Zara adalah gambaran istri idaman. Ia menghadapi keseharian dengan sikap tenang, mengurus rumah, dan menunggu kepulangan suaminya, Erick, yang dikenal sibuk dan sangat jarang berada di rumah.
Orang-orang di sekitar Zara kasihan dan menghujat Erick sebagai suami buruk yang tidak berperasaan karena perlakuannya terhadap Zara. Mereka heran mengapa Zara tidak pernah marah atau menuntut perhatian, seakan-akan ia menikmati ketidakpedulian suaminya.
Bahkan, Zara hanya tersenyum menanggapi gosip jika suaminya selingkuh. Ia tetap baik, tenang, dan tidak terusik. Karena dibalik itu, sesungguhnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenyataan Yang Mulai Terkuak
Erick melangkah keluar dari ruang kerja Hartono dengan perasaan lega yang tidak dapat tergambarkan. Ia baru saja meletakkan beban berat yang selama ini menindihnya.
Baru saja beberapa langkah, ia sudah dihadang oleh dua wanita yang jelas-jelas menunggu untuk melampiaskan amarah mereka.
Anggraini dan Emily berdiri dengan tangan terlipat di dada, tatapan mereka tersirat penghinaan. Ini adalah kesempatan empuk bagi mereka untuk merobeek-robbek Erick dengan kata-kata sebelum Hartono kembali. Emily belum tahu bahwa statusnya baru saja berubah.
"Nah, si pengkhianat akhirnya keluar," sambut Anggraini dengan senyum sarkastik. "Sudah selesai merengek pada Papa? Kau harusnya bersyukur suamiku masih mau memberimu waktu, padahal kami sudah menyiapkan rencana bagus untuk mengakhiri kariermu itu."
Emily maju selangkah, menatap Erick dari ujung rambut hingga ujung kaki, tatapannya penuh merendahkan. "Kau dengar, Erick? Aku sedang mengandung ide untuk memastikan kau kembali ke selokan tempat kau berasal. Kau pikir siapa dirimu? Tanpa namaku, kau hanya remah-remah. Aku bisa membuatmu kehilangan pekerjaanmu, bahkan kehilangan wanita murahanmu itu!"
"Betul," sela Anggraini, nada suaranya setajam silet. "Kau itu seharusnya cukup menjadi boneka penurut di perusahaan, menikmatinya, dan tahu diri! Kau itu tidak pantas disebut lelaki terhormat. Kau itu menjijikkan."
Erick hanya diam. Ia tahu, membalas hanya akan membuang tenaganya.
"Kau tidak punya lidah lagi?" geram Anggraini, tangannya terangkat tinggi, siap melayangkan tamparan ke wajah Erick.
Bersamaan dengan itu, Emily menyeringai dan mengangkat kakinya, hendak menendang tulang kering Erick. Keduanya bertindak serentak, didorong oleh kebencian.
Plak!
Anggraini terperanjat. Tangan yang tadi siap menampar Erick dicekal kuat oleh Hartono, yang tiba-tiba muncul di belakang mereka. Sebelum Anggraini sempat bereaksi, sebuah tamparan cepat dan mengejutkan mendarat di pipinya.
Hampir bersamaan, kaki Emily yang melayang ditahan oleh Hartono dan didorong balik. Dorongan itu tidak keras, tetapi cukup untuk membuat Emily terhuyung mundur, kaget, dan sedikit merasakan sakit di tulang keringnya.
Anggraini memegang pipinya, menatap Hartono dengan mata melotot. Emily memprotes keras sambil mengusap kakinya.
"Kau apa-apaan sih, Pa! Menamparku dan menendang anak kita. Mau coba main kekerasaann ya?!" teriak Anggraini.
"Ayah tidak pernah begini!" Emily menimpali, air mata muncul karena syok alih-alih sakit di kaki.
Hartono berdiri tegak di antara mereka dan Erick.
"Memang benar. Selama ini aku tidak berlaku demikian, dan aku juga tidak pernah mengajarkan kalian hal seperti ini. Tapi kalian rupanya bertingkah seperti itu. Mencoba memukul, mencoba menendang. Jadi sekalian saja aku bertingkah sama seperti kalian. Bagaimana rasanya mendapatkan hal yang sama seperti apa yang kalian lakukan terhadap orang lain?"
Anggraini dan Emily terhenyak. Mereka menatap suami dan ayah mereka dengan rasa ngeri yang belum pernah mereka rasakan. Hartono telah berubah. Ia tidak lagi memanjakan mereka. Seketika kemarahan Anggraini beralih kepada Erick.
"Kau!" Anggraini menuding Erick. "Kau menghasut suamiku. Kau racuni pikirannya. Kau sudah membuat dia keras padaku dan Emily. Aku benci padamu, Erick! Kau pantas mati!"
Meskipun Hartono berdiri sebagai pelindung, Anggraini melancarkan serangan terakhirnya. Ia menyeringai, mengumpulkan liur, dan meludahi tepat di hadapan Erick. Sudah tahu kan sekarang kelakuan Emily, genetik darimana? Atau hasil didikan siapa?
