Lovy Crisela Luwiys—gadis ceplas-ceplos yang dijuluki Cegil—dipaksa menikah dengan Adrian Kaelith Evander, pewaris dingin sekaligus Casanova kelas kakap.
Bagi Lovy, ini bencana. Wasiat Neneknya jelas: menikah atau kehilangan segalanya. Bagi Kael, hanya kewajiban keluarga. Namun di balik tatapan dinginnya, tersimpan rahasia masa lalu yang bisa menghancurkan siapa saja.
Niat Lovy membuat Kael ilfil justru berbalik arah. Sedikit demi sedikit, ia malah jatuh pada pesona pria yang katanya punya dua puluh lima mantan. Casanova sejati—atau sekadar topeng?
Di tengah intrik keluarga Evander, Lovy harus memilih: bertahan dengan keanehannya, atau tenggelam di dunia Kael yang berbahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Myra Eldane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Donovan Mendekat
Pesta mulai mereda, tapi bukan berarti menjadi tenang.
Musik klasik masih mengalun, hanya saja tidak lagi semegah sebelumnya—seperti orkestra yang sengaja menurunkan volume, memberi sinyal halus pada para tamu bahwa malam akan segera berakhir. Chandelier raksasa di langit-langit masih memantulkan cahaya, tapi kini kilau itu terasa dingin, seperti senyum palsu yang dipertahankan terlalu lama.
Satu per satu tamu meninggalkan aula, gaun-gaun panjang mereka bergesekan di lantai marmer. Aroma parfum mahal bercampur dengan wangi manis sampanye, membentuk kabut tipis yang memabukkan, seolah sisa pesta itu masih ingin menempel di kulit siapa pun yang hadir.
Lovy berdiri di tepi aula, matanya mengikuti semua itu dengan perasaan campur aduk. Rasanya seperti menonton pertunjukan besar—bedanya, kali ini ia bukan sekadar penonton. Ia ikut jadi pemerannya, terjebak di panggung megah yang penuh tatapan dan bisikan.
Kael berdiri agak jauh, berbicara dengan Damiam, ayahnya. Bahu keduanya sama-sama tegap, ekspresi wajah datar, tapi bahasa tubuh mereka bicara lebih keras daripada kata-kata. Lovy tidak mendengar isi percakapan itu, tapi tatapan serius Kael dan ayahnya sudah cukup jadi tanda: ini bukan sekadar basa-basi pesta.
Samuel datang dengan langkah malas, membawa dua gelas sampanye. Dia menyerahkan satu pada Lovy.
"Kayaknya kita butuh ini," katanya, mengangkat gelasnya sendiri seolah bersulang ke udara.
Lovy menerima gelas itu, menatap cairan keemasan di dalamnya tanpa langsung meneguk. "Aku merasa... pesta ini bukan pesta normal, Kak."
Samuel menaikkan satu alis. "Apa yang kamu maksud dengan 'normal', Lov?"
Lovy melirik sekeliling, lalu mengangkat bahu. "Kael itu kan reputasinya Casanova. Aku pikir bakal ada antrean panjang mantan yang datang kayak reuni akbar. Aku siap-siap kalau ada yang datang sambil melempar sepatu atau mungkin cerita drama. Tapi yang muncul cuma satu... Maribel itu. Dan dia akhirnya mandi saus tartar."
Samuel hampir tersedak sampanye, buru-buru menutup mulut dengan punggung tangannya. "Lov—"
"Aku serius!" Lovy menurunkan suaranya, makin mendekat. "Kenapa cuma satu? Jangan-jangan mantan-mantan Kael diundang di pesta lain makanya nggak sempat datang ke sini? Atau..." dia menoleh kanan-kiri, menurunkan suara jadi bisikan, "mereka semua sudah 'diamankan' sebelum pesta?"
Samuel menggeleng, tapi senyumnya geli. "Komentar kamu bikin suasana serem jadi agak konyol."
Lovy menatap Kael sekilas, lalu menggumam, "Atau jangan-jangan... Kael sendiri yang diam-diam 'mengamankan' mereka?"
Samuel menahan tawa. "Kalau kamu ngomong begini di depan Kael, aku yakin dia bakal mulai menyesal ngajak kamu ke pesta."
"Mana mungkin menyesal. Aku ini juga termasuk tamu penting!"
"Ya, ya, ya, calon istri tuan muda Evender."
Lovy baru saja hendak meneguk sampanyenya ketika sebuah suara berat terdengar di belakangnya.
"Lovy Crisela Luwiys."
Nama lengkapnya disebut dengan artikulasi sempurna. Lovy refleks menoleh.
Donovan berdiri di sana. Jas abu-abu gelapnya rapi tanpa cela—seolah setrika takut kalau sampai ada kerutan di sana. Mata abu-abunya dingin, bukan dingin seperti AC hotel, tapi dingin yang bikin jantung ikut menciut.
"Oh... halo, Mr. Donovan," kata Lovy, mencoba terdengar biasa. "Anda tadi yang... kayak pengawas ujian itu, kan?"
Alis Donovan sedikit terangkat. "Pengawas ujian?"
Lovy tersenyum kikuk. "Ehe... bercanda. Aku cuma... berusaha ngobrol santai. Soalnya semua orang di pesta ini... kelihatannya menegangkan."
Donovan tidak tertawa. Ia juga tidak marah. Hanya menatap Lovy lama, tatapan yang membuatnya merasa seperti sedang di-scan, dari ujung rambut sampai ke isi pikirannya.
