NovelToon NovelToon
Senja Garda

Senja Garda

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Mengubah Takdir / Action / Dosen / Epik Petualangan / Penyelamat
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Daniel Wijaya

Siang hari, Aditya Wiranagara adalah definisi kesempurnaan: Dosen sejarah yang karismatik, pewaris konglomerat triliunan rupiah, dan idola kampus.

Tapi malam hari? Dia hanyalah samsak tinju bagi monster-monster kuno.

Di balik jas mahalnya, tubuh Adit penuh memar dan bau minyak urut. Dia adalah SENJA GARDA. Penjaga terakhir yang berdiri di ambang batas antara dunia modern dan dunia mistis Nusantara.

Bersenjatakan keris berteknologi tinggi dan bantuan adiknya yang jenius (tapi menyebalkan), Adit harus berpacu melawan waktu.

Ketika Topeng Batara Kala dicuri, Adit harus memilih: Menyelamatkan Nusantara dari kiamat supranatural, atau datang tepat waktu untuk mengajar kelas pagi.

“Menjadi pahlawan itu mudah. Menjadi dosen saat tulang rusukmu retak? Itu baru neraka.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daniel Wijaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

TIKET MENUJU NERAKA

Waktu: Selasa, 16 April 2019. Pukul 19.55 WIB.

Lokasi: Stasiun Gambir, Jakarta Pusat.

Lari adalah kegiatan yang sangat overrated.

Orang-orang di iklan sepatu olahraga selalu tersenyum saat berlari. Pembohong. Lari itu menyakitkan. Apalagi jika kau berlari sambil membawa tiga tulang rusuk yang retak dan membawa beban dosa sejarah satu nusantara di pundakmu.

Aditya Wiranagara melompat keluar dari Porsche Taycan hitamnya di lobi drop-off Stasiun Gambir.

"Pak! Woi! Dilarang parkir di sini! Ini jalur VVIP!" teriak seorang satpam sambil meniup peluit dengan semangat 45.

Aditya melempar kunci valet ke arah satpam itu tanpa menoleh.

"Ambil saja! Itu tip buat Bapak!" teriaknya sambil berlari.

Di jalur 3, Kereta Taksaka Malam tujuan Yogyakarta sudah mulai bergerak. Roda-roda bajanya berdecit pelan, lalu makin cepat.

*"Sialan*," rutuk Aditya. "Kenapa kereta di negara ini harus tepat waktu di saat aku telat? Giliran aku datang cepat, keretanya telat dua jam."

Dia memacu kakinya. Setiap hentakan kaki di aspal peron mengirimkan gelombang rasa sakit dari pinggang ke otak. Rasanya seperti ada orang kerdil yang menusuk-nusuk ginjalnya dengan garpu.

Kereta itu semakin cepat. Pintu penumpang sudah tertutup rapat.

Satu-satunya jalan masuk adalah celah sempit di antara sambungan gerbong—bordes. Ada pijakan besi kecil yang berkarat di sana.

*"Ini ide bodoh,"* pikir Aditya. "Ini ide yang sangat, sangat bodoh. Aku punya jet pribadi. Aku punya helikopter. Tapi tidak, aku memilih melompat ke kereta yang sedang berjalan seperti maling ayam."

Dia melompat.

Untuk sesaat, dia melayang di udara. Gravitasi seolah berhenti sejenak hanya untuk menertawakan kebodohannya.

Tangan kanannya berhasil mencengkeram pegangan besi pintu luar kereta yang licin oleh embun.

BRAK.

Tubuhnya menghantam dinding luar gerbong.

"Ugh..." Aditya mengerang. Bahunya terasa mau lepas dari soketnya. Kakinya menggantung di udara, nyaris terseret aspal peron yang bergerak cepat di bawahnya.

"Bagus. Sekarang bahuku keseleo. Rusukku retak. Sempurna. Kalau aku mati sekarang, tolong tulis di batu nisanku: 'Mati karena gravitasi dan keputusan hidup yang buruk'."

Dengan sisa tenaga dan harga diri, dia menarik tubuhnya ke atas, menapaki pijakan besi, dan menjatuhkan diri ke lantai bordes yang dingin.

Dia berhasil. Dia ada di dalam.

Pintu kaca otomatis bordes tiba-tiba terbuka. Seorang Kondektur berseragam rapi muncul. Matanya melotot kaget melihat sosok berpakaian serba hitam tergeletak di lantai.

"Mas! Ngapain di situ?!" bentak Kondektur itu. "Mana tiketnya? Anda penumpang gelap? Saya panggil Polsuska sekarang!"

“Ah, sial. Aku lupa, karina sudah kirim e-boarding pass-nya belum ya.”

Aditya berdiri perlahan. Dia merapikan hoodie-nya yang kotor. Dia tahu penampilannya saat ini jauh dari kata meyakinkan: berkeringat, bau minyak gosok, dan mata merah. Dia terlihat seperti pecandu narkoba yang nyasar.