Anggraini belum sempat puas, Hartono sudah mengkepret mulutnya dengan punggung tangan. Hentakan cepat itu membuat Anggraini praktis memegang mulutnya, wajahnya memerah karena malu dan sakit.
"Dilarang meludah sembarangan, kalau tidak mau juga terkena ludah," kata Hartono.
Erick merasa sangat tidak enak berlama-lama di sana, menyaksikan disiplin mendadak yang diterapkan oleh Hartono. Ini adalah saatnya ia pergi.
Ia menatap Emily yang masih terkejut. "Emily, aku permisi. Aku telah menyerahkanmu kepada Papamu, dan seluruh tanggung jawabmu telah kembali padanya. Aku telah menalakmu, talak tiga. Tinggal tunggu tanggal persidangan cerai kita."
Kata-kata itu menghantam Emily. Ia terkejut, seluruh emosinya tersentak hingga ia terdiam kaku. Harusnya dia yang menggugat cerai, tapi kenapa sebaliknya. Air muka Anggraini tidak selaras dengan Emily, drastis dari marah menjadi senang.
"Bagus." tukas Anggraini gembira. "Akhirnya, jauhkan wajahmu dari hidup anakku, menantu tidak selevel. Pergi sana!"
Erick menunduk sekilas kepada Hartono, "Saya pamit, Pa." Ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Emily yang masih terdiam dalam keterkejutan.
...***...
Dokter meminta Mila untuk berbicara mengenai kondisi Zara di luar ruang rawat Zara. Mila mengangguk cepat, menyisakan Zara yang tengah terlelap pulas.
"Saya ingin menjelaskan beberapa hal terkait kehamilan Nyonya Zara. Saya lihat Mbak mengisi formulir sebagai kakaknya, ya?"
"Iya, Dok. Saya Mila, kakaknya Zara, ehm lebih tepatnya kakak ipar." jawab Mila sembari nyengir, berusaha menampilkan wajah serius dan penuh perhatian, meskipun di dalam hatinya ia merasa bersalah karena berbohong.
"Baik. Secara umum, janinnya sehat, tetapi ada kondisi khusus yang membuat kehamilan Nyonya Zara harus dipantau lebih ketat dan rutin. Jadwal kontrolnya harus jauh lebih padat daripada kehamilan pada umumnya."
Mila mengerutkan dahi. "Kondisi khusus apa, Dok?"
"Nyonya Zara hanya memiliki satu ginjal yang berfungsi. Satu ginjal lainnya sudah tidak ada," jelas Dokter Adrian menatap Mila lekat-lekat, seolah mencari reaksi.
Seketika Mila terkejut setengah mati. Ia menahan napas, berusaha keras menyembunyikan keterkejutannya. Selama ini, Zara tidak pernah cerita soal ini. Namun, ia harus berakting sebagai kakak yang tahu segalanya.
"Oh... ya, saya ingat dia pernah mendonorkannya." bohong Mila. Aslinya dia lagi terkejut bukan main tentang kondisi Zara.
Dokter mengangguk, kembali ke penjelasan medis.
"Betul. Memiliki satu ginjal (disebut solitary kidney) pasca-donasi memang memungkinkan kehamilan, tetapi membutuhkan perhatian ekstra. Saat hamil, volume darah dan cairan tubuh meningkat drastis, bisa mencapai 30% hingga 50%. Ginjal adalah organ vital yang bertugas menyaring limbah dari darah dan mengatur cairan."
"Bagi orang yang hanya memiliki satu ginjal, beban kerjanya menjadi dua kali lipat. Selama kehamilan, satu ginjal ini harus bekerja lebih keras lagi untuk menyaring darah ibu dan janin. Peningkatan beban ini berisiko menyebabkan komplikasi, terutama preeklamsia dan hipertensi kehamilan, serta bisa memperburuk fungsi ginjal tunggal tersebut. Oleh karena itu, kita perlu memantau tekanan darah dan fungsi ginjal Nyonya Zara, terutama kreatinin dan protein urin, sangat sering. Kita harus memastikan tidak ada tanda-tanda kerusakan atau kegagalan. Ini demi keselamatan ibu dan janin."
Mila menelan ludah. Ia hanya tahu Zara berjuang untuk hidupnya, tetapi ia tidak tahu pengorbanan Zara sebesar ini. Penyampaian sudah selesai, dan Mila kembali ke ruang rawat inap Zara.
Dengkul Mila rasanya lemas. Seketika Mila ada rasa menyesal sudah menambah-nambahkan penderitaan Zara dengan kata-katanya yang pedas tempo hari, tanpa pernah tahu apa yang Zara rasakan. Tanpa pernah tahu sebenarnya yang ia sempat bela, ternyata tidak pantas untuk dibela.
Bolehkah saat ini membangunkan Zara untuk minta maaf dan meminta penjelasan lebih tentang ginjalnya yang hanya satu? Mila bertanya-tanya dalam hati. Tapi tidak lama kemudian, Zara yang tertidur akhirnya terbangun.
"La, haus, aku mau minum."
.
.
Bersambung.
di donorin buat Erick ya,
paska sakit 😁😄
Yaaa tapi kan hukum di negeri enih bisa dibeli 😌