Naia Seora 25 tahun, pengantin baru yang percaya pada cinta, terbangun dari mimpi buruk ke dalam kenyataan yang jauh lebih mengerikan yaitu malam pertamanya bersama suami, Aryasatya, berakhir dengan pengkhianatan.
Naia dijual kepada pria bernama Atharva Aldric Dirgantara seharga dua miliar. Terseret ke dunia baru penuh keangkuhan, ancaman, dan kekerasan psikologis, Naia harus menghadapi kenyataan bahwa kebebasan, harga diri, dan masa depannya dipertaruhkan.
Dengan hati hancur namun tekad menyala, ia bersumpah tidak akan menyerah meski hidupnya berubah menjadi neraka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 11
“Ya Allah... ini rumah duka, bukan tempat menabur fitnah!” bentak seorang tokoh desa akhirnya, menegur dengan keras.
“Kalian keterlaluan! Kalau tidak bisa memberi doa dan penghiburan, lebih baik pergi dari sini!” sahut yang lainnya.
Seisi rumah riuh, beberapa lelaki membantu mengangkat tubuh Bu Ratih ke dalam mobil pick-up yang biasa dipakai warga. Suara doa-doa pun dipanjatkan agar nyawa ibu Ratih bisa diselamatkan.
Sementara itu, tetangga-tetangga berbisik dengan wajah marah.
“Tidak tahu malu menghina menantu sendiri di depan orang banyak...”
“Lihat akibatnya, Bu Ratih jatuh sakit semoga Allah balas orang-orang yang berhati kotor itu...”
Mobil yang membawa Bu Ratih pun melaju cepat menuju rumah sakit, meninggalkan rumah duka yang masih dipenuhi perbincangan penuh fitnah dan amarah.
Semua orang satu per satu berbondong-bondong menuju rumah sakit untuk melihat kondisi terakhir Bu Ratih. Suasana desa malam itu penuh rasa cemas dan iba.
“Pak Desa, apa ada yang tahu nomor ponselnya Naia di Jakarta? Kasihan Bu Ratih nggak ada yang jagain kalau Naia nggak pulang ke kampung,” ucap Pak Dayat dengan suara bergetar menahan haru.
“Iya, Pak Desa… kami bukannya nggak mau menolong. Tapi kehadiran Naia pasti bisa jadi pengobat luka hatinya Bu Ratih. Kasihan, beliau butuh penyemangat moril,” timpal salah seorang warga yang lain.
“Saya sudah coba hubungi nomor hp-nya Naia, tapi tidak aktif. Bahkan nomor suaminya, Mas Aryasatya Wijaya, juga saya hubungi. Tapi malah saya dibentak dan dihina, Pak Desa,” sahut Leni, teman dekat Naia sekaligus tetangga Bu Ratih, dengan mata yang sudah sembab.
Tiba-tiba pintu ruang UGD terbuka lebar. Seorang dokter keluar dengan wajah serius, menunduk sebentar, lalu menyampaikan kabar yang membuat seisi ruangan membeku.
“Mohon maaf kami sudah berusaha keras, tapi Bu Ratih tidak tertolong. Beliau sudah menghembuskan napas terakhirnya.” jelasnya dokter perempuan itu.
Sejenak suasana hening, sebelum tangisan pecah dari berbagai sudut ruangan.
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un…”
Ucapan duka berulang kali terucap dari semua yang hadir.
Malam itu, desa kembali diguncang kabar memilukan. Dalam sehari, sepasang suami istri yaitu Pak Anwar Zahid dan Bu Ratih telah pergi untuk selamanya meninggalkan duka yang mendalam.
Tangis haru dan air mata menjadi saksi kepergian Bu Ratih yang menyusul sang suami tercinta.
Malam itu desa seperti diliputi kabut duka yang pekat karena dalam sehari dua pasangan suami istri meninggal dunia tanpa kehadiran anak tunggalnya.
Leni yang sejak tadi tak tenang mondar mandir mencoba mencari cara agar Naia mendapatkan kabar tentang Naia sahabat masa kecilnya, ia kembali mencoba menghubungi nomor ponsel Naia. Harapannya sederhana yaitu semoga kali ini Naia mau mengangkat teleponnya.
