NovelToon NovelToon
Seribu Hari Mengulang Waktu

Seribu Hari Mengulang Waktu

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Time Travel / Sistem / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Kelahiran kembali menjadi kuat
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Aplolyn

"Tuan Putri, maaf.. saya hanya memberikan pesan terakhir dari Putra Mahkota untuk anda"
Pria di depan Camilla memberikan sebilah belati dengan lambang kerajaan yang ujungnya terlihat begitu tajam.
.
"Apa katanya?" Tanya Camilla yang tangannya sudah bebas dari ikatan yang beberapa hari belakangan ini telah membelenggunya.
"Putra Mahkota Arthur berpesan, 'biarkan dia memilih, meminum racun di depan banyak orang, atau meninggal sendiri di dalam sel' "
.
Camilla tertawa sedih sebelum mengambil belati itu, kemudian dia berkata, "jika ada kehidupan kedua, aku bersumpah akan membiarkan Arthur mati di tangan Annette!"
Pria di depannya bingung dengan maksud perkataan Camilla.
"Tunggu! Apa maksud anda?"
.
Camilla tidak peduli, detik itu juga dia menusuk begitu dalam pada bagian dada sebelah kiri tepat dimana jantungnya berada, pada helaan nafas terakhirnya, dia ingat bagaimana keluarga Annette berencana untuk membunuh Arthur.
"Ya.. lain kali aku akan membiarkannya.."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

~ Bab 11

“Yang Mulia!”

Aiden tiba di istana Putra Mahkota sekitar tengah hari, saat matahari berada di puncaknya, menyebarkan kehangatan yang menenangkan ke segala arah.

Meskipun para pelayan berusaha menghentikannya, Aiden tetap membuka pintu dan langsung marah melihat Arthur bersantai di dekat jendela, berjemur di bawah sinar matahari.

Ia menghentakkan kaki mendekat, langkah kakinya bergema keras. Sementara itu, Arthur tetap terkapar di sofa, lengan disilangkan dan kaki direntangkan santai.

Rambut pirang platinanya, yang tergerai di atas sandaran tangan kayu yang keras, berkilauan cemerlang di bawah sinar matahari. Sekeras apa pun ia bertingkah seperti penjahat, sifat mulianya tak pernah pudar.

"Bukankah ini keterlaluan? Apa kau masih berpikir kau sedang di tengah pesta? Bagaimana kau bisa bermalas-malasan seperti ini tanpa beban?"

"Bermalas-malasan? Berani sekali kau, Tuan Damor."

Arthur berpura-pura tegas, tetapi senyum mengembang di wajahnya saat menatap sahabat lamanya. Postur tubuhnya yang santai di sofa beludru panjang tetap tidak berubah.

"Yang Mulia, disiplin para ksatria runtuh karena Anda belum menunjukkan wajah Anda. Saya mengatakan ini karena khawatir."

"Setahu saya, Anda Komandan Ksatria, bukan saya. Bukankah Yang Mulia sendiri yang mengangkat Anda? Apakah Anda sudah lupa?"

"Kamu beneran nggak mau datang ke tempat latihan? Kamu mau berapa lama nggak datang?"

Aiden Damor hanya ingin Arthur keluar dari zona bimbang dimana dia masih tidak menerima keputusan bahwa Camilla telah menjadi tunangannya padahal dia memilih Annette.

"Kamu agak memaksa. Aku bilang aku butuh waktu untuk menenangkan pikiranku, kan?" Jawab Arthur dengan tenang

"Sementara kau seperti ini, Ibu Suri pasti sedang sibuk merencanakan hal lain bersama Camilla, Oh ya.. kenapa juga kau menawarkan untuk mengajarinya memegang pedang padahal kau tidak berada di pihaknya?"

Arthur terkekeh mendengar ucapan tak sopan itu. Saat hanya berdua, mereka tak pernah repot-repot dengan formalitas.

Terkadang mereka bahkan menghilangkan sebutan kehormatan atau berbicara santai. Memanggil Arthur dengan nama depannya saja sudah menunjukkan bahwa Aiden benar-benar kesal.

