setenang gelombang laut malam.
“Kalau kamu butuh saksi buat laporin dia ke BPJS,” ujarnya santai, “Saya siap.”
Waktu berhenti. Embun mematung. Panitia lain otomatis menyingkir, seolah membuka jalan bagi kemunculan seseorang yang aura kepemimpinannya saja sudah menelan separuh ruangan.
Pelan… pelan… dia menoleh.
Dan di sana, berdiri seorang pria dengan setelan abu-abu elegan, kemeja biru muda yang kontras lembut dengan kulitnya, segelas kopi di tangan, dan senyum tipis yang… membuat Embun ingin masuk ke freezer.
Langit Mahendra Atmaja. CEO Atmaja Group. Pria yang kemarin menatapnya seperti virus buatan Embun adalah teka-teki paling menarik di hidupnya. Pria yang semalam menelponnya selama satu jam tanpa sadar bahwa ia sedang berbicara dengan gadis yang sama.
“Ba… Bapak?” Suaranya tercekat.
Langit menaikkan alis sedikit, langkahnya mantap menghampirinya. “Pagi, Embun,” tuturnya santai, suara lembut tapi punya daya hancur yang tidak ia sadari.
“Ternyata kantor lamamu disini, ya?”
Embun ingin langsung menjerit ke dalam tasnya. ‘KENAPA SEKARANG? KENAPA DI MOMEN KETIKA ADA KATA ANNIVERTY DI BACKDROP?’
Sebelum ia sempat menjawab, Kepala Divisi HR Global Farmasi, Pak Dimar, datang tergesa-gesa dan hampir tersandung kabel.
“Oh! Pak Langit! Selamat datang!” Nafasnya tersengal. “Maaf sekali, kami belum sempat menjemput di lobby, acaranya sedikit… kacau.”
Langit tersenyum sopan. “Saya bisa lihat.”
Pak Dimar ikut mengusap keringat. “Hari ini Atmaja Group jadi tamu kehormatan, Pak. Kerja sama kita sudah 10 tahun, jadi kami… ya… sangat berterima kasih Bapak menyempatkan hadir.”
Embun membeku. ‘TAMU KEHORMATAN?! DIA MEMANG DIUNDANG?! DIA MEMANG SEHARUSNYA ADA DI SINI?!’
Dalam hati Embun hanya bisa berteriak lagi, ‘Tuhan, kalau Engkau sayang aku sedikit saja, tolong buka portal ke Narnia sekarang juga.’
Langit menoleh kembali pada Embun—pelan, dengan tatapan yang terlalu lembut untuk pria yang biasanya bersikap seformal firewall.
“Jadi,” suaranya rendah, “yang teriak soal BPJS tadi itu kamu, ya?”
Embun ingin pingsan. Atau kabur. Atau mengulang hidup dari usia tiga tahun demi menghindari pagi ini.
Ia hanya bisa mengeluarkan satu kata dengan volume 20% normal, “…maaf, Pak.”
*
Embun masih berdiri di tengah aula, jantungnya memukul-mukul tulang rusuk seperti berusaha keluar dari tubuhnya dan kabur ke parkiran. Sementara itu, Langit berdiri tak jauh darinya—tenang, tegap, dengan aura CEO yang kontras banget sama kekacauan acara.
Doni masih jongkok sambil memeluk kepala. Backdrop Anniverty masih terpampang seperti dosa besar yang ditampakkan di depan umum. Vendor catering tersandung kabel. MC pengganti mencoba latihan script tapi salah sebut nama perusahaan menjadi Global Farmaco.
Dan di tengah itu semua, suara panik salah satu staf dekorasi terdengar:
“Benderranya salah … salah… salah arahhh!!”
Embun memijat pangkal hidungnya, bersiap menghadapi masalah baru— namun tak disangka, seseorang bergerak lebih dulu.
Langit.
