NovelToon NovelToon
A Promise Between Us

A Promise Between Us

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers
Popularitas:795
Nilai: 5
Nama Author: Faustina Maretta

Seorang wanita muda dengan ambisinya menjadi seorang manager marketing di perusahaan besar. Tasya harus bersaing dengan Revan Aditya, seorang pemuda tampan dan cerdas. Saat mereka sedang mempresentasikan strategi marketing tiba-tiba data Tasya ada yang menyabotase. Tasya menuduh Revan yang sudah merusak datanya karena mengingat mereka adalah rivalitas. Apakah Revan yang merusak semua data milik Tasya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aku sayang kamu

Tian menatap Revan lekat-lekat, wajahnya serius untuk beberapa detik. Lalu, tanpa diduga, bibirnya melengkung, dan tawa kecil lolos dari tenggorokannya.

"Hahaha … astaga, Revan," Tian menggeleng pelan, menahan tawanya agar tidak terlalu keras. "Baru kali ini, ada laki-laki yang datang ke depanku dengan berani meminta izin untuk mengencani putriku."

Tasya langsung memerah, setengah malu, setengah kesal. "Papa," gumamnya, menunduk dalam-dalam.

Revan, meski gugup, tetap menahan tatapannya pada Tian. "Saya sungguh serius, Pak. Saya tahu Tasya mungkin belum siap mendengar hal ini dari saya, tapi saya tidak ingin main-main. Saya ingin menjaganya, mendukungnya, apapun yang sedang ia hadapi."

Tian menghela napas, tawanya mereda, berganti tatapan penuh pertimbangan. Matanya bergeser ke Tasya, lalu kembali ke Revan. "Kamu tahu, Revan, aku sangat melindungi putri semata wayangku ini. Siapapun yang datang mendekat, biasanya aku yang paling pertama pasang badan."

Revan mengangguk mantap. "Dan saya siap, Pak. Saya tidak akan lari."

Tasya makin tak karuan. Wajahnya panas, hatinya berkecamuk. Antara ingin marah karena Revan lancang, malu karena papa menyaksikan semua ini, sekaligus ada bagian kecil dalam dirinya yang tergetar mendengar keberanian itu.

Tian akhirnya tersenyum, kali ini lebih hangat. "Kamu berani, Revan. Itu sudah jadi nilai plus di mataku. Tapi ingat, urusan hati bukan cuma soal izin dari seorang ayah … yang paling penting adalah izin dari putriku."

Ia menoleh ke Tasya yang langsung tersentak. "Jadi, Sya … kamu sendiri gimana?"

Tasya terpaku, matanya bergantian menatap wajah papanya yang tampak senang, lalu beralih ke Revan yang menunggu jawabannya dengan penuh harap. Hatinya berdebar tak karuan, seakan semua udara di restoran tiba-tiba menghilang.

"Papa …" suaranya lirih, hampir bergetar.

Tian tersenyum lembut. "Papa nggak akan maksa kamu, Sya. Tapi Papa bisa lihat, Revan ini benar-benar serius sama kamu."

Revan menunduk sedikit, lalu menatap Tasya dengan sorot yang begitu tulus. Tidak ada paksaan, hanya harapan.

Tasya menggigit bibirnya. Dalam hatinya, ia menjerit.

Aku nggak mau menyakiti kamu, Revan. Tapi bagaimana kalau penyakit ini membuatku hancur? Bagaimana kalau suatu hari kamu yang harus menanggung luka karena aku?

Ia menunduk, menyembunyikan mata yang mulai berkaca-kaca. "Aku …" suaranya serak, lalu ia terdiam, tak mampu melanjutkan.

Revan meraih napas panjang, seolah memahami kegelisahan itu. "Sya, kamu nggak perlu jawab sekarang. Aku cuma ingin kamu tahu … aku di sini. Aku nggak akan pergi."

Kata-kata itu membuat dada Tasya semakin sesak. Papanya tersenyum tipis, jelas melihat konflik batin putrinya, tapi ia memilih tidak menekan lebih jauh.

"Baiklah," Tian menepuk pelan bahu Revan. "Kita nikmati makan siang dulu, ya? Urusan hati… biar mengalir sesuai waktunya."

Tasya mengangguk kecil, meski dalam hati, pertarungan perasaannya semakin berat.

"Papa ke toilet sebentar." Laki-laki paruh baya itu bangkit berdiri.

Setelah Papa Tian pergi ke toilet, suasana meja mendadak sunyi. Hanya ada Tasya dan Revan yang duduk berhadapan, dan ketegangan di antara mereka terasa nyata.

Tasya meletakkan sendoknya dengan sedikit keras, lalu menatap Revan tajam. "Kamu tuh … kenapa, sih? Berani-beraninya ngomong kayak gitu ke Papa. Kamu pikir semua ini gampang?"

