"Ini putri Bapak, bukan?"
Danuarga Saptaji menahan gusar saat melihat ponsel di tangan gadis muda di hadapannya ini.
"Saya tahu Bapak adalah anggota dewan perwakilan rakyat, nama baik Bapak mesti dijaga, tapi dengan video ini ditangan saya, saya tidak bisa menjamin Bapak bisa tidur dengan tenang!" ancam gadis muda itu lagi.
"Tapi—"
"Saya mau Bapak menikah dengan saya, menggantikan posisi pacar saya yang telah ditiduri putri Bapak!"
What? Alis Danu berjengit saking tak percaya.
"Saya tidak peduli Bapak berkeluarga atau tidak, saya hanya mau Bapak bertanggung jawab atas kelakuan putri Bapak!" sambung gadis itu lagi.
Danu terenyak menatap mata gadis muda ini.
"Jika Bapak tidak mau, maka saya akan menyebarkan video ini di media sosial!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 11. Pre Bucin Era
"Ada apa?"
Danu bertanya sebab Beby berulang kali menoleh ke belakang seolah memastikan sesuatu.
Beby menghela napas panjang ketika mobil Danu mulai menjauhi lokasi tempatnya bertemu Danu. Ia menoleh sekali lagi lalu menatap Danu lega, tapi masih jelas raut ketegangan di wajahnya.
"Tadi ada yang ngikutin saya," jawab Beby sedikit ngos-ngosan.
"Ngikutin?" ulang Danu dengan alis saling bertaut. Ia juga segera memeriksa belakang sekilas, "siapa?"
"Kalau saya tau, saya nggak bakal minta tolong sama Bapak." Beby sewot. Bibirnya langsung monyong lima senti.
"Maksudnya, kamu ada masalah sama siapa kok bisa sampai diikuti? Dari mana mereka ngikutinya?" Danu sekilas menatap Beby lalu berkata sembari menahan senyum.
"Pas beli bakso kita sama-sama antri, lalu dia tanya-tanya, kaya rumahnya dimana, udah nikah belum, dan lain-lain. Pas aku udah sampai jembatan itu, tau-tau orang itu sudah dibelakangku, jelas aku takut, dia mengikuti terus. Aku lari dia lari, aku pelan-pelan, dia juga ikut pelan! Siapa yang tidak takut coba, Pak?" Beby bercerita sembari memperagakan apa yang terjadi tadi. Gerakan tangannya cukup luwes dan mempresentasikan kejadian juga keadaan yang ada, jadi membuat Danu seolah bisa melihat apa yang terjadi.
"Beruntung jumpa Bapak disana tadi!"
Danu hanya tersenyum singkat sebagai respons.
"Semoga orang tadi hanyut kebawa hujan! Mana hujannya makin deres begini!" ujar Beby sembari terus melongok ke belakang. "Kalau mau dirampok, rampok apanya coba? Harta cuma nyawa doang juga."
Danu lagi-lagi tersenyum mendengar itu. Benar, hujan mendadak makin deras seiring bertambahnya malam. Danu bahkan harus mempercepat wiper mobil agar air hujan yang membanjiri kaca tidak menggangu jarak pandang Danu.
"Perempatan itu belok kiri, Pak ... rumah saya cat putih." Beby menunjuk perempatan depan begitu santai.
"Tapi semua cat putih, Beb!" Danu samar melihat cat perumahan ini. Yap, perumahan nol persen ini digagas oleh dirinya bersama bupati diam-diam, lalu dicetuskan oleh orang-orang kepercayaan bupati yang saat ini ditempatkan diposisi strategis pembangunan agar apapun rencana pembangunan tidak melewati proses yang panjang.
"Oh iya," gumam Beby merasa bodoh.
"Blok VI, kan?" tebak Danu.
"Kok tau?"
"Itu unit baru yang kiri kanannya masih dalam tahap pengembangan! Kamu kerja paling lama 2-3 tahun, paling banter kamu beli unit tahun lalu dimana Blok VI baru pre order. Kamu serah terima kunci sekitar 5 atau 6 bulan lalu, kan?"
Kening Beby berkerut. "Kok Bapak tau, sih? Bapak mata-mata, ya? Bapak menyelidiki saya, ya?" gerung Beby curiga.
