Email salah kirim, meeting berantakan, dan… oh ya, bos barunya ternyata mantan gebetan yang dulu menolak dia mentah-mentah.
Seolah belum cukup, datang lagi intern baru yang cerewet tapi manisnya bikin susah marah — dan entah kenapa, selalu muncul di saat yang salah.
Di tengah tumpukan laporan, deadline gila, dan gosip kantor yang tak pernah berhenti, Emma harus belajar satu hal:
Bagaimana caranya tetap profesional saat hatinya mulai berantakan?
Antara mantan yang masih bikin jantung berdebar dan anak magang yang terlalu jujur untuk dibiarkan begitu saja, Emma akhirnya sadar — cinta di tempat kerja bukan cuma drama… tapi juga risiko karier dan reputasi yang bisa meledak kapan saja.
Cinta bisa datang di mana saja.
Bahkan di ruang kerja yang penuh tawa, kopi tumpah, dan masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ASEP SURYANA 1993, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 11 — Akhir Pekan yang Tidak Biasa
Hari Jumat pagi, suasana kantor Vibe Media penuh bisik-bisik aneh.
Bukan gosip kali ini — tapi rasa penasaran massal.
“Emma, kamu udah baca pengumuman dari manajemen?” tanya Monica dengan mata membulat.
Emma menatap layar laptopnya. “Pengumuman apa lagi?”
“Tim khusus proyek Weekend Retreat! Lima orang terpilih buat kerja dan ‘bonding’ di luar kota.” Monica menirukan tanda kutip dengan jari. “Dan tebak siapa yang masuk daftar?”
Emma menatapnya kosong. “Jangan bilang—”
“Tebakanmu benar,” sahut Monica sambil menyeringai. “Kamu, Ryan… dan Mr. Dawson.”
“Tidak…” gumam Emma, menunduk di meja. “Tolong katakan ini mimpi buruk dengan durasi terbatas.”
Ryan muncul dari belakang sambil membawa dua muffin. “Mimpi buruk apa yang bisa diselamatkan dengan karbohidrat?”
Emma mendesah. “Kita bertiga dikirim ke proyek luar kota.”
Ryan bersorak. “Serius? Liburan kerja bareng kamu? Aku udah suka arah ceritanya.”
“Dan bosmu yang cemburuan ikut juga,” potong Emma datar.
Ryan berhenti mengunyah. “Oke. Ceritanya berubah jadi reality show.”
---
Sabtu pagi, mereka bertiga tiba di kota kecil tepi pantai bernama Seabrook.
Udara asin, suara camar, dan aroma kopi dari toko kecil di dekat penginapan menyambut mereka.
Proyeknya sederhana: menyiapkan kampanye digital untuk klien resort lokal.
Tapi dengan tiga orang yang punya sejarah rumit, bahkan tugas sederhana bisa berubah jadi kekacauan elegan.
Liam berdiri di depan papan strategi, mengenakan kemeja biru laut dan ekspresi tegas.
“Baik. Aku ingin kita fokus. Tak ada urusan pribadi selama proyek ini.”
Ryan mengangkat tangan. “Pertanyaan, Pak. Kalau urusan pribadi itu berupa perasaan yang nggak bisa dihindari, termasuk kategori apa?”
Liam menatapnya tajam. “Kategori masalah.”
Ryan mengangguk. “Noted.”
Emma menahan tawa kecil di balik laptop. “Ryan, serius sedikit.”
“Aku serius,” katanya sambil menatap Emma. “Aku serius… tentang bercanda.”
---
Siang menjelang sore. Mereka bekerja di ruang konferensi kecil dengan jendela besar menghadap laut.
Emma mengetik cepat di laptopnya, Ryan sibuk dengan sketsa visual, dan Liam sesekali memberi koreksi — terlalu sering, menurut Emma.
“Kalau desainnya seperti ini, audiens targetnya nggak akan nyambung,” kata Liam.
Ryan berbalik. “Audiens targetnya generasi muda, Pak. Kita butuh visual yang nyolok, bukan brosur perbankan.”
“Itu tidak profesional.”
“Itu keren.”
Emma memijat pelipis. “Oke, cukup. Kalian berdua bisa berhenti seperti anak TK rebutan mainan?”
Ryan menatap Emma sambil tertawa kecil. “Dia yang mulai.”
Liam menatap Ryan dingin. “Dan aku yang bisa mengakhirinya.”
Emma berdiri cepat. “Kau tahu apa? Aku butuh udara.”
Ia keluar menuju balkon, menghirup angin asin laut yang menenangkan.
Beberapa detik kemudian, suara langkah menyusulnya — tapi kali ini bukan Ryan.
Liam berdiri di sampingnya, bersandar di pagar balkon.
“Masih sama seperti dulu,” katanya pelan.
“Apa?” tanya Emma tanpa menoleh.
“Kau selalu jadi jembatan di tengah dua orang yang keras kepala.”