Dengan langkah santai yang tidak cocok dengan kekacauan sekitar, ia maju beberapa langkah, meraih tiang kecil tempat bendera mini dipasang, dan memperbaiki posisinya dengan sekali gerakan stabil seperti teknisi profesional.
Semua panitia berhenti. Menatap. Mematung.
Pria yang biasanya bicara tentang sistem server dan infrastruktur jaringan kini memperbaiki dekor acara ulang tahun perusahaan farmasi.
“Saya… saya bisa handle itu, Pak!” kata staf dekorasi, wajahnya pucat seperti baru melihat malaikat.
Langit mengangguk tipis. “Tidak apa. Kamu lanjut kerja lain saja, ini tinggal diputar sedikit.”
Dan benar saja, dalam hitungan detik, bendera itu tegak lurus sempurna.
Seisi aula terpesona seperti melihat sulap.
Embun? Nasib Embun lebih parah. Ia berdiri seperti kucing nge-freeze ketika majikannya panggil Namanya. setengah kaku, setengah ingin lari, setengah ingin tenggelam di lantai parket.
*‘Astaga… dia bantu dekor… DIA BANTU DEKOR???*Kenapa dia begitu santai? Kenapa tangannya rapi banget? Kenapa aura bos besar jadi bikin bendera kelihatan seperti barang luxury?’
Panitia lain mulai bisik-bisik.
“Itu beneran Pak Langit?”
“Seriusan dia bantu gitu?”
“CEO perusahaan teknologi bantu pasang bendera? Ya ampun aku mau pingsan.”
Embun mendengar semua itu. Dan hampir mati saking malunya.
Langit menoleh ke arahnya, senyum tipis menghiasi wajahnya—tidak besar, tapi cukup untuk membuat Embun ingin melempar dirinya ke gudang logistik.
“Sekarang sudah lurus,” katanya pelan.
“Te… terima kasih, Pak…” Suaranya keluar seperti bisikan makhluk kecil. Lembut. Ringan. Mirip sekali dengan suara Miss.
Langit memicingkan mata sedikit. Lagi. Lagi suara itu. Resonansi lembut yang entah kenapa sangat familiar. Hatinya menegang tanpa alasan. Namun ia memilih diam…
*
Baru beberapa detik setelah kejadian bendera viral itu, Pak Dirman datang lagi dengan wajah memohon dan clipboard gemuk di tangan.
“Ehem, Embun… bisa kamu antar Pak Langit keliling area acara? Beliau merupakan tamu VVIP kita, jangan biarkan beliau menunggu sebab acaranya masih sejam lagi dimulai?”
Embun membelalak. “Sa-saya, Pak?”
“Iya. Kamu,” jawab Pak Dimar mantap. Padahal wajah Pak Dimar jelas berkata ‘Kamu satu-satunya yang bisa diandalkan dan Bapak ini keliatan nyaman sama kamu, jadi PLEASE JANGAN KABUR.’
Embun menelan ludah.
Langit menatap Embun. Embun menatap lantai. Lantai menatap balik tanpa membantu apa pun.
Akhirnya, dengan napas tercekat, Embun menunduk sopan.
“Baik, Pak. Saya antar.”
Dan dimulailah perjalanan paling bikin jantung deg-degan dalam sejarah karier Embun.
Mereka berjalan berdampingan. Embun di kiri, Langit di kanan.
Embun menjaga jarak kurang lebih 30 cm seperti sedang mengawal tamu VVIP negara. Langit berjalan santai, satu tangan di saku, satu tangan memegang gelas kopi.
Semua panitia yang mereka lewati langsung berdiri tegak. Yang semula memarahi vendor tiba-tiba berubah jadi piket upacara bendera.
“Selamat pagi, Pak …”
“Pagi, Pak…”
“Ih Embun tuh! Liat auranya berubah. Baru jalan sama Pak Langit langsung kayak HR Manager muda!”
