Cantika yang bekerja sebagai kurir harus menerima pernikahan dengan yoga Pradipta hanya karena ia mengirim barang pesanan ke alamat yang salah .
Apakah pernikahan dadakan Cantika akan bahagia ??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjay22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelukan yoga
Pelukan itu terasa seperti mengisi ulang baterai Cantika yang sudah lama soak. Aroma cologne Yoga, detak jantungnya yang stabil di telinga, dan tangan suaminya yang mengusap punggungnya,semuanya terasa seperti rumah. Itu adalah jenis kedamaian yang tak dia rasakan sejak pertama kali menginjakkan kaki di rumah keluarga Pradipta.
“Udah enakan?” tanya Yoga lembut, sedikit melonggarkan pelukan tapi masih menahan Cantika.
Cantika mendongak, wajahnya masih sedikit sembab tapi kini dihiasi senyum tipis. “Udah, Mas. Jauh lebih baik. Maaf ya, aku cengeng banget.”
Yoga menggeleng. Ia menyentuh lembut pipi Cantika yang bengkak. “Nggak apa-apa. Kamu manusia, bukan robot. Lagipula, aku yang harusnya lebih peka. Tahu kamu nggak nyaman sama situasi di sini, tapi aku malah sibuk sendiri.”
“Aku juga nggak enak, Mas. Mama jadi ikut khawatir, padahal aku yang nggak bisa menyesuaikan diri.”
Yoga menarik Cantika untuk duduk di tepi ranjang. Ia menggenggam kedua tangan istrinya. Tatapannya serius, tapi hangat.
“Dengar baik-baik, Cantika. Soal Mama… beliau memang seperti itu. Standarnya tinggi. Aku dan Papa sudah terbiasa. Tapi kamu… kamu datang tiba-tiba. Pernikahan kita bukan seperti pernikahan lain. Kita menikah dadakan karena kamu salah alamat. Kita bahkan belum benar-benar saling mengenal satu sama lain, dan tiba-tiba kamu harus menghadapi pressure setinggi ini.”
Cantika menggigit bibir bawahnya. Kata-kata "menikah dadakan karena salah alamat" selalu terasa seperti cambuk kecil di hatinya, mengingatkannya pada akar dari segala kekacauan ini.
“Aku tahu, Mas. Aku selalu ingat itu,” lirihnya.
Yoga mengusap ibu jari di punggung tangan Cantika. “Nah, justru karena itu. Aku nggak mau kamu merasa harus membayar kesalahanku. Kamu ada di sini karena kita menikah. Titik. Status kamu bukan 'korban salah alamat', tapi istri.”
Mata Cantika berkaca-kaca lagi. Kata-kata itu, sederhana tapi sangat menguatkan, datang dari orang yang selama ini dia takuti akan meninggalkannya.
“Terima kasih, Mas.”
“Sama-sama. Sekarang, kita bahas next step-nya.” Yoga menegakkan punggung.
“Mama sudah bicara sama kamu, kan? Beliau kayaknya mulai melunak.”
Cantika mengangguk semangat. “Iya, Mas! Aku kaget banget. Mama bilang dia sadar kalau dia terlalu keras dan aku kelelahan. Terus, Mama bilang kita harus selesaikan masalah kita sendiri.”
Yoga tersenyum lega. “Itu bagus. Itu kemajuan besar. Sejak dulu, Mama itu tembok yang sulit ditembus. Kalau beliau sudah mengakui salah, itu artinya separuh masalah kita sama Mama sudah selesai.”
“Separuh?”
“Iya. Karena kita tahu, Mama tetaplah Mama dengan standar tingginya,” kekeh Yoga. “Tapi setidaknya, sekarang kita tahu kita punya celah. Kita nggak perlu pura-pura di depan Mama. Kita bisa kompak.”
Kata 'kompak' itu membuat Cantika merasa ada sekutu di rumah ini.
“Jadi, apa yang harus kita lakukan, Mas?”
“Pertama, kamu nggak boleh lagi memaksakan diri sampai sakit. Istirahat cukup. Kedua, kalau ada permintaan dari Mama yang menurutmu terlalu berat, kita bicarakan dulu. Jangan langsung iya. Kita cari solusi bersama, gimana cara menolaknya halus, atau kalau memang harus dilakukan, kita lakukan berdua.”
Cantika memegang tangan Yoga lebih erat. “Kita hadapi ini berdua?”
“Tentu saja, Cantika. Aku suamimu. Aku bertanggung jawab atas kamu, dan pernikahan kita. Kita tim.”
Rasa beban di dada Cantika perlahan menguap. Rasanya seperti baru saja lolos dari jurang sendirian, dan kini ada tali kuat yang dipegang erat oleh suaminya.
“Aku janji, nggak akan cengeng lagi,” katanya, mencoba bercanda.
“Jangan janji gitu. Cengeng itu wajar. Justru aku senang kamu jujur dan nggak memendamnya,” balas Yoga, menatap mata Cantika lekat-lekat.
Keheningan sejenak menyelimuti mereka, tapi keheningan yang nyaman. Keheningan yang penuh dengan janji untuk memulai lagi.
---
Malam harinya, setelah makan malam yang tegang tapi tanpa drama,Bu Ratna terlihat lebih sering tersenyum, meski tetap dengan senyum Bu Ratna yang sulit diartikan—Cantika dan Yoga kembali ke kamar mereka.