Aiden adalah satu-satunya orang yang bisa dipercayai Arhur. Mereka adalah saudara sekandung, sahabat seumur hidup, dan kawan yang telah melewati hidup dan mati bersama.

Meski begitu, Aiden juga adalah teman masa kecil Camilla, jadi saran dan pertanyaannya juga ada di dua sisi, antara mendukung Arthur atau Camilla.

"Wanita itu sangat ambisius bukan? Kudengar ayahnya sudah mengajari prinsip-prinsip monarki padanya"

“Wah, dia benar-benar bertekad.”

Aiden bereaksi seolah-olah itu masalahnya sendiri, terengah-engah.

“Apakah dia benar-benar mengerti konsep yang sulit seperti itu?”

"Yah, kudengar dia kesulitan dengan pelajaran dasar, tapi kita harus menunggu dan melihat apakah rumor itu benar. Kurasa anak itu cukup pintar."

Arthur mengelus dagunya yang tajam, mata panjangnya sedikit menyipit saat dia mengingat sikap Camilla.

Anak yang cerdas dan tanggap, yang bertingkah bodoh di depan orang lain. Kepribadiannya yang mudah tersinggung memang terlihat jelas, tetapi ia selalu tampak penurut di depan Arthur.

Menurutnya, jika dia dipengaruhi oleh Ibu Suri, dia tidak akan bertindak seperti itu. Untuk mengetahui niatnya yang sebenarnya, mereka harus mengamatinya dengan saksama.

“Ngomong-ngomong, bagaimana kabar Annette?”

"Dia baik-baik saja, menghabiskan waktu bersama ibunya, namun sepertinya ibunya ingin mengenalkannya kepada teman-teman seusianya, tetapi lingkaran sosialnya sudah ramai dengan rumor, jadi suasananya tidak menyenangkan."

Arthur hanya menganggukkan kepalanya.

***

Keesokan paginya, aula pertemuan besar dipenuhi keluarga kekaisaran dan para bangsawan senior. Mereka berkumpul untuk menikmati minuman ringan sambil berdiskusi ringan tentang perkembangan terkini kekaisaran.

Di antara mereka yang hadir adalah Putra Mahkota dan Camilla. Berbeda dengan para bangsawan yang duduk mengelilingi meja setengah lingkaran, mereka berdua duduk di kursi kehormatan yang tinggi.

Adapun alasan mereka duduk berdampingan adalah keinginan Ibu Suri, dia bertekad untuk menampilkan Camilla yang setara dengan Putra Mahkota.

Camilla sendiri, di sisi lain, bersikap acuh tak acuh. Ia duduk di sana dengan ekspresi bosan, hanya memperhatikan hidangan penutup di hadapannya.

Ia menekan buah rasberi dengan garpu kecil, memeras sarinya seolah sedang bermain-main dengan makanannya. Tatapan tajam menyorot pipinya sebagai peringatan. Berpura-pura tidak menyadari tatapan tajam Ibu Suri, Camilla hanya mengambil sepotong pai bernoda merah dan menggigitnya.

Aroma manis tercium di aula pertemuan, melembutkan suasana. Lelucon ringan dan diskusi tentang perkembangan terkini keluarga kekaisaran pun mulai mengalir.

“Yang Mulia, bukankah Yang Mulia Putra Mahkota seharusnya mulai mempertimbangkan pernikahan?”

Pertanyaan itu meluncur dengan tenang, seolah-olah yang mengucapkannya tidak bermaksud menekan, namun semua yang hadir tahu bahwa setiap kata dari bibir bangsawan senior membawa maksud yang dalam.

Aula pertemuan mendadak terasa sedikit lebih dingin. Bisik-bisik kecil berhenti, gelas anggur yang hampir disentuhkan ke bibir pun tertahan di udara. Semua orang menoleh ke arah kursi kehormatan, menunggu jawaban.