"Saya yang modali Blok V dan VI, yang dikhususkan buat generasi muda seperti kamu, makanya cicilannya sampai 15 tahun."
Beby menganga. Ia lupa sama sekali Danu adalah orang yang sangat terpandang juga berpengaruh di sini. Seketika ia bersikap sangat sopan dan duduk dengan sangat baik.
"Itu rumah saya, Pak!" ujar Beby lembut. Beby akhirnya menunjuk rumahnya yang berada paling pinggir. Ketika Danu menghentikan mobil di depan halaman, Beby membungkuk sopan. Mukanya sudah sangat merah dan tak karuan. Entah bagaimana dia bisa lupa pada jabatan duniawi Danu.
"Terimakasih atas tumpangannya, Pak ...."
"Sama-sama," jawab Danu sedikit merentangkan senyumnya meski tidak berbalas. Beby bahkan tidak melihat kearahnya lagi.
Ketika Beby turun dengan memakai tangan sebagai payung, Danu juga ikut turun setelah mengambil payung miliknya.
Dia berhasil menyusul Beby yang sedang membuka pintu rumah dan meletakkan payung yang basah di sisi sebuah pot dekat pintu.
Beby kaget melihat Danu tiba-tiba sudah berada di sisinya.
"Bapak ngapain disini?" tanya Beby benar-benar keheranan.
"Mampir!" jawab Danu enteng.
"Lah, saya kan nggak nyuruh—"
Seketika suasana menjadi sangat canggung baik bagi Beby maupun Danu. Beby merasa sangat tidak sopan jika mengusir Danu atau berkata frontal. Danu pun entah mengapa dia bisa singgah disini bahkan tanpa undangan dari pemilik rumah.
Danu merasa dia punya hak untuk berada disini. Ya-ya, tentu karena sudah berbuat baik pada Beby wajib berterimakasih dengan benar.
Beby melipat bibir untuk mengatasi kecanggungan. Tapi hingga beberapa menit mereka saling pandang dan sama-sama mengalihkan pandangan saat bertemu tatap, tidak juga ada yang memutuskan bagaimana baiknya.
"Sa—"
"DUAR!"
"Akhhh—!" pekik Beby kaget seraya menutup telinga. "Sial—lalalalalala!"
Ia urung mengumpat sebab didepannya ada Danu sedang memperhatikannya. Segera ia bersikap normal dan berdehem.
"Sebaiknya tunggu hujan reda, Pak ... biar pake mobil, didepan sering banyak pohon tumbang atau ranting besar patah!"
Danu berkedip dua kali. "Ya—terimakasih."
Beby membuka pintu, "masuk Pak, saya buatkan kopi."
Beby masuk ke dalam rumah dengan gerak paling cepat yang dia bisa. Kakinya menendang beberapa barang yang tergeletak di ruang depan seperti helm, tas kerja, berkas-berkas pekerjaannya. Bukannya dia malas merapikan, hanya sedang tidak punya selera untuk bersih-bersih. Apalagi ini belum tanggalnya dia mens, biasanya ketika mens, rumah yang tampak tidak rapi akan terasa semrawut dan merusak pemandangan matanya, jadi dia seharian akan membersihkan rumah seisinya. Tanpa mengeluh kelelahan.
Langkah Beby jadi tidak seimbang ketika menendang bantal mini yang ia pakai untuk duduk di lantai, sehingga ia nyaris terhuyung. Beruntung Danu bisa menangkapnya dengan mudah—
"Hati-hati!"
—bantalnya! Bantal yang ditendang Beby untuk dibawa ke sofa.
"Maaf, rumah saya berantakan." Beby menggaruk kepalanya. "Bapak mau kopi hitam atau saset?"
"Adanya apa?"
"Kopi hitam saset!" jawab Beby polos. "Yang sudah di mix sama gula jadi saya tidak perlu beli gula lagi untuk ngopi."
Danu menahan tawa. "Ya sudah, seadanya saja! Tapi maaf loh, jadi merepotkan."
"Nggak apa-apa, Pak ... saya repot sesekali, Pak ... sisanya repot banget—hehe!"
Jawaban Beby membuat Danu tertawa terbahak-bahak.