Yoga membuatkan dua cangkir kopi instan, menuangkannya ke cangkir yang berbeda, dan meletakkannya di meja samping tempat tidur.
“Ngopi dulu, biar nggak tegang,” kata Yoga, menyerahkan cangkir pada Cantika.
Cantika menerimanya. “Tumben, Mas. Biasanya kamu nggak suka kopi malam-malam.”
“Hari ini beda. Hari ini kita merancang strategi bertahan hidup di rumah ini,” canda Yoga, duduk bersila di ranjang.
Mereka tertawa pelan. Tawa yang terasa langka dan berharga di tengah tekanan.
“Oke, strategi pertama,” mulai Yoga. “Soal kelas memasak. Kamu nggak suka, kan?”
Cantika mengerutkan hidung. “Aku nggak benci masak, Mas. Cuma… nggak suka diatur-atur harus masak ini itu dengan standar tinggi. Aku lebih suka yang simpel.
Lagi pula, ada Mbok Darmi, kenapa aku harus capek-capek belajar haute cuisine?”
Yoga mengangguk. “Logis. Mama ingin kamu bisa masak karena beliau berpikir 'wanita yang baik harus bisa melayani suaminya dengan makanan buatan sendiri.' Itu pemikiran kuno. Tapi kita nggak bisa melawannya terang-terangan. Jadi, ini rencana kita.”
Yoga merendahkan suaranya, meski hanya ada mereka berdua.
“Pertama, kita ubah fokus. Kamu tetap ikut kelas memasak, tapi pilih yang kamu suka. Baking mungkin? Atau makanan Nusantara yang lebih sederhana? Nanti aku bilang ke Mama, kalau kamu mau fokus ke dessert atau fusion food.”
“Dessert? Tapi aku nggak terlalu jago bikin kue, Mas.”
“Itu kan alasan bagus! Kamu bilang, ‘Ma, aku mau fokus di baking biar nanti bisa bikinin kue enak buat Mas Yoga.’ Mama pasti bangga. Lagipula, Mama sendiri nggak terlalu suka baking. Dia jago di makanan utama. Jadi, ini nggak akan jadi kompetisi langsung.”
Cantika terdiam sejenak, lalu matanya berbinar. “Ide bagus, Mas! Aku bisa bilang fokusku adalah snack buat Mas Yoga di kantor, jadi nggak perlu ribet sama menu makan malam keluarga.”
“Persis!” seru Yoga, menjentikkan jari. “Kedua, kita delegasikan. Kalau Mama minta kamu ini itu, Mbok Darmi harus jadi ‘penyelamat’ kamu. Aku akan bicara dengan Mbok Darmi, dia orang baik. Dia akan mengerti. Kalau kamu sibuk, kamu bilang ke Mama, ‘Aku lagi bantuin Mbok Darmi di bagian lain, Ma, jadi Mbok Darmi yang urus itu.’”
Cantika tersenyum lebar. “Aku nggak nyangka kamu se-strategis ini, Mas.”
Yoga mengangkat bahu, pura-pura sombong. “Aku kan engineer. Semua harus punya plan B dan mitigasi risiko.”
“Tapi, Mas. Kenapa Mama jadi begini? Aku tahu dia mau yang terbaik, tapi kenapa seolah Mama nggak suka aku? Apa karena kita menikah dadakan itu?” tanya Cantika, nada suaranya kembali serius.
Yoga menghela napas, menatap cangkir kopinya.
“Itu pertanyaan yang bagus. Dan aku nggak tahu jawaban pastinya. Tapi aku punya firasat.”
Ia menoleh ke Cantika. “Mama itu cinta mati sama Papa. Mereka dijodohkan, tapi it works luar biasa. Mereka pasangan ideal di mata semua orang. Mama selalu punya citra ideal tentang pernikahan dan menantu. Dia ingin aku menikah dengan wanita yang sudah dia saring, yang sudah dia anggap ‘sempurna’ dari keluarga ‘sempurna.’”
“Lalu datanglah aku, yang ‘salah alamat’ dan ‘nggak jelas’,” sambung Cantika pelan.
“Jangan bilang gitu! Bukan nggak jelas. Tapi kamu... di luar skenarionya. Mama nggak punya waktu untuk ‘memproses’ kamu. Jadi, beliau melakukan apa yang paling beliau bisa: ‘membentuk’ kamu agar sesuai dengan template menantu idaman beliau.”
“Jadi, semua ini bukan karena Mama benci aku, tapi karena dia panik?”
“Mungkin. Atau mungkin juga, dia melihat kamu sebagai ‘ancaman’ terhadap perfect image keluarga ini. Makanya beliau ‘melatih’ kamu. Anggap saja ini ‘Bootcamp Menantu Idaman’ dadakan, Cantika. Tapi kini kita tahu game-nya, dan kita akan main berdua.”
Cantika tertawa. “Bootcamp Menantu Idaman. Nama yang pas.”
“Betul. Dan kita akan lulus dengan nilai A+,” kata Yoga, mengangkat cangkirnya. “Cheers?”
Cantika menyambutnya dengan cangkirnya. “Cheers. Untuk teamwork.”
Salut sama bu Ratna...yang sabar dan telaten. ngajari Cantyka...
Semangat Cantyka...nggak butuh waktu lama kamu pasti lulus pelatihan oleh mama mertu 😍😍
Cantyka pasti mudah belajar menjadi pendamping pebisnis.
Dedemit...aku suka caramu memperlakukan Cantyka....semoga langgeng yaaas😍😍