Gita sangat menyayangkan sifat suaminya yang tidak peduli padanya.
kakak iparnya justru yang lebih perduli padanya.
bagaimana Gita menanggapinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Las Manalu Rumaijuk Lily, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
siuman..
Hitungan Mundur Dimulai
Gita mengamati dari jauh saat tim perawat dengan hati-hati memindahkan Derby dari ICU ke ruang perawatan VIP—sebuah ruangan pribadi yang telah dipesan Darren untuk memastikan kenyamanan maksimum.
Segala sesuatu harus sempurna, bukan karena kepedulian tulus Darren, melainkan untuk menjaga citra di mata orang luar dan, yang paling penting, di mata Gita yang kini menjadi pengurus utama.
Ridwan, asisten Darren, bergerak dengan efisiensi robotik. Pria itu mengurus administrasi, memanggil ambulans pribadi, dan bahkan mengatur pengawalan mobil untuk perjalanan singkat dari rumah sakit ke kediaman mewah Derby.
Di tengah kekacauan logistik itu, Darren sibuk menerima telepon dari rekan bisnisnya, sesekali memberi perintah pada Ridwan, tetapi tidak pernah sekalipun menoleh untuk melihat kondisi Derby atau berbicara dengan Gita.
Sungguh, dia hanya ingin semua beres tanpa perlu repot, pikir Gita getir.
Ia berjalan mendekati ranjang Derby sebelum pemindahan. Wajah kakak iparnya masih pucat dan sedikit bengkak, ditutupi topeng oksigen. Derby terlihat rentan, sebuah pemandangan yang jarang sekali ia lihat.
Derby yang ia kenal adalah sosok pria yang selalu tampil dingin, sempurna, dan berjarak, seolah-olah ia adalah gunung es yang tak tersentuh.
Kebaikan yang diberikan Derby—yang ia maksudkan tadi—adalah bantuan finansial besar-besaran yang pernah ia berikan pada bisnis Darren saat hampir bangkrut. Kebaikan itu bukan untuk Gita, tetapi secara tidak langsung, itu menyelamatkan Gita dari hidup yang lebih sulit.
"Aku akan mengurusnya, Kak," bisik Gita pelan, tangannya yang dingin tak berani menyentuh tangan Derby. "Tiga minggu. aku janji, aku akan pastikan Kakak stabil sebelum aku pergi."
Perpindahan ke rumah Derby terasa seperti memasuki dunia lain. Rumah itu adalah sebuah mansion di kawasan elite Jakarta, dirancang minimalis dan modern, tetapi terasa sangat klasik.
Dibandingkan rumah mereka yang terasa hangat—walaupun sekarang sudah terasa seperti neraka—rumah Derby adalah sebuah museum yang mewah dan dingin.
Darren langsung mengambil alih kamar utama di lantai dua, yang sayangnya bersebelahan persis dengan kamar Derby.
"Git, kamu tidur di kamar tamu di lantai bawah saja," perintah Darren saat mereka tiba. "Lebih dekat dengan dapur dan ruang keluarga. Kalau ada apa-apa dengan Kak Derby, kamu cepat tanggap."
Gita hanya mengangguk setuju. Kamar tamu itu besar, mewah, dan jauh dari Darren—persis seperti yang ia inginkan.
Ia tahu ini adalah usulan yang masuk akal, tetapi ia juga tahu ini adalah cara Darren untuk menjauhkan dirinya secara fisik, sambil tetap memanfaatkan tenaganya.
Setelah menata barang-barang seadanya—hanya beberapa baju dan perlengkapan mandi—Gita langsung menyusun jadwal. Ia mengganti perban Derby sesuai instruksi perawat dari rumah sakit, menyiapkan makanan cair, dan membersihkan diri kakak iparnya dengan bantuan seorang perawat harian yang disewa Ridwan.
Perawat itu akan membantunya di siang hari, tetapi malam adalah tanggung jawab Gita sepenuhnya.
Selama tiga hari pertama, Gita dan Darren hanya bertemu saat makan malam yang terasa canggung.
Darren selalu menanyakan kondisi Derby, tetapi tidak pernah membantu. Ia hanya fokus pada pekerjaannya, sesekali mengeluh tentang betapa susahnya mengurus bisnis tanpa bantuan Derby.
Pada malam ketiga, setelah perawat harian pulang, Gita sedang membaca buku di sofa ruang keluarga, dekat dengan kamar Derby. Pintu kamar Derby sedikit terbuka.