"Saya tidak punya tiket fisik," kata Aditya tenang, mengatur napas. Dia merogoh saku celananya dan mengeluarkan kartu nama hitam matte dengan emboss emas murni.

ADITYA WIRANAGARA - PEMEGANG SAHAM PRIORITAS.

"PT Kereta Api Indonesia adalah mitra strategis perusahaan saya," kata Aditya datar, menyodorkan kartu itu ke wajah si Kondektur. "Cek daftar pemegang saham minoritas kalian. Nama keluarga saya ada di urutan ketiga."

Kondektur itu menerima kartu nama tersebut. Dia melihat emas di kartu itu. Dia melihat Aditya. Lalu dia melihat kartu itu lagi. Kalkulasi cepat terjadi di otaknya: Orang gila tidak mungkin punya kartu nama emas asli.

"P-Pak Aditya?" suaranya gemetar, arogansinya menguap seketika. "Maaf... saya tidak mengenali. Penampilan Bapak..."

"Saya sedang inspeksi mendadak. Undercover. Paham?"

"Siap! Siap, Pak! Maafkan ketidaksopanan saya!" Kondektur itu membungkuk kaku, keringat dingin mulai muncul di dahinya.

"Antar saya ke Gerbong Eksekutif 1, Kursi 4A sesuai dengan e-boarding pass saya." perintah Adit.

“Siap! Mari ikut saya Pak Aditya.” ucap kondektur dengan nada panik sembari menunjukkan jalan

*"Hebat. Uang memang kekuatan super paling realistis,"* batinnya sinis. "Batman punya uang, Iron Man punya uang. Aku punya uang dan sakit pinggang."

Waktu: 20.30 WIB. Lokasi: Gerbong Eksekutif 1.

Gerbong Eksekutif 1 hening, dingin, dan berbau karpet lama yang disemprot pewangi lemon murah.

Aditya berjalan menyusuri lorong, berusaha tidak terpincang-pincang agar wibawanya sebagai 'pemegang saham' terjaga. Dia sampai di deretan kursi nomor 4.

Di kursi 4B, tepat di seberang lorong dari kursi kosongnya, ada pemandangan yang membuat Aditya ingin tertawa sekaligus menangis.

Fajar Baskara. Sahabatnya. Jurnalis investigasi yang katanya tangguh.

Dia sedang tertidur pulas dengan mulut terbuka lebar, iler menetes sedikit ke jaket denimnya. Dia memeluk tas kameranya seolah itu adalah guling, mendengkur halus.

*"Lihat dia,"* pikir Aditya iri. "Tidur nyenyak tanpa beban. Dia tidak tahu kalau di gerbong belakang ada hantu penagih utang yang membawa kiamat kecil di dalam peti. Ketidaktahuan adalah anugerah. Dan kebodohan adalah berkah."

Aditya duduk di kursinya (4A). Dia menyandarkan kepalanya ke jendela. Satu jam berlalu.

Pukul 21.00 WIB.

"Eugh..." Fajar menggeliat. Dia menguap lebar seperti kudanil, lalu membuka matanya yang bengkak.

Dia menoleh ke samping, mungkin berharap melihat pemandangan malam atau pramugari cantik.

Alih-alih, dia melihat Aditya Wiranagara yang sedang duduk santai membaca majalah In-Flight dengan kaki disilangkan, seolah sedang berada di ruang tamu sendiri.

Mata Fajar membelalak. Dia mengucek matanya. Dia menampar pipinya sendiri pelan.

Aditya menurunkan majalahnya sedikit. "Pagi, Putri Tidur."

"SETAN!" teriak Fajar refleks, melompat di kursinya.

Beberapa penumpang lain terbangun dan mendesis kesal. "Ssttt!"

"Jangan panggil nama teman-teman gue," kata Aditya datar. "Dan suara lo kecilin dah. Ini gerbong eksekutif, bukan pos ronda."

"Lo..." Fajar menunjuk wajah Aditya dengan jari gemetar. "Lo ngapain di sini?! Tadi siang lo bilang mau balik ke Menteng! Kenapa lo ada di kereta ke Yogya? Satu gerbong sama gue? Lo hantu ya?"

"Kalau gue hantu, gue bakal memilih tempat gentayangan yang lebih bagus dari gerbong kereta ini," jawab Aditya.

"Terus ngapain lo di sini?"

Aditya melipat majalahnya. "Kebetulan yang aneh, ya? Gue mau fisioterapi. Ada tabib tulang terkenal di Bantul. Spesialis cedera orang kaya. Gue harus ke sana malam ini juga."

Fajar menatapnya dengan tatapan 'lo pikir gue bego?'.

"Tabib tulang? Di Bantul? Naik kereta umum?" Fajar mendengus. "Bohong. Lo Pemegang Sabam Wiranagara, Dit. Lo bisa menerbangkan tabib itu ke Jakarta pake helikopter. Ngapain lo susah payah naik kereta?"