"Bapak pasti repot terus, kan? Sampai belum pernah repot sesekali?" canda Beby setengah tengsin. Ini di depannya anggota dewan loh, sekali lagi "ANGGOTA DEWAN YANG TERHORMAT"
Masih saja dibecandain! Beby-Beby! Mau kamu besok jadi tumbal kekuasaan Danu?
Beby membiarkan Danu tertawa sampai puas. Ia memilih ngacir ke dapur dan menyeduh kopi, kemudian dihidangkan ke meja depan.
Danu tampak duduk masih dengan tawa tersisa di bibirnya.
"Diminum, Pak!" ujar Beby mempersilakan. "Harusnya sih enak, soalnya bagiku kopi itu enak."
Danu nyengir dan menyeruput kopi hitam tersebut. "Enak kok—"
"Nggak kepanasan?"
Danu terdiam. Jelas sekali kalau Danu belum meminumnya karena terasa sangat panas meski baru dilihat saja.
Saat Beby berdiri, perutnya keroncongan karena menahan lapar cukup lama. Danu mendongak dan langsung paham.
"Makan saja dulu, nanti sakit kalau telat makan!" Danu merasa tidak enak hati menunda jam makan malam anak orang. "Santai saja!"
Beby yang memang tidak punya rasa sungkan saat lapar itu segera melesat ke dapur untuk menyantap baksonya. Namun, ketika bakso dituang, suara perut Danu juga terdengar dari posisi duduk Beby.
"Bapak lapar?" tanya Beby datar.
"Makan aja, aku cuma—" Danu tidak bisa menyelesaikan ucapannya. Dia baru ingat kalau belum makan sejak siang tadi. Acara lamaran yang seyogyanya bisa mengobati rasa lapar itu justru menjadi ajang eliminasi bagi pemilik rumah. Danu bahkan tidak ingat kejadian tadi sama sekali sejak bertemu Beby.
"Saya bisa makan nanti pas di rumah, atau pesan online!" Danu mengambil ponsel dan mencari tempat makan terdekat yang buka.
"Kalau hujan banyak driver yang milih libur, Pak! Kawasan sini beneran rawan banjir dan pohon tumbang."
"Saya makan di rumah saja—kruuk-kriiukukuk!" suara perut Danu memutus ucapannya sendiri. Sialan, laparnya benar-benar tidak tertahan apalagi mencium aroma bakso mercon yang Danu tahu itu adalah langganan anak-anak saat lembur.
"Saya tambah nasi lalu bagi dua, Pak!" Beby mengambil nasi dari magic com. "Nggak usah sungkan, Pak! Daripada asam lambung naik!"
Danu tidak punya pilihan selain ikut makan bakso dibagi dua itu dan ditambah nasi hingga kuahnya tidak tampak lagi.
"Selamat makan, Pak!
" Kamu juga, selamat makan!"
Danu menyantapnya tanpa jeda. Tampak nikmat dari caranya makan. Beby tersenyum melihat betapa lahap Danu makan, seperti tidak makan selama setahun saja. Beby urung menyuap, justru ia mengambil air putih dan sambal tambahan.
Namun, ketika Beby hendak kembali, lampu mendadak padam.
"Aakh!"
"Beby, tenang! Berhenti disana!" perintah Danu seraya menyalakan ponsel. Ia mengarahkan cahaya ponsel ke arah Beby diperkirakan berada.
Beby berjalan pelan ke posisi Danu berdiri. Namun karena kurang hati-hati, Beby tersandung dan jatuh menubruk Danu hingga membuat ponsel Danu jatuh.
Sialnya, jatuhnya tengkurap hingga kegelapan menyelimuti ruangan.
"Maaf, Pak! Nggak sengaja!" Beby mencoba menjauhkan diri dari Danu, tapi dia salah berpegangan.
"Astaghfirullah, Pak! Apa ini, Pak? Besar sekali!"
___
Apanya yang besar?
sampai Danu mencerailan mila dan clara sadar diri bahwa dia hanya anak sambung yg menyianyikan kasih sayang ayah sambungnya 💪
mila mila sombongnya tdk ketulungan sm Danu
merasa dulu cantik anak pejabat