Betapa bahagianya ia ketika nada dering benar-benar tersambung. Dengan tergesa, Leni menempelkan ponsel di telinganya.
“Assalamualaikum… maaf, apa ini suaminya Naia Seora? Bisa saya bicara dengan Naia, Pak?” tanyanya penuh harap.
Semua orang yang ada di rumah sakit seketika terdiam, memperhatikan dengan cemas. Mereka menunggu jawaban dari seberang telepon.
Namun suara yang terdengar membuat seisi ruangan tercekat.
“Naia Seora nggak ada hubungan apapun lagi dengan bapak-ibunya di kampung. Mulai detik ini, jangan pernah hubungi nomor ini lagi. Apapun yang terjadi kedepannya.” ucapnya tegas orang dibalik telpon.
Leni refleks mengeraskan volume ponselnya agar semua bisa mendengar jelas. Seketika wajah-wajah yang mendengarnya berubah, terkejut dan tak percaya.
“Astaghfirullahaladzim…” desis beberapa orang.
Dengan suara tercekat, Leni mencoba membalas, “Mbak… saya hanya ingin bicara dengan Naia. Kalau memang nggak bisa, tolong sampaikan padanya kalau Bapak sama Ibunya baru saja meninggal dunia.”
Namun jawaban dari seberang membuat darah semua orang berdesir dingin dan mengumpat saking kesalnya.
“Syukurlah kalau mereka sudah meninggal. Itu lebih baik, supaya Naia nggak perlu balik lagi ke kampungnya. Dan kalian semua perlu tahu saat ini Naia sedang menerima tamu di kamar hotel bintang lima. Ini tamunya yang keempat…”
“Astaghfirullahaladzim!” teriak Leni dengan tangan gemetar, namun sambungan telepon langsung diputus sepihak.
Seisi ruangan hening. Tatapan mata saling bertukar, penuh pertanyaan, penuh syak wasangka.
Ucapan perempuan itu membuat suasana duka bercampur dengan bisik-bisik penuh dugaan.
Ada yang percaya, ada yang menggeleng tak yakin, tapi kabar buruk itu sudah terlanjur menyebar.
Pak Desa menatap semua warga yang berkumpul dengan wajah muram. Suaranya berat ketika berkata,
“Jadi… apa kita langsung makamkan Bu Ratih malam ini, tanpa menunggu kedatangan Naia?”
Semua orang saling menatap. Satu per satu mulai bersuara.
“Iya, Pak Desa… sebaiknya segera dimakamkan. Kasihan kalau ditunda…”
“Lagi pula, jelas Naia nggak mungkin pulang. Entah kenapa hatinya tega sekali meninggalkan orang tuanya di saat begini…”
“Ya Allah, semoga semua ucapan tadi tidak benar. Jangan sampai nama baik Naia tercoreng hanya karena fitnah…”
Suasana pun makin riuh, bercampur antara tangis duka dan gosip yang berembus kencang di tengah malam berkabung itu.
Di balik sambungan telepon yang baru saja terputus, seseorang menyeringai puas.
Senyum licik tersungging di wajahnya, penuh kemenangan seolah baru saja melempar bara api ke tengah kampung.
“Hahaha… akhirnya! Aku yakin nama Naia Seora akan hancur. Orang sekampung pasti akan mempercayai kata-kataku. Mereka akan menggunjing, mencibir, bahkan mungkin membencinya!” ucapnya dengan tawa kecil yang menusuk.
Tangannya meraih ponsel yang bukan miliknya, ponsel yang sebenarnya milik Naia.
“Untung saja dia ceroboh meninggalkan ini di kamar hotel. Kesempatan emas untukku memanfaatkannya. Mulai sekarang, setiap kata-kataku lewat ponsel ini akan menjadi racun yang menyebar ke telinga orang-orang di kampungnya,” gumamnya sambil menatap layar ponsel penuh kepuasan.
Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, memutar-mutarkan ponsel itu di jemarinya.
“Naia… kau akan menanggung malu yang bukan perbuatanmu. Dan saat semua orang membencimu, akulah yang akan berdiri di atas reruntuhan nama baikmu.”
Senyum itu semakin melebar, tawa kecilnya menggema di kamar hotel yang sepi. Malam itu, fitnah mulai ditabur, dan benih kebencian siap tumbuh di hati orang-orang kampung.