Embun bisa mendengar bisikan-bisikan itu dan rasanya ingin menguap ke dimensi lain.
Ia memimpin tur sambil menunjukkan area registrasi. “Di sini area tamu undangan, Pak… nanti ada meja penerima tamu, lalu setelah itu diarahkan ke area VIP…”
Suaranya lembut. Serius. Profesional.
Langit mendengarkan— tapi setiap kali Embun membuka mulut, ia tidak bisa tidak merasa ada yang aneh. Nada itu. Irama itu. Kelembutan itu.
Seperti… seperti perempuan yang semalam menertawakan gosip artis bersamanya. Seperti perempuan yang bilang jangan mimpiin dia.
Langit menggeser pandangannya sedikit, menatap samping. Wajah Embun tampak fokus. Lembut. Tanpa sadar sedikit menggigit bibir bawah saat menjelaskan.
Hatinya berdetak lebih keras. Dalam hati ia bergumam ‘Tidak mungkin. Tapi suaranya… kenapa bisa mirip sekali? Ini… suatu kebetulan aneh atau gue mulai halu?’
Ia memutuskan menguji.
“Embun,” panggilnya pelan.
Embun menoleh cepat, sedikit gugup. “Iya, Pak?”
Nada itu. Langit hampir berhenti melangkah.
Itu sama. Persis. Tidak berbeda sedetik pun. Ia mengerutkan alis—kaget sekaligus bingung.
‘Kalau ini Miss… kenapa dia tidak mengenali gue? Dan kalau dia bukan Miss… kenapa suaranya sama?’
Embun, di sisi lain, merasakan jantungnya ikut kacau karena— suara Langit ketika memanggil namanya barusan… Rendah. Bergetar lembut di ujung. Nada yang sering ia dengar dari…
—Mister.
**
Aula besar PT Global Farmasi akhirnya memasuki fase tenang menjelang dimulai. Lampu-lampu sorot dipadamkan setengah, suara musik instrumental mengalun lembut, dan tamu undangan mulai berdatangan satu per satu. Di sisi VIP, kursi-kursi berlapis kain satin putih tertata rapi, sementara meja bundarnya dihiasi bunga lily dalam vas kaca bening—elegan, minimalis, tapi cukup untuk memberi citra korporat kelas atas.
Langit telah duduk di salah satu kursi paling depan, posisi strategis yang memudahkannya melihat seluruh ruangan, termasuk… seseorang yang sejak tadi membuat matanya tidak bisa diam. Embun.
Ia berdiri agak jauh, memeriksa registrasi, memastikan alur berjalan dengan baik, memerintahkan panitia dengan suara lembut namun jelas—dan setiap kali suara itu terbang menembus keramaian, Langit merasakan denyut kecil yang sama. Denyut itu. Resonansi itu. Nada lembut yang menabrak memorinya tentang Miss.
Ia mengambil gelas air putih, menyandarkan tubuh, namun matanya tetap mengikuti Embun. Gerakan halusnya. Cara ia bersandar ke meja untuk melihat daftar tamu. Cara ia menghela napas ke samping ketika panitia panik. Bahkan cara Embun menahan rambut di telinga—sederhana, tapi entah kenapa menimbulkan efek domino di tubuh Langit: rasa ingin tahu berubah jadi rasa tertarik halus yang menyusup tanpa permisi.
Papi Arga di sampingnya sempat menoleh dan menepuk kakinya pelan. “Lang… kamu lihatin apa dari tadi?”
Langit mengatur ekspresi. “Tidak, Pi. Hanya observasi, acara ini cukup… menarik.”
Papi Arga mengangguk, tapi senyumnya curang. “Menarik, atau ada orang yang menarik perhatian kamu?”
Langit hanya menghela napas panjang.
Beberapa menit sebelum acara dimulai, Embun datang ke area VIP untuk memeriksa apakah semuanya sudah berfungsi dengan baik. Ia membawa clipboard, walkie-talkie, dan senyum profesional yang sudah ia paksakan sejak pagi.