"Aku takut kau mati dimakan setan, Bodoh," batin Aditya.

"Gue cuma mau mastiin lo nggak mati konyol, Jar," jawab Aditya jujur. "Lo itu magnet masalah. Kalau gue nggak ikut, siapa yang bakal bayarin tebusan kalau lo diculik?"

"Cih. Gue bisa jaga diri," Fajar bersandar kembali, tapi bahunya terlihat rileks. Dia lega ada teman, meski gengsi mengakuinya.

Aditya kembali pura-pura membaca majalah. Tapi matanya tidak fokus pada teks. Matanya melirik ke pantulan kaca jendela yang gelap.

Ada yang salah.

Hawa di gerbong ini berubah. Menjadi lebih dingin. Lebih tajam.

Bulu kuduk Aditya berdiri. Bukan karena AC. Tapi karena sensasi menggelitik di tengkuknya—sensasi yang selalu muncul saat ada sesuatu yang ingin membunuhnya.

*"Hebat,"* keluh Aditya dalam hati. "Aku baru duduk satu jam. Bisakah aku dapat istirahat sebentar? Cuti membunuh monster? Tidak? Oke."

Dia memindai ruangan lewat pantulan kaca.

Tiga baris di belakang, ada Pria Bertopi Fedora. Dia memegang koran. Tapi dia tidak pernah membalik halamannya sejak 30 menit lalu. Matanya tidak membaca, tapi melirik tajam ke arah kursi Fajar.

Di depan, ada Ibu-ibu Merajut. Tapi jarum rajutnya dipegang dengan cara yang aneh—seperti memegang pisau tusuk.

Dan yang paling mencolok: Seorang Petugas Kebersihan pria yang berjalan mondar-mandir di lorong membawa pel.

Langkahnya terlalu ringan. Dia bertumpu pada ujung kaki. Tidak ada suara. Dan tangan kanannya mencengkeram gagang pel begitu kuat hingga uratnya menonjol.

Itu bukan petugas kebersihan. Itu pembunuh bayaran dengan kostum jelek.

Petugas itu semakin dekat. Tatapannya lurus ke arah leher Fajar.

*"Kenapa penjahat selalu menyerang di transportasi umum?"* batin Aditya lelah. "Kenapa tidak kirim WA ancaman saja? Lebih efisien. Lebih hemat darah."

Petugas itu sudah berjarak lima meter. Pria Fedora melipat korannya dan berdiri, memblokir jalan keluar.

Mereka terkepung.

"Fajar," panggil Aditya pelan, tanpa menoleh.

"Apa lagi? Mau pamer saham?"

"Jangan noleh ke belakang," suara Aditya berubah dingin dan tajam. "Tarik tas kamera lo ke pangkuan. Sekarang."

Petugas itu sudah sampai di samping kursi Fajar.

"Permisi, Pak. Sampahnya," kata petugas itu. Suaranya datar seperti mesin penjawab otomatis.

Aditya melihat kilatan logam di balik seragam petugas itu. Pisau lipat bergerigi.

Target terkunci: Leher Fajar.

"Ah, sial. Ini akan sakit," pikir Aditya pasrah.

"FAJAR, TUNDUK!"

Aditya menendang kaki sahabatnya sekuat tenaga.

1
Kustri
💪💪💪
👉👉👉
Santi Seminar
lanjutt
Kustri
sambil menyelam minum☕
Kustri
maju teros, ojo mundur Dit, kepalang tanggung, yakin!!!
Kustri
jgn lewatkan, ini karya👍👍👍
luar biasa!!!
Santi Seminar
suka ceritamu thor
Santi Seminar
jodoh kayaknya😍
Kustri
seh kepikiran wedok'an sg duel ro adit ng gudang tua... sopo yo thor, kawan po lawan🤔
tak kirimi☕semangat💪
Kustri
☕nggo pa tio sg meh begadang
💪💪💪thor
Kustri
hahaaa dpt😉 g bs tidur pa dosen
jodoh ya thor🤭
Kustri
apa kau tersepona hai wanita cantik...

makhluk luar angkasa, bukan makhluk halus🤭
Santi Seminar
wow
Kustri
oowh jembatan merah di mimpi adit ternyata di palembang
💪💪💪adit
Kustri
ckckckk... seru tenan!!!
Kustri
serius mocone deg"an
tp yakin sg bener tetep menang
Kustri
☕tak imbuhi dit💪
Kustri
☕ngopi sik dit, bn nambah kekuatanmu💪
Kustri
gempa lokal
was", deg"an, penasaran iki dadi 1
💪💪💪dit
Kustri
3 raksasa lawan 1 manusia...ngeri" sedap
jar, ojo lali kameramu di on ke
💪💪💪 dit
Kustri
pusaka legend sll ada💪
Daniel Wijaya: Betul banget Kak! Nusantara kita emang gudangnya pusaka sakti. Sayang kalau nggak diangkat jadi cerita! 🔥
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!