Tiba-tiba, ia mendengar suara.
"Air..."
Suara itu sangat pelan, serak, dan sangat datar. Bukan rintihan, melainkan permintaan yang diucapkan dengan otoritas yang melekat.
Gita langsung berdiri. Ia berjalan hati-hati ke kamar. Derby sudah tidak memakai masker oksigen.
Matanya terbuka, menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Wajahnya masih pucat, tetapi matanya yang tajam dan dingin—yang selalu membuat Gita takut—kini tertuju padanya.
Gita hampir menjatuhkan gelas air yang ia bawa. Ini adalah pertama kalinya Derby sadar sepenuhnya, menatapnya, dan berbicara.
"Air," ulang Derby, suaranya sedikit lebih keras.
"I-iya, Kak. Maaf," Gita tergagap, menyodorkan sedotan. "Pelan-pelan ya, Kak."
Derby meminum air itu perlahan. Setelah menghabiskan setengah gelas, ia menutup mata.
Gita menunggu sejenak. Ia memberanikan diri untuk bertanya.
"Kak, apa Kakak butuh sesuatu lagi? Atau Kakak mau aku panggilkan perawat?"
Derby membuka matanya lagi. Pandangannya kini beralih dari langit-langit ke wajah Gita.
Pandangan itu lama, seolah sedang menganalisis setiap inchi wajahnya, dan itu membuat Gita sangat tidak nyaman.
"Kamu..." ucap Derby pelan, suaranya seperti bisikan angin.
"Ya, aku Gita, Kak. Istri Darren. aku yang akan mengurus Kakak sementara." Gita mencoba bersikap profesional, menyembunyikan rasa gugupnya.
Derby menyunggingkan senyum tipis, sangat tipis sehingga Gita hampir tidak melihatnya. Senyum itu tidak hangat, melainkan seperti smirk yang mengandung sarkasme.
"Darren memintamu mengurusku?" tanyanya.
"Iya, Kak. aku sudah mengurus izin cuti ku. aku akan memastikan Kakak pulih total."
Derby tertawa kecil, tawa tanpa suara yang membuat bulu kuduk Gita meremang.
"Tidakkah itu buang-buang waktu? Kamu punya pekerjaan, 'kan?"
Gita terdiam. Pertanyaan itu, diucapkan oleh pria yang baru saja sadar dari koma, terasa seperti sebuah sindiran tajam.
"Ini tanggung jawab ku sebagai keluarga, Kak," jawab Gita diplomatis.
Derby menggeleng perlahan, seolah sedang membantah. Matanya yang dingin menatap lurus ke mata Gita, memenjarakannya.
"Bukan. Ini adalah hukuman. Untukmu," bisik Derby. "Atau... untukku."
Gita menahan napas. Ia tidak mengerti maksud Derby.
Apakah Derby tahu tentang hubungannya dengan Darren? Apakah Derby mendengar pertengkaran mereka? Atau... apakah Derby tahu sesuatu tentang Darren yang tidak ia ketahui?
"Maksud Kakak?" tanya Gita, suaranya tercekat.
Derby tidak menjawab. Ia hanya menggerakkan tangannya ke sisi ranjang, mengambil ponsel yang tergeletak di meja kecil. Ia membuka kunci ponsel dengan lambat.
"kak,bolehkah aku tahu apa maksud kakak?" ulang Gita setengah mendesak.
alih alih menjawab,Derby justru memejamkan matanya setelah mematikan kembali ponselnya dan diberikan pada Gita.
Gita tidak bisa memaksa.
karena kondisi kakak iparnya belum pulih sama sekali.
"Baiklah,kakak istirahat saja,kalau ada apa apa katakan saja,ada bel disini untuk mempermudah kakak memanggilku sekiranya aku berada di bawah." ujar Gita menyimpan rasa penasaran nya.
tentu saja dia tidak akan pernah mendapat sahutan dari kakak iparnya yang super dingin itu.
Gita keluar dari kamar Derby.
lalu turun ke bawah dan duduk di sofa.
Pikirannya menerawang,memikirkan nasib pernikahan nya yang sedang bermasalah.
suaminya yang dulu dicintainya dan juga sebaliknya perlahan mulai mengabaikan nya,bahkan cenderung tidak menyukainya lagi.
entah apa alasan dibalik semua ini dia tidak tahu.
Yang dia tahu kapal mereka hampir karam diterjang badai.
bersambung..