Niat hati ingin menghilangkan semua masalah dengan masuk ke gemerlap dunia malam, Azka Elza Argantara justru terjebak di dalam masalah yang semakin bertambah rumit dan membingungkan.
Kehilangan kesadaran membuat dirinya harus terbangun di atas ranjang yang sama dengan dosen favoritnya, Aira Velisha Mahadewi
Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua? Apakah hubungan mereka akan berubah akibat itu semua? Dan apakah mereka akan semakin bertambah dekat atau justru semakin jauh pada nantinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 11
Waktu menunjukkan pukul setengah delapan pagi, rona biru muda mulai mendominasi cakrawala, mengusir sisa-sisa cahaya keemasan yang sempat menghiasi angkasa.
Sang Surya mulai bergetar secara perlahan-lahan, memancarkan sinar hanya yang menerpa pepohonan pinggir jalan, gedung pencakar langit, serta wajah-wajah para pejalan kaki yang sedang terburu-buru ke tempat tujuan masing-masing pada pagi hari ini.
Gumpalan awan putih mengambang pelan layaknya sebuah kapas yang tengah diangkut oleh hembusan angin sepoi-sepoi, menambah kesan damai serta menenangkan bagi setiap penghuni ibu kota.
Sesekali, kicauan burung terdengar samar di antara deru kendaraan bermotor serta langkah-langkah tergeser para pejalan kaki yang sedang menyusuri jalanan trotoar. Ibu kota, meskipun ramai dan tidak pernah benar-benar sunyi, tetapi hari ini terasa sedikit lebih menenangkan daripada biasanya.
Meninggalkan suasana ibu kota yang sudah mulai kembali ke setelan semula, di dalam dapur sebuah ruangan apartemen, terlihat sosok Aira tengah sibuk memasak berbagai macam jenis makanan sambil bersenandung pelan—berusaha mengusir rasa sunyi serta sisa-sisa ingatan negatif yang masih mengendap di dalam tubuhnya.
Senyuman manis penuh kebahagiaan secara perlahan-lahan muncul di wajah cantik Aira, kala perempuan berparas cantik itu membayangkan wajah imut nan lucu para adiknya yang saat ini sedang tinggal di panti asuhan.
Membayangkan wajah-wajah mereka, membuat Aira semakin bersemangat menjalankan aktivitasnya sekarang—seolah hanya dengan itu saja sudah bisa membuat dirinya menjadi begitu sangat bersemangat dan melupakan segala hal berat yang menimpanya akhir-akhir ini.
“Aku yakin seratus persen … mereka akan seneng banget kalau aku datang sambil bawain makanan kesukaan mereka,” gumam Aira di sela aktivitas memasaknya, bahkan tanpa dirinya sadari kini kedua mata indahnya sudah berbinar-binar—pertanda dirinya benar-benar begitu sangat bersemangat serta bahagia.
Sekitar lima menit berlalu, Aira mengecilkan api pada kompor saat menyadari bahwa sebentar lagi salah satu makanan yang sedang dirinya masak akan segera matang. Ia mengambil sendok yang telah disiapkan, lalu mulai mencicipi makanan itu untuk memastikan bahwa rasanya sudah benar-benar sangat enak.
“Pas … ini bahkan lebih enak daripada masakanku sebelumnya. Semoga aja mereka benar-benar suka,” gumam Aira, sembari merekahkan senyuman manisnya hingga membuat mata indahnya hampir tertutup sempurna.
Aira kembali melanjutkan aktivitasnya, hingga tanpa sadar waktu berlalu sangat cepat—sudah hampir dua jam dirinya berkutat dengan peralatan masak. Ia menghela napas panjang penuh akan kelegaan, ketika melihat semua makanan yang telah dirinya masak tersusun sangat rapi di atas meja makan.
“Udah siap … tinggal bawa aja ke panti. Tapi ….” Aira mengangkat tangan kirinya, melihat jam pada smartwatch yang sedang dirinya kenakan. “Aku harus mandi dulu … udah hampir jam sepuluh … kemungkinan besar bisa sampai panti waktu jam makan siang.”
Setelah menggumamkan akan hal itu, Aira berbalik badan dan mulai melangkahkan kaki menuju ruangan kamarnya berada, sembari bersenandung kecil guna menghilangkan rasa sunyi yang sedang melandanya.
“Aku harap mereka benar-benar suka sama makanan yang udah aku masak … semoga aja.”
•••
“Macet banget … bisa sampai tepat waktu nggak, ya? … Aaa … kenapa jadi kayak gini, sih? Biasanya jalan ini nggak pernah macet, loh, sebelumnya … tapi kenapa sekarang justru macet parah … bahkan nggak gerak sama sekali dari tadi?”
Aira menggigit bibir bawahnya cukup kencang saat melihat banyak sekali kendaraan yang berada di sekitarnya sekarang. Ia mengeratkan cengkeraman pada setir mobilnya, tetapi itu tidak berlangsung lama, lantaran dirinya sesegera mungkin mengalihkan pandangan ke arah smartwatch yang sedang ia kenakan—melihat serta menghitung waktu yang tersisa sebelum jam makan siang tiba.
