Seharusnya, dengan seorang Kakak Kaisar sebagai pendukung dan empat suami yang melayani, Chunhua menjadi pemenang dalam hidup. Namun, kenyataannya berbanding terbalik.
Tubuh barunya ini telah dirusak oleh racun sejak bertahun-tahun lalu dan telah ditakdirkan mati di bawah pedang salah satu suaminya, An Changyi.
Mati lagi?
Tidak, terima kasih!
Dia sudah pernah mati dua kali dan tidak ingin mati lagi!
Tapi, oh!
Kenapa An Changyi ini memiliki penampilan yang sama dengan orang yang membunuhnya di kehidupan lalu?!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon miaomiao26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Ibu Suri
Tandu berguncang perlahan di atas jalan berbatu hitam yang licin bagai kaca.
Tirai sutra berwarna merah pucat bergoyang setiap kali angin berhembus lembut. Untuk pertama kalinya, dia tahu apa itu udara dingin, jadi dia merapatkan jubah bulu rubah yang melinngkupinya.
Chunhua duduk dengan tenang di dalamnya, dagunya bertumpu pada punggung tangan, matanya menatap keluar jendela kecil.
Di luar, bunga-bunga eksotis segala musim masih mekar. Warna ungu, putih, dan merah muda menodai hijau taman istana, melukis pemandangan indah yang bahkan akan membuat pelukis ternama terdiam.
Ia menghela napas panjang.
Bunga.
Chunhua.
Nama itu bukan miliknya, hanya sebuah nama yang diberikan oleh manusia yang menarik itu. Pria bodoh yang menarik mayat hidup untuk memasuki basis manusia.
Chunhua terkekeh, pelayan Ibu Suri mengernyit.
Sebenarnya, bukan karena ia tidak ingin memakai nama aslinya. Namun, dia tidak bisa mengingat nama itu.
Lucu sekali.
Dari semua hal yang ia ingat—kebiasaan hidup, status, penampilan orang tuanya yang kini memudar, asal liontin berbentuk bunga putih kecil, beberapa novel yang dia baca di waktu senggang—namanya sendiri justru lenyap.
Benar-benar ironi.
Murong Chunhua.
Akan tetapi, siapa sangka. Nama ini sekarang benar-benar miliknya—menyertainya sejak kelahiran. Nama ini sekarang sudah menjadi identitasnya. Dan tubuh ini menjadi miliknya.
Suara tawa ringan menyelinap masuk dari luar tandu, Chunhua menoleh.
Sejumlah selir istana sedang berjalan di koridor taman, ditemani dayang masing-masing. Suara mereka merdu, tetapi bagi telinga Chunhua, itu seperti lolongan serigala betina yang tengah mengendus mangsa.
Ia menutup mata, mendengarkan lebih dalam.
Suara-suara itu mungkin terdengar lembut, tapi aromanya busuk—busuk oleh persaingan, iri hati dan dendam yang ditutupi bedak tipis.
Ia tersenyum dingin. Pertarungan harem tidak kalah kejam dari akhir dunia.
Di akhir dunia, manusia melawan manusia untuk sepotong roti basi. Di sini, para wanita saling menjatuhkan demi sepotong kasih dari kaisar.
Bedanya hanya satu, senjata.
Di sana, senjata adalah gigi, kuku, atau peluru. Di sini, senjata adalah kata-kata manis yang meneteskan racun.
Dan sama-sama berakhir dengan mayat.
Setiap kali tandu Chunhua lewat, para selir, dayang, bahkan kasim yang sedang sibuk langsung berhenti, memberi hormat.
Mereka tidak mau. Itu jelas. Wajah mereka datar, kaku, penuh kebencian terpendam.
Tapi siapa yang berani tidak menundukkan kepala pada Putri Agung Fangsu, adik kandung kaisar?
Lebih aman membungkuk dengan senyum palsu, daripada kehilangan kepala dalam satu malam.
Setelah seperempat jam perjalanan, tandu berhenti. Suara pelayan itu terdengar dan tirai tandu disibak. “Yang Mulia, kita sudah sampai di Istana Cining.”
Chunhua membuka matanya. Senyum tipis muncul di bibirnya.
Baiklah. Pertunjukan dimulai.
Begitu dia melangkah turun, yang mengejutkan, Ibu Suri ternyata sudah menunggu di halaman luar, bukan di dalam aula.
Wanita agung itu mengenakan jubah sutra ungu tua, rambutnya disanggul rapi dengan hiasan emas dan perak.
Dari kejauhan, ia tampak seperti lukisan dewi yang turun ke dunia fana.
Begitu melihat Chunhua turun dari tandu, Ibu Suri menghampiri, senyum ramah mengembang di wajahnya.
Chunhua mengangkat alis dalam hati. Oh, jadi masih ingin main sandiwara ibu-anak harmonis, ya?
Baiklah, dia bisa menyesuaikan peran.
Ia berlari kecil, seperti gadis manja yang merindukan kasih sayang ibunya, lalu meraih tangan Ibu Suri. “Ibu!”