"Kamu terlihat... terlalu santai untuk acara sebesar ini," katanya akhirnya, suaranya datar tapi seperti ada pisau tersembunyi di balik nada itu.
Lovy mengangkat bahu, mencoba ringan. "Kalau aku ikut tegang, semua orang pingsan, Mr. Donovan. Masa depan Evander bisa kacau cuma karena aku panik."
Donovan melangkah setengah langkah mendekat. Suaranya turun lebih dalam. "Pernikahan lima hari lagi... kamu yakin siap?"
Pertanyaan sederhana. Tapi nadanya seperti menguji ketahanan baja. Jari-jari Lovy otomatis menggenggam gelas sampanye lebih erat.
"Eh... siapin mental sih, iya. Kalau detailnya? Ya, aku nggak tahu juga. Kepo banget sih," jawabnya, setengah bercanda setengah jujur.
Donovan tersenyum tipis. Senyum yang anehnya tidak menenangkan—lebih mirip senyum orang yang tahu rahasia, tapi memilih diam. "Kadang ada hal-hal yang tidak diberitahu di awal. Pastikan kamu kuat mendengar semuanya nanti."
Lovy hampir bertanya "hal-hal apa?", tapi suara anggun tiba-tiba memotong.
"Donovan."
Isabelle Evander, ibu Kael, muncul. Senyumnya lembut, tapi tajam seperti kaca yang dipoles. "Sepertinya kamu terlalu membuat Lovy tegang."
Donovan hanya mengangguk singkat, lalu mundur. Tatapannya yang berat itu pergi bersama langkahnya, tapi bekasnya masih terasa di dada Lovy—seperti udara dingin yang belum sempat hilang.
Isabelle menatap Lovy dari ujung kepala sampai ujung sepatu, seperti kurator menilai karya seni baru. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya, suaranya tenang.
Lovy mengangguk cepat, mencoba menahan rasa gugup. "Baik, Ma. Hanya... agak bingung harus duduk di mana, berdiri di mana. Kayak main ular tangga."
Isabelle tidak tertawa, tapi bibirnya melengkung sedikit. Senyum samar—cukup untuk memberi rasa lega kecil di dada Lovy.
"Kamu akan belajar, Lovy. Lima hari bukan waktu yang panjang, tapi cukup untuk membiasakan diri," kata Isabelle.
Lovy mengangguk. "Lima hari untuk belajar jadi 'nyonya besar', ya? Semoga ada buku panduannya. Kalau ada bab 'cara berjalan di heels selama tiga jam tanpa pingsan', aku yang pertama akan membacanya."
Samuel yang kebetulan lewat hampir tersedak lagi. "Kalau ada, aku pinjam bukunya juga."
Kael akhirnya muncul. Pandangannya langsung mencari Lovy. Tatapannya sedikit melunak begitu menemukan gadis itu, tapi sebelum benar-benar tenang, matanya sempat menatap Donovan yang menjauh. Ada ketegangan halus di sana—ketegangan yang hanya mereka pahami.
"Apa dia bicara sesuatu padamu?" tanya Kael singkat, suaranya dingin tapi terkendali.
Lovy menelan ludah. "Cuma... ya, tanya-tanya soal pernikahan. Cara ngomongnya bikin aku keringetan, padahal ruangan ini dingin."
Kael mengangguk pelan, tapi rahangnya mengeras. "Jangan hiraukan dia."
Lovy menatap Kael, mencoba membaca wajahnya. "Aku harusnya percaya begitu saja?"
Kael mendekat, suaranya rendah, hanya untuk Lovy. "Percayalah padaku! Bukan padanya! Ada hal-hal yang akan kujelaskan. Tapi belum malam ini."
Lovy menggigit bibir. Ia ingin bertanya "kenapa belum malam ini?", tapi tatapan Kael jelas berkata: ini bukan waktunya.
****
Lovy melangkah ke balkon. Ia butuh udara. Udara malam menusuk—dingin tapi membebaskan. Ia bersandar di pagar besi, menatap ke halaman luas mansion.
Di kejauhan, ia melihat Donovan. Pria itu berdiri di luar aula, punggungnya tegap, satu tangan memegang ponsel. Suaranya terdengar ditelinga Lovy. Begitu rendah tapi tajam, seperti pisau menggores kaca.
"Lima hari lagi," katanya datar, "kita tunggu saja. Semua akan bergerak. Rencana hari ini ditunda dulu."
Lovy membeku merasa was was. Kata-kata itu seperti kabut yang menyelimuti pikirannya. Semua akan bergerak? Apa maksudnya? Bergerak ke mana? Aku atau dia yang akan digeser?
****
Mobil keluarga Evander akhirnya membawa Lovy dan Kael meninggalkan mansion. Jalanan malam sunyi, hanya suara mesin yang memecah hening.
Mereka mengenakan mobil karena cukup jauh jika harus berjalan kaki. Meskipun masih di wilayah mansion Evender.
Lovy menatap keluar jendela. Lampu kota berkelebat seperti bintang jatuh, tapi pikirannya tidak ikut tenang. Ia menoleh ke Kael yang duduk di sampingnya.
"Kael... aku rasa pesta ini cuma pembukaan, kan?"
Kael menatap lurus ke depan. Diam. Lalu, dengan suara pelan tapi jelas, ia berkata, "Ya, Lovy. Badai sebenarnya belum datang. Mungkin."
Lovy meremas rok gaunnya pelan. Ia tahu malam itu ia tidak akan bisa tidur nyenyak—karena firasatnya berkata, pesta ini hanyalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.
.
.