“Aku cuma punya waktu kurang dari empat puluh lima menit … sedangkan jarak ke pantai dari tempat ini kalau nggak macet seharusnya cuma dua puluh lima menit … bisa nggak, ya? Ayo, lah, cepatan, dong, macetnya,” gumam Aira, kembali menatap ke arah depan seraya menyingkirkan serta menyelipkan beberapa helai rambut panjangnya yang sedikit menutupi indera penglihatan ke belakang telinga kanan.
Beberapa menit berlalu, Aira di dalam hati terus-menerus berdoa agar sesegera mungkin terbebas dari kemacetan yang sedang menimpanya sekarang, hingga pada akhirnya dirinya pelan-pelan mulai bisa menghela napas lega sambil mengukir senyuman tipis, ketika kendaraan di sekitarnya sudah mulai kembali berjalan dengan kecepatan sedang.
“Akhirnya jalan juga, terima kasih, Tuhan,” batin Aira, mulai ikut menjalankan mobil miliknya dengan kecepatan rata-rata.
Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama, lantaran Aira bergegas membelokkan mobil ke arah kanan dan mulai menambah kecepatan—ketika melihat jalanan di sana begitu sangat lengang. Ia menghela napas penuh akan kelegaan sambil mulai merekahkan senyumannya—di dalam hati terus-menerus memanjatkan rasa terimakasih kepada sang pencipta.
Menit demi menit berlalu, atensi Aira seketika teralihkan saat tiba-tiba saja mendengar suara dering handphone miliknya berbunyi. Ia menoleh ke arah kiri, lalu segera mengambil benda pipih itu dari belakang persneling guna melihat sosok seseorang yang sedang berusaha untuk menghubunginya pada siang hari ini.
Aira bergegas mengangkat panggilan telepon itu saat membaca nama ‘Madam Cassandra’ di dalam layar handphone-nya. Ia menempelkan handphone ke telinga kanan, agar mendengar suara seorang perempuan yang begitu sangat dirinya kenali dari dalam sana.
“Halo, Mami … ada apa?” sapa dan tanya Aira dengan suara begitu sangat lembut, saat panggilan telepon baru saja terhubung.
“Hai juga, Rara … kamu lagi apa sekarang? Maaf, ya, Mami ganggu waktu kamu,” sapa dan tanya balik Cassandra dari seberang telepon sana, suaranya tidak kalah lembut dari Aira—tetapi terdengar sarat akan makna.
Aira diam sejenak, menurunkan kecepatan mobil dan membelokkan kendaraan roda empat miliknya itu ke arah kiri, sebelum kembali membuka suara untuk memberikan jawaban. “Nggak lagi apa-apa, kok, Mami. Aku cuma lagi dalam perjalanan ke panti aja … mau ketemu sama adik-adik yang ada di sana. Kenapa, ya, Mi?”
Sejenak, terdengar suara hembusan napas pelan dari seberang telepon sana, seolah Cassandra sedang menimbang sesuatu sebelum pada akhirnya kembali membuka suara.
“Itu, Ra … kamu nanti malam bisa datang ke bar nggak? Soalnya ada yang mau Mami bicarain ke kamu dan yang lain.”
Aira terdiam beberapa detik, sembari mulai mengerutkan kening sempurna saat mendengar pertanyaan yang telah dilontarkan oleh atasannya itu. “Ada apa, ya, Mi? Nanti malam, kan, bukan jadwal aku kerja.”
“Ada sesuatu yang benar-benar penting, Ra … Mami nggak bisa jelasin lewat telepon. Kalau kamu bisa … Mami minta nanti malam kamu datang, ya … biar semuanya jelas,” kata Cassandra, suaranya terdengar lebih serius daripada sebelumnya.
Aira kembali terdiam, seolah sedang memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi nanti malam. “Kalau memang penting, aku bakalan datang, Mi. Jam berapa?”
“Jam delapan malam. Datangnya santai saja, nggak perlu pakai kostum kerja. Yang penting kamu hadir.”
Aira mengangguk pelan, meskipun Cassandra tidak dapat melihat gerakan itu. “Baik, Mami. Aku usahain datang tepat waktu.”
“Terima kasih, sayang. Sampai nanti malam.”
Setelah mengatakan hal itu, panggilan telepon pada akhirnya terputus, membuat Aira segera menjauhkan handphone dari telinga kanannya dan menaruh kembali benda pipih itu ke tempat semula.
“Semoga aja bukan sesuatu yang buruk. Biar aku juga bisa ngajuin resign karena udah nggak punya alasan kuat buat bertahan di dunia malam yang menjijikan ini … Ya, semoga aja … dan semoga aja mami bisa ngertiin keputusanku ini,” gumam Aira, mencengkeram setir mobil dengan begitu sangat erat dan mulai mempercepat kecepatan kendaraan roda dua miliknya itu agar sesegera mungkin sampai di panti asuhan.