Alya, gadis sederhana dan salehah yang dijodohkan dengan Arga, lelaki kaya raya, arogan, dan tak mengenal Tuhan.
Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena perjanjian bisnis dua keluarga besar.
Bagi Arga, wanita berhijab seperti Alya hanyalah simbol kaku yang menjemukan.
Namun bagi Alya, suaminya adalah ladang ujian, tempatnya belajar sabar, ikhlas, dan tawakal.
Hingga satu hari, ketika kesabaran Alya mulai retak, Arga justru merasakan kehilangan yang tak pernah ia pahami.
Dalam perjalanan panjang penuh luka dan doa, dua hati yang bertolak belakang itu akhirnya belajar satu hal:
bahwa cinta sejati lahir bukan dari kata manis… tapi dari iman yang bertahan di tengah ujian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ricca Rosmalinda26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Izin yang Menyisakan Sepi
Dua minggu setelah pembicaraan pagi itu, suasana rumah Arga dan Alya perlahan berubah. Arga akhirnya mengizinkan Alya bekerja di panti sosial meski dengan nada datar, tanpa ekspresi, seolah izin itu hanya sekadar formalitas.
“Kalau memang itu yang lo mau, silahkan, meskipun gue merasa lo harus izin. Apapun itu, lakuin yang lo mau.” katanya suatu malam sambil merapikan jasnya di depan cermin.
Alya menatapnya dengan mata berbinar. “Terima kasih, Mas. Insya Allah aku akan tetap mengurus rumah dan Mas seperti biasa.”
“Lakukan sesuka lo,” balas Arga tanpa menoleh.
Hanya itu. Tidak ada senyum, tidak ada nasihat, tidak ada tanda restu yang tulus. Tapi bagi Alya, cukup. Izin itu terasa seperti keajaiban kecil.
Esok paginya, Alya berangkat ke panti sosial. Ia mengenakan gamis sederhana berwarna pastel dan jilbab yang tersemat rapi. Ia berpamitan dengan senyum hangat kepada Mbok Darmi dan sopir keluarga.
“Titip salam untuk anak-anak di sana, Non,” kata Mbok Darmi.
Alya mengangguk. “Insya Allah, Mbok.”
Namun, dari lantai atas, Arga melihat semua itu dari jendela kamarnya.
Tangannya menggenggam cangkir kopi, tapi pikirannya jauh.
Ia melihat Alya naik mobil dengan wajah cerah, penuh semangat.
---
Hari-hari berikutnya berjalan cepat.
Alya kini lebih sering beraktivitas di luar rumah. Ia ikut mengurus kegiatan sosial, mengajar mengaji anak-anak yatim, dan membantu administrasi panti.
Waktunya di rumah semakin sedikit. Ia tetap berusaha mengatur segalanya, menyiapkan makanan sebelum berangkat, membersihkan rumah semampunya, bahkan menulis pesan singkat untuk Arga setiap pagi.
“Mas, sarapannya sudah Alya siapkan di meja makan.”
“Mas, hari ini Alya pulang agak sore karena ada kegiatan tambahan.”
“Mas, semoga harimu lancar. Jangan lupa makan ya.”
Pesan-pesan itu selalu dikirim dengan doa kecil di akhir.
Namun, tak satu pun mendapat balasan.
Arga membaca semuanya, ia memang tidak menghapusnya, tapi ia tidak pernah menjawab.
Setiap kali notifikasi masuk, matanya secara refleks melihat nama “Alya”, namun jari-jarinya berhenti di layar.
Ia memilih mematikan layar ponselnya, berpura-pura tak peduli.
“Dia sibuk dengan dunianya sendiri,” gumam Arga suatu malam sambil menatap kosong meja makan yang sepi.
Di hadapannya, sepiring makan malam sudah disiapkan Mbok Darmi.
---
Di kantor, Arga terlihat lebih diam dari biasanya.