Emma tersenyum miris. “Lucunya, dua-duanya sekarang pria.”
Liam menatapnya lama. “Aku tidak datang ke proyek ini untuk membuatmu tidak nyaman, Emma. Tapi aku juga tidak bisa pura-pura tidak peduli.”
Emma menatap laut. “Aku tahu. Tapi tolong, jangan buat semuanya lebih rumit dari yang sudah ada.”
“Aku mencoba menjaga jarak,” katanya lembut. “Tapi setiap kali aku lihatmu… semua yang kupendam dua tahun lalu kembali muncul.”
Emma terdiam. Angin laut berhembus pelan, menerbangkan beberapa helai rambutnya.
“Liam, aku tidak tahu apakah aku masih punya ruang untuk masa lalu,” katanya akhirnya. “Tapi aku tahu aku ingin tenang.”
Liam mengangguk perlahan. “Kalau itu yang kau mau, aku akan berusaha memberi tenangmu. Tapi jangan minta aku berhenti peduli.”
---
Sementara itu, di dalam ruangan, Ryan berdiri di depan papan ide, menggambar ulang konsep dengan wajah serius — hal yang jarang.
Ketika Emma kembali, ia menatapnya dengan senyum kecil. “Kau kelihatan habis ngobrol penting.”
Emma duduk. “Aku cuma butuh udara segar.”
Ryan menatapnya beberapa detik, lalu berkata tanpa nada bercanda,
“Udara segar itu kelihatan seperti seseorang yang masih ada di kepalamu.”
Emma menatapnya heran. “Kau jadi peka sekarang?”
Ryan tersenyum kecil. “Aku belajar. Soalnya kalau aku mau bersaing, aku harus tahu siapa musuhku.”
Emma menatapnya. “Ryan, ini bukan kompetisi.”
Ryan menatapnya serius. “Bagi aku, iya.”
Suasana di antara mereka sejenak diam, lalu Ryan kembali tersenyum — seperti biasa.
“Tapi jangan khawatir. Aku main bersih. Aku nggak akan rebut kamu… kecuali kamu mau direbut.”
Emma menatapnya tak tahu harus tertawa atau menghela napas. “Kau gila.”
“Sedikit. Tapi gila dalam dosis romantis.”
---
Malam tiba.
Mereka bertiga makan malam bersama di restoran tepi pantai.
Lampu-lampu gantung kecil berkelip, musik akustik mengalun lembut, dan suasana hampir terasa damai — hampir.
Ryan sedang bercerita lucu tentang masa orientasi magangnya, membuat pelayan sampai tertawa.
Emma ikut tertawa pelan, matanya hangat — sampai ia menyadari Liam sedang memperhatikannya dari seberang meja.
Tatapan yang bukan sekadar bos, tapi seseorang yang sedang mengingat kenangan.
Ketika pelayan pergi, Liam berkata, “Kau kelihatan bahagia.”
Emma mengangguk pelan. “Aku berusaha.”
Ryan menimpali cepat. “Dan aku berusaha bikin dia terus begitu.”
Liam menatap Ryan, lalu tersenyum tipis — senyum yang tidak ramah tapi tidak juga marah.
“Maka lakukan itu dengan baik, Miller.”
Ryan menatapnya balik. “Dengan senang hati, Pak.”
---
Setelah makan malam, Emma berjalan sendirian di tepi pantai.
Cahaya bulan jatuh di pasir, ombak bergulung lembut di kakinya.
Ia merasa aneh — damai tapi juga kacau di dalam.
Langkah kaki terdengar di belakang.
Kali ini Ryan.
“Boleh aku nemenin?” katanya pelan.
Emma menoleh. “Tentu.”
Mereka berjalan berdampingan tanpa bicara lama.
Sampai Ryan berkata, “Kalau ada yang nyakitin kamu di masa lalu, aku nggak akan janji bisa ngapus semuanya… tapi aku janji nggak akan nambahin luka baru.”
Emma menatapnya. Ada sesuatu di wajah Ryan malam itu — bukan candaan, bukan senyum, tapi ketulusan yang tulus sekali.
Ia hanya bisa berbisik, “Ryan… aku takut.”
“Takut sama siapa?”
“Sama kemungkinan aku jatuh cinta lagi.”
Ryan menatapnya lembut, lalu berkata pelan,
> “Kadang, yang perlu ditakuti bukan jatuh cintanya, tapi kalau kita nggak berani jatuh sama sekali.”
Angin laut berhembus.
Emma menatap laut, lalu menatap Ryan.
Untuk pertama kalinya, ia tak menepis, tak berlari.
Ia hanya diam — dan membiarkan dirinya merasakan.
---
Dari balkon penginapan, Liam melihat keduanya dari kejauhan.
Ia tak marah, tak kecewa — hanya diam.
Dalam hati, ia tahu satu hal:
> “Mungkin kali ini, bukan aku yang harus memperjuangkan cinta. Tapi belajar melepaskan dengan benar.”