Mata para dayang terbelalak, hampir tidak percaya. Putri Agung yang biasanya ramah, tetapi menjaga jarak, hari ini bisa tampak begitu manis.
Ibu Suri tertegun sejenak, kemudian tersenyum lebih hangat, meski di balik matanya ada kilatan yang sulit ditebak. “Chunhua, anak baik. Ayo, masuklah. Ibu sudah menyiapkan teh dan kue kesukaanmu.”
Mereka duduk di aula utama. Teh harum disajikan dalam cawan giok tipis, ditemani kue manis berbentuk bunga teratai.
Chunhua mengangkat cawan, menyesap sedikit. Aromanya harum, rasanya lembut.
Dia terlihat sangat santai, sama sekali tidak terlihat baru saja memasuki sarang musuh.
Alasannya, karena dia yakin Ibu suri tidak akan repot-repot memberikan racun lain. Karena racun yang menggerogotinya adalah raja dari segala racun.
Tidak perlu membuang-buang uang untuk meracuni orang sekarat.
Obrolan dimulai ringan, lalu perlahan mengarah pada topik utama.
“Chunhua." Suara Ibu Suri terdengar lembut, tapi nadanya mengandung ujian. “Ibu dengar, kamu meminta anugerah pernikahan dengan Tuan Muda kedua An?”
Chunhua meletakkan cawan, menatap langsung ke mata wanita itu, lalu tersenyum. “Benar, Ibu.”
“Kamu yakin dengan pilihanmu?” Ibu Suri mengangkat alis, lalu berkata datar, “An Changyi memang tampan, tapi tampan saja tidak cukup. Seorang putri harus memiliki suami yang mampu dan berwawasan.”
Chunhua menyandarkan tubuhnya ke kursi, tertawa pelan. “Ibu, tampan adalah hal yang baik. Kalau sudah tampan, bukankah itu sudah cukup membuat hidup menyenangkan?”
"Itu benar, tapi reputasi Tuan muda An ini tidak terlalu baik," tuturnya, "aku mendengar, bahkan di siang bolong dia akan menyewa pelacur untuk menemaninya."
"Ah, ada yang seperti itu?" seru Chunhua, "kami benar-benar pasangan yang cocok. Dia sangat menyukai hubungan pria-wanita, begitu pula aku." Chunhua menatap Ibu suri dengan bibir tersenyum yang mengandung makna.
Beberapa dayang menundukkan kepala, menahan tawa atau mungkin rasa kaget.
Wajah Ibu Suri tetap tenang, meski ada garis tipis tegang di sudut bibirnya. “Kamu masih muda. Kamu tidak mengerti. Lelaki seperti itu, tanpa prestasi dan hanya tahu bersenang-senang tidak akan bisa menopangmu di masa depan. Apakah kamu ingin hidup sebagai putri yang ditertawakan karena memilih suami tak berguna?”
Chunhua pura-pura berpikir, lalu mengangkat bahu. “Kalau aku ditertawakan, bukankah aku tetap Putri Agung? Selama Kakak Kaisar mendukungku, siapa yang berani lebih keras tertawa dariku?”
Jawaban itu seperti tamparan halus.
Ibu Suri terdiam, lalu mencoba lagi. “Chunhua, Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu. An Changyi… tidak cocok.”
Chunhua menatapnya dengan senyum dingin yang penuh ironi. “Tidak masalah, Ibu. Aku tetap memilihnya.”
Tarik-ulur berlangsung lama. Ibu Suri berulang kali mencoba meyakinkan, mengubah pendekatan dari lembut ke tegas, dari membujuk ke mengancam terselubung.
Tapi Chunhua menangkis semuanya dengan senyum yang bukan senyum.
Akhirnya, Ibu Suri menyerah. Ia menghela napas panjang, seolah pasrah. “Baiklah, kalau begitu, lakukan sesukamu.”
Chunhua tersenyum puas, meski di dalam hatinya tahu bahwa wanita ini tidak akan tinggal diam.
Langit di luar mulai gelap. Senja merambat turun, mengganti cahaya keemasan dengan merah darah.
Chunhua berdiri, menyusun gaunnya dengan anggun. “Ibu, aku pamit. Besok masih banyak hal yang harus kupersiapkan.”
Ibu Suri mengangguk dengan senyum lembut yang tak bisa dibaca.
Chunhua melangkah keluar, naik ke tandu dan segera pergi.
Begitu tandu Putri Agung lenyap dari pandangan, seorang dayang senior mendekat, wajahnya khawatir.
“Ibu Suri, tampaknya Putri Fangsu… berbeda dari sebelumnya. Hamba tidak tahu di mana letak bedanya, tapi rasanya dia bukan lagi gadis yang dulu mudah diatur.”
Ibu Suri menatap ke arah jalan kosong dengan mata tajam, senyumnya perlahan memudar.
"Apakah kamu berpikir seperti itu?" tanyanya, dingin. “Dia tidak berubah, tapi hanya berhenti berpura-pura.”
Kilatan cahaya berbahaya muncul di matanya.