Ia mulai datang pagi, pulang malam, kadang menginap. Namun diam-diam, setiap kali lewat sore hari, ia membuka ponsel hanya untuk memastikan Alya sudah pulang atau belum.
Dan hampir setiap kali, pesan terakhir dari Alya adalah,
“Mas, maaf aku belum bisa pulang. Ada acara pembagian sembako malam ini.”
Arga mendengus kesal.
Dia pikir jadi orang baik itu harus selalu di luar rumah? batinnya sinis.
Namun entah mengapa, sinisme itu terdengar seperti pembelaan terhadap dirinya sendiri.
Suatu sore, Bima menghampirinya di ruang kerja.
“Bro, lo kelihatan murung beberapa hari ini,” katanya santai.
Arga menatap layar komputernya. “Gue cuma capek.”
“Capek… yakin? Bukan karena istri lo?”
“Ngaco.”
Bima tertawa. “Jujur aja, bro. Kalau dia sibuk di luar, berarti dia lagi beneran sibuk, bukan cari perhatian. lo yang terlalu egois aja.”
Arga diam.
Bima menepuk bahunya. “Jangan nunggu dia menjauh dulu baru sadar kalau lo butuh dia.”
Arga hanya menatap gelas kopinya lama. Tidak menjawab.
---
Malam itu, ketika Arga pulang, rumah gelap.
Hanya lampu kecil di ruang tamu yang menyala, dan Mbok Darmi sudah tertidur di kamarnya.
Ia menatap sekeliling rumah yang kini terasa terlalu sepi.
Biasanya, Alya akan menunggu, entah sedang membaca Al-Qur’an, atau bahkan ketiduran. Tapi kini, tak ada siapa-siapa.
Arga masuk ke dapur.
Di atas meja, ada catatan kecil di atas tudung saji:
“Mas Arga, Alya harus menginap di panti malam ini. Ada beberapa anak yang sakit dan butuh dijaga. Maaf, Alya tidak bisa menunggu Mas pulang. Semoga Mas makan dengan lahap. -Alya”
Arga membaca tulisan itu pelan. Tulisan tangan Alya yang rapi dan lembut.
Ia menarik napas panjang, lalu pergi ke kamarnya.
---
Sementara di tempat lain, udara malam terasa lembap, aroma minyak kayu putih samar tercium di udara.
Lampu-lampu redup di lorong panti menyisakan cahaya hangat yang menenangkan. Di dalam satu kamar kecil berisi tiga tempat tidur, Alya duduk di tepi ranjang seorang anak laki-laki berusia sekitar enam tahun. Dahi anak itu masih terasa hangat.
“Masih sakit kepalanya, Sayang?” tanya Alya pelan sambil mengusap lembut rambut anak itu.
Anak itu menggeleng pelan, matanya setengah tertutup. “Udah mendingan, Kak…”
Alya tersenyum, mengambil kain basah dari baskom kecil di meja. “Bentar ya, kakak ganti kompresnya dulu.”
Suara kipas angin berdengung halus menemani kesunyian malam.
Anak-anak lain sudah terlelap. Hanya beberapa yang masih sesekali batuk kecil.
Alya berjalan perlahan dari satu ranjang ke ranjang lain, memastikan selimut mereka terpasang rapi.
Setiap langkahnya terasa ringan, tapi penuh makna.
Di tempat sederhana ini, ia menemukan kedamaian yang tak bisa ia temukan di rumah besarnya.
Hanya tawa anak-anak dan doa kecil yang membuat hatinya tenang.
Ia menatap seorang gadis kecil yang tidur sambil menggenggam boneka lusuh. Senyum kecil muncul di bibir Alya.
Alya duduk di lantai, membuka mushaf kecil yang selalu ia bawa di tas.
Ia membaca pelan, suaranya nyaris seperti bisikan.
“Barang siapa menolong seorang mukmin dalam kesusahannya di dunia, maka Allah akan menolongnya dalam kesusahannya di hari kiamat.”
(HR. Muslim)
Suara ayat itu membuat hatinya bergetar. Ia merasa dekat sekali dengan Allah malam itu.