Namun, di tempat lain, Naia sama sekali tak mengetahui musibah yang menimpa kedua orang tuanya.
Ponselnya tertinggal di kamar hotel tempat ia dan Atharva sempat menginap beberapa hari lalu. Semua kabar duka itu tak mampu menjangkau dirinya.
Naia, yang tengah diliputi rasa takut dan cemas, akhirnya memutuskan tinggal bersama pasangan suami istri tanpa anak, Bu Haja Wahidah dan Pak Haji Abidin.
Ia memilih bekerja di peternakan dan hidup sebagai anak angkat mereka, daripada kembali ke kampung halamannya. Bukan karena tak rindu, melainkan karena ia takut Atharva, suami barunya, kembali mencarinya.
Dan juga bersembunyi dari Arya, mantan suaminya yang terus menghantuinya takut jika kembali dijual ke pihak orang kaya yang baru. Lebih dari itu, Naia tak ingin menambah beban di pundak kedua orang tuanya.
Sore itu, Naia baru saja sampai di rumah besar milik Haji Abidin dan istrinya. Tubuhnya lelah, wajahnya pucat, namun hatinya masih diselimuti keresahan yang tak terjelaskan.
Ia duduk di tepi ranjang, meraih segelas air putih untuk meminum obat. Namun, begitu gelas itu menyentuh bibirnya, entah kenapa tangannya bergetar hebat. Gelas itu pun terlepas dari genggamannya.
Prang!!
Suara pecahan kaca mengagetkan seisi rumah.
Naia membeku, napasnya memburu. Dadanya tiba-tiba terasa sesak, seperti ada sesuatu yang hancur di dalam sana. Air matanya jatuh tanpa ia sadari.
“Ya Allah… Astagfirullahaladzim…” bisiknya lirih, tangan menutup wajahnya yang basah.
Ia terduduk lemas di atas ranjang, menatap kosong ke arah pecahan gelas yang berserakan di lantai.
“Kenapa perasaanku sangat nggak enak…? Ada apa dengan Bapak dan Ibu…? Ya Allah, lindungilah mereka. Jangan biarkan sesuatu yang buruk menimpa mereka,” cicit Naia, suaranya bergetar diiringi tangis yang pecah semakin dalam.
Ia menggenggam dadanya erat-erat, seakan hatinya hendak runtuh. Hatinya gelisah, seakan jarak ratusan kilometer tak mampu memutus ikatan batin antara dirinya dengan orang tua kandungnya.
Malam itu, setelah kejadian gelas yang pecah, Naia bergegas membersihkan lantai dengan tangan gemetar. Hatinya masih diliputi rasa tak enak yang semakin kuat.
Ia menarik napas panjang, lalu mengambil air wudhu. Dengan langkah pelan, ia hamparkan sajadah di kamar barunya di rumah Haji Abidin. Suasana hening, hanya suara jangkrik malam menemani.
Naia berdiri tegak, menunaikan shalat Isya dengan penuh kekhusyukan. Namun di setiap gerakan, air matanya jatuh membasahi sajadah.
Hatinya seakan ditarik jauh ke kampung halamannya, kepada Bapak dan Ibu yang entah bagaimana kabarnya.
Di akhir shalatnya, ia menengadahkan tangan, suaranya bergetar, berdoa lirih sambil sesekali terisak:
“Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kedua orang tuaku. Berikan mereka kesehatan, lindungi mereka di manapun mereka berada. Jika saat ini mereka sedang sakit, angkatlah penyakitnya, ya Rabb… Jangan biarkan mereka menderita. Dan jika ada sesuatu yang buruk menimpa mereka, izinkan aku menjadi penopang kekuatan mereka…”
Air matanya jatuh semakin deras, hingga suaranya pecah.
“Ya Allah, aku jauh dari mereka. Aku nggak bisa pulang, aku nggak bisa ada di samping mereka. Tolong jaga Bapak sama Ibu, jangan biarkan aku terlambat untuk bisa berbakti…”
Naia sujud lama, seakan tak ingin bangkit. Sajadahnya basah oleh air mata. Malam itu, doa Naia membumbung tinggi, tapi tanpa ia ketahui, doa itu datang terlambat. Kedua orang tuanya telah pergi lebih dulu, meninggalkan dirinya seorang diri di dunia.