Ana yang baru masuk ke tempat kerja baru, terpikat dengan Aris, pemuda yang tampan, baik, rajin bekerja dan sopan. Sempat pacaran selama setahun sebelum mereka menikah.
Di tahun kedua pernikahan mereka, karakter Aris berubah dan semakin lama semakin buruk dan jahat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Frans Lizzie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 - Di Tanjung Pinang
“Ana…, bangun. Bangun, Ana.” Seseorang menggoyang-goyangkan bahunya. “Kita sudah sampai ini.”
Ana mengejapkan matanya. Hanya sedetik saja kesadarannya hilang.
Oh iya!
Tanjung Pinang!
Sudah sampai.
Sekilas dia melihat menara yang tampak dari jendela kapal.
Wow!
Mercusuar-kah?
Luar biasa.
Aris menarik tangan Ana yang masih terpaku memandang pemandangan laut lepas dari jendela kapal. “Ayo! Lihatnya dari luar kapal saja. Lebih jelas.”
Ana cepat tersadar. “Ayo!”
Sambil keluar membawa tas masing-masing, mereka keluar dari dek kapal, menyeberangi garbarata.
Ana menebarkan pandangan mata berkeliling ke terminal penjemputan di pelabuhan Sri Bintan Pura, sambil menekan rasa bersalah kalau-kalau Hendra tak muncul menjemput.
Aris memperhatikan Ana. “Tadi di dalam kapal kamu terlihat sangat antusias melihat mercusuar. Begitu keluar langsung lupa, malah seperti tertarik dengan pelabuhan ini.”
“Aku mencari Hendra. Kami sudah janjian akan ketemu di pelabuhan, tapi payahnya aku ini…, malah lupa untuk langsung info jam keberangkatan segera setelah beli tiket.”
Mata Ana masih jelalatan ke seluruh penjuru pelabuhan, berharap menemukan Hendra. Tapi tidak menemukan.
“Kan ada aku,” kata Aris. “Aku juga sangat tahu kok tentang Tanjung Pinang. Tak ada Hendra pun tidak masalah.”
Ana tidak terlalu memperdulikan Aris. Ia sungguh merasa bersalah melupakan janjinya agar segera info segera setelah membeli tiket. Matanya masih terus beredar ke seluruh area.
“Kalau kukirim wa-nya saat di kapal, pasti tak terkirim ya, Mas,” tanya Ana dengan nada cemas.
“Kau tak mendengarkan aku.” Nada suara Aris terdengar jengkel.
Tapi Ana tidak terlalu menggubrisnya. Ia lebih cemas karena merasa mengkhianati sahabat yang berharga seperti Hendra.
Tiba-tiba bahu Ana ditepuk dari belakang.
Ana berbalik dan langsung berseru riang.
“Hendra!”
Senyum Hendra juga merekah ceria.
“Selamat datang ke Tanjung Pinang. Kampung halamanku.”
Ana yang ceria langsung berceloteh ria. “Wah, untunglah wa-ku sempet Hendra baca. Jadi tidak telat jemput kemari. Maaf, aku tadi kelupaan untuk segera wa kamu saat tiket sudah terbeli. Ha ha, aku terlalu takjub lihat laut pelabuhan Punggur. Aku wa saat berada di kapal. Untunglah terkirim ya.”
“Aku sudah menunggu di sini sejak jam 2 tadi,” jawab Hendra tak terduga. “Ku perkirakan Ana keluar dari hotel jam 1. Perjalanan sampai ke Punggur 1 jam. Sudahlah ku putuskan menunggu sejak jam 2 di sini.”
Ana melongo.
Wah, baik sekali Hendra ini.
Lalu terdengar bunyi dari hp Hendra.
Kling..
Hendra menunjukkan layar hpnya ke Ana.
Terlihat 1 message baru saja diterima. Message dari Ana.
“Oh.” Ana merasa bersalah.
“Aku minta maaf ya. Untung Hendra pinter, walau belum tahu pasti kedatangan kami, udah standby duluan.”
Hendra terkekeh. Lalu ia menghadap Aris.
“Siang Bos.”
Aris menganggukkan kepala sebagai tanggapan atas sapaan Hendra.