Revan menautkan alis, tapi wajahnya tetap tenang. "Aku cuma jujur sama perasaan aku, Sya. Salah?"

"Salah kalau caranya kayak gini!" suara Tasya sedikit meninggi. Ia buru-buru menunduk, takut orang sekitar menoleh. "Kamu nggak pernah mikirin aku. Aku masih punya banyak impian dan hidup aku nggak pernah ada waktu untuk ngomongin soal cinta!"

Revan mencondongkan tubuh, menatapnya lekat-lekat. "Justru karena aku mikirin kamu, Sya. Aku nggak mau terus berpura-pura. Aku nggak mau lihat kamu pura-pura kuat sendirian."

Tasya tercekat, hatinya panas. Ia ingin membalas, ingin bilang kalau Revan nggak tahu apa-apa tentang apa yang dia tanggung. Tapi sebelum sempat bicara lagi, suara Revan terdengar, lebih pelan namun mantap.

"Aku sayang sama kamu, Sya."

Tasya membeku. Kata-kata itu sederhana, tapi menghantam tepat di dadanya. Matanya bergetar, bibirnya terbuka, namun tak ada kata keluar.

Revan melanjutkan, nadanya dalam. "Mau kamu dorong aku pergi, mau kamu pasang tembok setinggi apapun … perasaan aku nggak akan berubah. Aku tetap sayang sama kamu."

Tasya hanya bisa menunduk, menggenggam tisu erat-erat untuk menahan gemetar di tangannya. Ada marah, ada bingung, tapi juga ada rasa hangat yang diam-diam menembus pertahanannya.

Saat itulah Papa Tian kembali dari toilet, membuat suasana kembali normal seolah tidak terjadi apa-apa. Hanya saja, hati Tasya kini semakin berkecamuk.

Tian menatap putrinya yang wajahnya tampak semakin pucat. Senyum hangat terulas di bibirnya, meski jelas ada nada khawatir.

"Sya, kamu kelihatan pucat banget, kamu pulang duluan aja istirahat. Biar nanti mobil kamu orang kantor yang urus bawa pulang ke rumah."

Tasya buru-buru menggeleng. "Tasya masih kuat nyetir kok, Pa."

"Udah, nggak usah ngeyel." Tian menepuk tangan putrinya lembut. "Revan, tolong anterin Tasya pulang, ya?"

Tasya langsung menoleh ke Revan, matanya melebar. "Pa … beneran deh, Tasya masih kuat nyetir mobil sendiri."

"Nggak ada tapi-tapian." Suara Tian tegas kali ini. "Papa lebih tenang kalau ada yang jagain kamu. Dan Papa tahu, Revan bisa dipercaya."

Revan yang sejak tadi diam hanya menatap Tasya dengan sorot mata mantap, tanpa berniat membantah keputusan Tian.

"Baik, Pak. Saya antar Tasya pulang."

Hati Tasya bergejolak. Ia ingin menolak, ingin mengatakan bahwa ia bisa menjaga dirinya. Tapi melihat tatapan papanya yang tak memberi ruang untuk bantahan, ia hanya bisa menghela napas.

Beberapa menit kemudian, mereka sudah berada di mobil Revan. Suasana di dalam mobil sunyi, hanya suara AC yang terdengar. Tasya duduk menatap jendela, berusaha menghindari kontak mata.

Revan melirik sekilas, melihat wajahnya yang pucat dan lelah. "Mau aku beliin obat?"

"Nggak perlu," jawab Tasya cepat, terlalu datar untuk terdengar meyakinkan.

Revan hanya mendengus pelan, tak mau memperdebatkan. Tapi genggaman tangannya di setir semakin erat, seakan menahan keinginan untuk mengulurkan tangan dan menggenggam jemari Tasya.

Sepanjang jalan, hati Tasya berkecamuk. Ia tahu Revan benar-benar tulus. Ia bisa merasakannya. Tapi justru itu yang membuatnya takut—takut membiarkan dirinya jatuh, lalu akhirnya membuat Revan terluka.

Sampai mobil berhenti di depan rumahnya, Tasya masih belum berkata sepatah kata pun. Ia membuka seatbelt dengan tergesa. "Makasih udah nganter. Kamu bisa pulang sekarang."

Revan menoleh, suaranya tenang namun tegas. "Aku tunggu sampai kamu masuk rumah."

Tasya menelan ludah, hatinya tergetar tanpa bisa ia kendalikan. Dengan langkah cepat, ia masuk ke rumah, meninggalkan Revan yang berdiri di samping mobil, masih menatap punggungnya dengan perasaan yang sulit diungkapkan.

TO BE CONTINUED

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!