Arthur, sang Putra Mahkota, tidak serta-merta menanggapi. Ia hanya duduk dengan tubuh sedikit condong ke sandaran kursi, tangan kanannya bertumpu pada gagang kursi emas yang diukir indah. Tatapannya malas, seperti sedang mengukur apakah pertanyaan itu pantas dijawab atau hanya dibuang ke udara.

Di sampingnya, Camilla diam. Ia menurunkan garpu kecilnya, tapi tidak menoleh. Mulutnya masih terasa manis dari pai raspberry, namun lidahnya seolah membeku. Ia tahu, jawaban Arthur akan menjadi bahan pembicaraan panjang di luar ruangan ini.

Arthur akhirnya bergerak. Ia menegakkan tubuhnya, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis, bukan senyum ramah, melainkan senyum yang menusuk, sinis, dan membuat dada para bangsawan terasa ditekan.

“Pernikahan, ya?” suaranya rendah, namun bergema jelas di aula yang tenang. “Sungguh topik yang menarik. Tampaknya, di antara berbagai permasalahan kekaisaran seperti keuangan, perbatasan, pasukan, hingga ancaman luar negeri yang paling mendesak bagi kalian adalah.. pernikahan saya.”

Ia berhenti sebentar, membiarkan ucapannya bergulir di kepala semua orang. Beberapa bangsawan menunduk, pura-pura menyesap teh untuk menutupi kegugupan mereka.

Arthur melanjutkan, nada suaranya mengandung ejekan halus.

“Apakah kalian percaya bahwa cincin kawin di jari saya akan otomatis memperkuat perbatasan timur yang terus diganggu suku barbar? Atau mungkin, gaun pengantin calon permaisuri akan membuat kas negara mendadak penuh kembali?”

Tawa kecut terdengar dari beberapa bangsawan muda, sementara para tetua hanya menahan diri. Mereka tidak berani menanggapi, sebab setiap kata Arthur mengandung sindiran tajam.

Camilla menoleh sekilas pada Arthur. Matanya membesar sesaat, terkejut oleh cara Putra Mahkota menjawab, namun cepat-cepat ia menunduk, pura-pura sibuk dengan serbetnya. Dalam hati, ia mengakui: jawaban Arthur memang kejam, tetapi menakjubkan.

Ibu Suri yang duduk di kursi kehormatan bagian depan, di sisi lain aula, menggenggam cangkir porselen dengan erat. Matanya menatap tajam ke arah putranya. Namun, meski tatapannya menusuk, Arthur tetap tidak menunjukkan tanda-tanda terintimidasi.

“Namun,” Arthur menambahkan, kali ini nadanya sedikit lebih ringan, seolah-olah ia menyadari semua pasang mata sedang menatapnya, “jika kalian ingin tahu pendapat saya tentang pernikahan.. tentu saja, itu adalah hal penting. Sangat penting.”

Beberapa orang menghela napas lega, berharap ia akan berbalik menjawab dengan serius. Tapi kemudian Arthur mencondongkan tubuhnya sedikit, jemarinya mengetuk pelan permukaan meja, dan matanya melirik sekilas ke arah Camilla sebelum kembali menatap para bangsawan.

“Pernikahan adalah alat politik. Tidak lebih, tidak kurang. Dan, sebagaimana alat lainnya, ia harus digunakan pada waktu yang tepat. Hanya orang bodoh yang memaksa seorang prajurit menebang pohon dengan pedang di tengah medan perang. Sama halnya, hanya orang bodoh pula yang mengira bahwa menikah sekarang, di tengah situasi kekaisaran yang rapuh, akan membawa kebaikan.”

Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Kata-kata Putra Mahkota itu menampar dengan halus, namun menyakitkan.

Seorang bangsawan senior, wajahnya memerah, mencoba tersenyum kaku.

“Yang Mulia tentu benar. Namun, bukankah dengan adanya seorang permaisuri, stabilitas batin dan citra publik akan semakin kokoh? Rakyat mendambakan sosok permaisuri di sisi Yang Mulia.”

Arthur memutar bola matanya dengan lemah. Ia menatap pria itu, lalu menjawab dengan suara datar.