“Ana mau langsung makan dari sini?” tanya Hendra dengan semangat. “Ada kedai makan enak khas masakan Melayu di sini. Baru setelah itu ke rumahku. Taruh barang-barang kalian, lalu mandi dulu. Lalu kita keluar lagi. Ke kuliner malam di pinggir laut.”
Dengan semangat Ana melangkah duluan keluar pelabuhan sambil menenteng tas duffle-nya. “Ayok! Kita naik apa ke sana?”
“Bagaimana kalau kita jalan kaki? Menurut ku sih tidak terlalu jauh. Sini, tasnya aku bawakan,” kata Hendra sambil mengambil tas berwarna coklat itu dari tangan Ana.
Mereka berjalan menyusuri dermaga keluar dilanjutkan ke jalan-jalan yang tak terlalu lebar. Di sepanjang jalan keluar dari dermaga banyak penjual otak-otak khas Tanjung Pinang yang dibakar dengan tungku api kecil.
Aris tampak berhenti sebentar untuk membeli sekantong otak-otak yang sudah siap, tinggal dibayar saja.
Aris berjalan cepat untuk menyusul Ana dan Hendra yang sudah berada agak jauh di depan meninggalkan Aris yang membeli otak-otak dulu.
“Hei Ana, mau coba ini nggak? Makanan khas Tanjung Pinang,” kata Aris sambil menyodorkan sekantong otak-otak ke hadapan Ana yang sedang antusias melangkah sambil menengok ke kanan dan ke kiri.
“Otak-otak, isinya ada yang ikan ada pula yang sotong.” Aris sudah membuka bungkusan daun kelapa dan mengeluarkan makanan yang berwarna oranye lalu menyodorkan langsung ke depan bibir Ana.
Mulut Aris membuka memberi kode kepada Ana agar membuka mulutnya.
Dengan ragu sambil menatap Hendra yang bersikap acuh, Ana membuka mulutnya dan memakan suapan Aris.
“Hmmm..” Kening Ana berkerut mencoba menikmati makanan yang baru pertama kali dia makan. “Ehmm, okelah. Rasa..cumi ya?”
“Oh, dapat yang cumi ya,” gumam Aris. Lalu ia membuka satu bungkusan daun kelapa yang sudah gosong bekas Bakaran itu. “Nah, dapat yang ikan. Ini cobalah.”
Aris menyuapkan lagi otak-otak dengan jarinya sampai menyentuh bibir Ana. Hanya sekejap, namun jari Aris menyentuh bibir Ana.
Jantung Ana serasa berhenti.
Dia merasakan.
Buat dia, Ana si gadis kuper itu jelas hal itu merupakan pengalaman menggentarkan jiwa dan raganya.
Tapi..
Sikap Aris masih biasa saja. Terus membuka daun kelapa pembungkus si otak-otak, memasukkan ke mulutnya sambil terus berjalan mengikuti Hendra.
Sikap Hendra pun juga biasa saja. Bahkan jadi terlihat sedikit cuek.
Aris menawarkan otak-otak kepada Hendra dan Hendra menolaknya.
“Ayolah Hen, ambillah. Masa awak saja yang makan,” bujuk Aris.
Hendra tertawa sopan. “Apalah si bos ini. Tawarkan otak-otak sama awak, orang Tanjung Pinang. Tawarkan kami empek-empek atau gudeg begitu, baru kami selera.”
Aris menepuk dahinya sambil ikut tertawa. “Iya juga ya.”
Kemudian Aris dan Hendra meneruskan percakapan mereka. Sesekali Aris masih menyuapkan otak-otak ke mulut Ana.
Ana memperhatikan mereka sambil mengunyah otak-otak yang mulai ia sukai. Tak se asing seperti pertama kali Ana santap tadi.
Iya, batin Ana. Yang tadi itu hal biasa kok.
Biasalah seorang teman saling menyuapi. Apalagi mereka semua kan teman sekerja yang sering kali bertemu.
Itu pasti sudah sesuatu yang biasa. Apalagi mereka bekerja di bidang pariwisata. Hubungan persahabatan di antara lawan jenis yang sangat akrab tentulah itu hal yang lumrah sekali.