Seolah semua kesepian dan dinginnya rumah besar yang ia tinggalkan tadi pagi larut bersama ayat-ayat yang ia lantunkan.
Tiba-tiba, suara kecil memanggilnya dari ranjang.
“Kak Alya…”
Alya segera mendekat. “Iya, Sayang, kenapa?”
“Aku kangen ibu…” kata anak itu pelan, hampir berbisik.
Alya terdiam sejenak, lalu mengusap lembut pipinya. “Doain aja, ya. Kalau kamu jadi anak baik, Allah pasti jaga ibumu di tempat terbaik.”
Anak itu mengangguk kecil, lalu menutup matanya lagi.
Alya menatap wajah anak itu lama. Air matanya menetes tanpa ia sadari.
Malam semakin larut. Hanya ada suara jangkrik di luar jendela dan nafas anak-anak yang tenang.
Alya merapatkan syalnya, menatap langit-langit panti sambil berdoa dalam hati.
“Jika sabar ini adalah jalan menuju ridha-Mu, maka jangan biarkan aku lelah di tengah jalan.”
---
Keesokan harinya, Alya pulang pagi. Ia langsung ke dapur, menyiapkan sarapan, dan menata meja dengan hati-hati.
Ketika Arga turun dari kamar, mereka hanya bertukar sapaan singkat.
“Selamat pagi, Mas,” ujar Alya lembut.
Arga menatapnya cepat lalu menjawab dingin, “Pagi.”
Ia makan tanpa bicara.
Namun sesekali, matanya melirik Alya yang tampak lelah. Wajahnya sedikit pucat, tapi senyum tetap tersungging setiap kali Mbok Darmi bicara.
“Mas, nanti malam Alya izin lagi, ya. Ada anak panti yang baru datang, butuh penyesuaian.”
Arga menghentikan sendoknya. “Lo sekarang lebih sering di luar daripada di rumah.”
Alya menunduk. “Alya minta maaf, Mas. Insya Allah semua urusan rumah tetap Alya perhatikan.”
“Perhatikan?” Arga tertawa kecil tapi terdengar dingin. “Rumah ini bahkan sepi kayak kuburan tiap malam.”
Alya terdiam.
“Sudahlah,” kata Arga akhirnya. Ia bangkit dari kursinya. “Lakukan sesuka lo aja. Gue nggak peduli.”
Namun setelah berkata begitu, Arga keluar rumah dengan dada yang justru terasa berat.
Ia menyalakan mobil, tapi enggan melaju. Matanya menatap cermin tengah, menatap bayangan Alya di dalam rumah.
“Kenapa gue bilang begitu?” bisiknya pelan.
---
Malam harinya, ketika Alya kembali, rumah sudah gelap lagi.
Ia melihat meja makan kosong, lalu melangkah perlahan ke kamarnya.
Namun sebelum masuk, matanya menangkap sesuatu di meja ruang tamu, jas Arga yang terlipat rapi dengan catatan kecil di atasnya.
“Gak usah masak makan malam. Gue udah pulang & udah makan.”
Alya tersenyum samar. Ia tahu Arga tidak akan menulis itu sendiri, mungkin Mbok Darmi yang menyampaikannya, tapi tetap saja, ada rasa hangat kecil di dadanya.
Ia duduk di tepi ranjang, menatap foto pernikahan mereka di nakas kecil.
“Mas Arga mungkin belum siap,” katanya lirih. “Tapi aku akan tetap sabar. Karena sabar bukan diam tanpa rasa, tapi bertahan dengan doa.”
Dan di balkon sana, di dalam kamarnya, Arga menatap cahaya kamar Alya yang samar dari sudut matanya.
Ia menyalakan rokok, tapi sebelum sempat mengisapnya, ia mematikan lagi.
Entah kenapa, malam itu ia hanya ingin duduk di situ, menatap langit malam.
aku aja klo ngomong diceramahi emosi apalagi modelan arga 🤣🤣