"Rakyat mendambakan perut mereka kenyang dan rumah mereka aman dari serangan bandit. Rakyat tidak peduli siapa yang duduk di samping saya. Jangan menipu diri sendiri dengan alasan indah yang hanya memuaskan ambisi pribadi kalian."

Ucapan itu membuat wajah bangsawan tersebut semakin memerah. Beberapa tamu lain mencoba menahan tawa kecil di balik kipas atau tangan mereka.

Camilla, yang sejak tadi berusaha menjaga sikap tenang, merasakan jantungnya berdebar keras. Tatapan sekilas Arthur sebelumnya masih terngiang di kepalanya. Apakah Putra Mahkota baru saja menyinggung posisinya secara halus di sampingnya? Atau itu hanya kebetulan?

Arthur bersandar kembali, kali ini terlihat sangat santai.

"Lagipula..” ia melanjutkan, menatap langsung ke arah para bangsawan yang duduk berderet, “..jika kalian semua begitu peduli dengan pernikahan saya, mungkin sebaiknya kalian lebih dulu memastikan bahwa calon permaisuri yang kalian dambakan benar-benar layak.”

Nada suaranya menurun, tetapi tekanan di balik kata “layak” membuat semua orang kembali terdiam.

Camilla menggigit bibir bawahnya. Ia tahu kata-kata itu bisa ditafsirkan ke arahnya. Bagaimanapun, kehadirannya di kursi kehormatan hari ini jelas dimaksudkan untuk memamerkan posisinya sebagai tunangan resmi Putra Mahkota. Ibu Suri pasti ingin meneguhkan statusnya di hadapan seluruh bangsawan.

Namun, dengan satu kalimat singkat, Arthur mengubah panggung itu menjadi arena ujian.

Ibu Suri menegakkan tubuhnya, suaranya terdengar tenang meski nadanya penuh tekanan.

“Arthur.”

Semua orang tersentak kecil mendengar nama itu diucapkan tanpa gelar. Hanya permaisuri yang berani melakukannya.

“Pernikahanmu bukan sekadar urusan pribadi. Itu adalah kewajiban sebagai Putra Mahkota. Kau tidak boleh menundanya hanya karena alasan..”

“Alasan pribadi?” Arthur memotong, nada suaranya tetap santai namun matanya menajam. “Saya baru saja menjelaskan pada semua yang hadir bahwa saya menunda pernikahan demi kepentingan kekaisaran. Jika ada yang tidak memahami, maka saya khawatir masalahnya bukan pada penjelasan saya.. melainkan pada telinga mereka.”

Beberapa bangsawan menunduk lebih dalam. Ibu Suri menahan diri, jemari di pangkuannya mengencang. Camilla, meski ikut tegang, hampir ingin tertawa melihat keberanian Arthur menantang ibunya sendiri di hadapan semua orang.

Arthur kemudian bangkit perlahan dari kursinya. Gerakannya anggun namun penuh wibawa, membuat semua mata mengikuti setiap langkahnya. Ia mengangkat cangkir anggur, meneguk sedikit, lalu menaruhnya kembali di meja.

“Jika kalian semua datang ke sini untuk membicarakan pernikahan saya, maka izinkan saya mengingatkan.. saya belum menjadi Kaisar. Saya masih Putra Mahkota. Tugas saya adalah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan, bukan sibuk menata pesta.”

Senyum sinis kembali muncul di bibirnya.

“Ketika saatnya tiba, saya akan menikah. Dan ketika saya melakukannya, itu bukan demi menyenangkan kalian… melainkan demi kekaisaran.”

Dengan itu, ia menundukkan kepalanya sedikit, lalu kembali duduk seolah tidak terjadi apa-apa.

Suasana aula kini campur aduk, beberapa orang terlihat kagum, beberapa jelas tersinggung, sementara yang lain hanya mencoba menyembunyikan keterkejutan mereka.

Camilla merasakan dirinya terseret dalam pusaran emosi yang sulit dijelaskan. Di satu sisi, ia kagum dengan ketegasan Arthur. Di sisi lain, ia sadar betul bahwa posisinya belum sepenuhnya aman.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!