Nyatanya sikap Hendra juga tetap santai melihat sentuhan-sentuhan yang menurut Ana cukup intim.
Iya betul, kata Ana dalam hati meyakinkan diri sendiri. Karena ke-kuper-anku lah yang membuat sentuhan intim sedikit saja sudah bikin panas dingin.
Ternyata kepahitan hidup mamanya membuat dirinya tumbuh menjadi wanita yang kudet bin kuper, rutuk Ana dalam hati.
Mereka sudah sampai pada jalan aspal yang tak lebar. Tercium aroma berbagai macam masakan yang sangat menggoda.
Suara wajan dan sutil yang berada membuat usus-usus pada perut Ana bergerak.
Hendra berpaling menghadap Ana. “Nah Ana, lagi kepingin hidangan Melayu atau Chinese?”
Dalam sekejap overthinking dan kegalauan Ana menguap hilang.
“Wow…, aromanya menggoda banget.” Ana menebarkan pandangannya pada deretan kedai-kedai yang ramai. Kokinya memamerkan skill memasak mereka di depan, jadi aroma masakan yang menguar dari wajan yang sedang digoyang itu sudah merupakan promosi yang hakiki kepada semua pemburu kuliner.
“Aku pilih Chinese Food dulu deh yang sudah familiar buatku.” Ana merasa penasaran karena aroma masakan China mereka sangat harum.
“Ayok,” ajak Hendra. “Kubawa ke tempat yang paling enak dan autentik rasanya. Tukang masaknya asli datang dari Tiongkok, puluhan tahun lalu. Dan buka kedai, jualan di sini.”
Mereka bertiga pun memesan makanan. Lalu duduk bersama pada meja bundar kecil yang sangat pas untuk mereka bertiga.
Tentu saja mereka harus sabar menunggu. Tukang masaknya hanya satu yaitu sang pemilik sendiri, yang memesan makanan makanan banyak, baik yang dimakan di tempat atau dibawa pulang.
Ana yang sudah biasa dengan keadaan seperti ini, yang harus menunggu lama jika sedang berburu kuliner, sama sekali tidak terganggu saat harus menunggu. Dia tetap antusias mengamati keadaan sekeliling.
“Pak Aris nanti tidur di ruang keluarga saja ya, saya temani. Untuk Ana, dia bisa tidur di kamarku yang kosong,” jelas Hendra. “Rencana semula kan tidur bareng adik perempuanku. Tapi karena Pak Aris ikut, jadi Ana tidur sendiri di kamarku. Biar aku dan Pak Aris tidur di luar. Nggak apa-apa kan Pak Aris?”
Aris tidak langsung menjawab. Dari raut wajahnya terlihat dia kurang berkenan.
Karena itu Hendra buru-buru merubah tawarannya.
“Atau bisa juga Ana tetap tidur bersama adikku, biar tidak sendirian. Lalu Pak Aris dan saya, berdua tidur di kamarku. Begitu apa lebih baik?” tanya Hendra.
Aris masih terdiam.
Karena itu Ana yang menjawab, “Asal adikmu tak merasa terganggu, pilihan kedua, baik untukku.”
Hendra mengangguk senang.
Saat itu pesanan makanan tiba.
Mereka bertiga menyantap masakan yang bercita rasa autentik masakan cina yang sangat lezat. Sungguh Ana belum pernah merasakan masakan cina seenak ini. Ternyata cita rasa masakan cina yang diolah oleh koki terampil asli dari kampung cina betulan, rasanya benar-benar beda.
Setelah semua isi piring dan gelas habis tandas, sambil mengelap bibirnya dengan tissue, Hendra berkata, “Yuk ke rumahku. Pak Aris dan Ana bisa mandi dulu dan istirahat sejenak. Jam 6 nanti kita berangkat untuk melihat suasana malam di sekitar sini lagi.’
Ana sudah bangkit berdiri dari duduknya, ingin segera bergerak sesuai ajakan Hendra.
Tapi…
“Kurasa bukan pilihan bijak buat menginap di rumah Hendra,” ujar Aris tiba-tiba.