Langkahnya mendekat ke meja VIP, dan Langit—meski pura-pura melihat layar ponselnya—mendengar derap halus itu.
“Permisi, Pak Langit, saya ingin memastikan kursi VIP tidak ada yang bermasalah,” ujar Embun, suaranya lembut tapi lugas.
Langit menoleh cepat. Nada itu lagi. Ia ingin sekali menutup mata dan mengatakan Iya. Ini Miss. Tapi tidak ada bukti… belum.
Ketika Embun membungkuk sedikit untuk merapikan katalog acara yang ada di meja VIP, tangannya bergerak ke arah yang sama dengan tangan Langit yang baru saja meletakkan gelasnya.
Hanya satu sentimeter. Satu sentimeter lagi, dan jari mereka akan bersentuhan.
Embun menyadarinya duluan— dan ia langsung menarik tangannya, cepat seperti mendapat sengatan listrik kecil, namun refleks itu justru membuat clipboardnya hampir jatuh. Langit menangkap gerakan itu dan tanpa pikir panjang menangkap bagian tepi clipboard dengan satu tangan, stabil dan kokoh.
Jari mereka tetap tidak bersentuhan. Tapi jarak itu… terlalu dekat. Hampir seperti sentuhan yang ditahan paksa.
Embun gemetar halus dan menunduk. “Maaf, Pak…”
“Tidak apa,” jawab Langit, suaranya turun setengah oktaf dari biasanya. Ia tidak tahu kenapa suaranya keluar selembut itu. Atau kenapa dadanya ikut menegang.
Ia sengaja menambahkan, “Bicara lagi, Embun.”
Embun mengangkat wajah, bingung. “Pak?”
Langit menatap lurus ke matanya. “Jelaskan rundown acara. Saya ingin tahu urutan pastinya.”
Embun menelan ludah. Ia tidak sadar bahwa Langit bukan sedang meminta penjelasan. Ia sedang menguji suara itu.
“Setelah pembukaan, akan ada sambutan dari direktur utama, lalu—”
Langit sudah tidak mendengar isi kalimatnya. Ia hanya mendengar nada. Resonansi lembut yang hampir identik dengan suara Miss ketika berkata good night, mister.
‘Astaga… mirip sekali… terlalu mirip…’ Ia meremas gelas di tangannya tanpa sadar.
Dan tentu saja, Embun merasakan tekanan itu. Bukan dari Langit saja, tapi dari dirinya sendiri.
Setiap kali ia bicara, Langit memperhatikannya terlalu dalam. Terlalu lama. Terlalu… intens.
Setelah selesai menjelaskan, Embun membungkuk sopan, lalu berjalan cepat ke arah backstage.
Begitu memastikan tidak ada panitia yang melihat, ia langsung membuka pintu toilet wanita dan masuk ke dalam dengan langkah tergesa.
Begitu pintu tertutup— ia bersandar pada panel kayu, tangan menekan dada, napasnya berantakan.
‘Ya Tuhan, kenapa hari ini begini sekali? Kenapa harus aku yang disuruh ngantar dia? Kenapa tatapan dia seperti itu?! Dan kenapa… oh kenapa… suara dia mirip sekali sama Mister?’
Ia memandang cermin. Wajahnya memerah. Mata membesar. Senyum-gugup yang tidak ia kenali muncul di bibirnya.
“Embun…” bisiknya pada diri sendiri. “Kamu ini kenapa…? Ini kan cuma calon bos. Bukan gebetan. Bukan Mister. Bukan apa-apa.”
Namun suara lembut itu membantah, ‘Atau jangan-jangan… dia memang Mister?’
Embun menggeleng cepat. “Tidak mungkin. Tidak mungkin semudah itu.”
Ia merapikan rambut, menepuk pipinya, mencoba menenangkan diri.
**
tbc