NovelToon NovelToon
TERJEBAK DALAM LUKA DAN HASRAT

TERJEBAK DALAM LUKA DAN HASRAT

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Romansa
Popularitas:7.5k
Nilai: 5
Nama Author: Reetha

Sudah 12 tahun sejak Chesna Castella Abram tidak lagi pernah bertemu dengan teman dekatnya saat SMA, Gideon Sanggana. Kala itu, Gideon harus meninggalkan tanah air untuk melakukan pengobatan di luar negeri karena kecelakaan yang menimpanya membuat ia kehilangan penglihatan dan kakinya lumpuh, membuatnya merasa malu bertemu semua orang, terutama Chesna. Di tahun ke 12, saat ia kini berusia 27 tahun, Gideon kembali ke tanah air, meski kakinya belum pulih sepenuhnya tapi penglihatannya telah kembali. Di sisi lain, Alan saudara kembar Chesna - pun memiliki luka sekaligus hasrat mengandung amarah tak terbendung terhadap masa lalunya sejak lima tahun silam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4

Suasana ruang rapat Castella Medical Center sore itu tenang, hanya terdengar detik jam dinding dan lembutnya hujan yang mulai turun di luar.

Ruangannya beraroma kopi hangat dan antiseptik yang khas, dengan cahaya lampu putih yang jatuh lembut di meja panjang berlapis kaca.

Chesna menata beberapa berkas di hadapannya, memastikan semuanya tampak rapi padahal tangannya sedikit bergetar.

Ia tidak tahu kenapa jantungnya berdetak secepat ini, padahal rapat ini seharusnya biasa saja.

Sampai pintu terbuka.

“Selamat sore, Dokter Castella.” Suara itu. Dalam, tenang, tapi cukup untuk membuat udara seolah berhenti.

Gideon berdiri di ambang pintu dengan tongkat penyanggah di tangan kanan dan kacamata tipis di wajahnya.

Tubuhnya tegap, wibawa itu jelas terpancar bukan lagi remaja dua belas tahun lalu, melainkan pria dewasa yang kini kembali dengan cara yang berbeda.

“Tuan Sanggana,” balas Chesna datar, menjaga profesionalitasnya. “Silakan duduk.”

Gideon mengangguk sopan, lalu perlahan berjalan mendekat.

Setiap langkahnya menimbulkan bunyi kecil di lantai marmer.

Chesna berusaha tidak memperhatikan cara ia menumpu beban pada tongkatnya tapi matanya, diam-diam mengikuti.

Ia duduk di seberang Chesna, menatapnya sekilas sebelum pandangannya jatuh ke berkas di meja.

“Aku datang mewakili Sanggana Group, untuk meninjau proposal kerja sama di bidang rehabilitasi saraf. Kami tertarik dengan hasil penelitian klinikmu yang belakangan cukup banyak dibicarakan.”

Nada suaranya tegas, berwibawa benar-benar nada seorang direktur.

Tapi di sela kalimat yang rapi itu, Chesna bisa merasakan sesuatu yang lain, jarak yang disengaja.

Seolah ia membangun dinding tak kasatmata di antara mereka.

“Aku menghargai ketertarikan kalian,” jawab Chesna tenang. “Namun jujur, aku tidak menyangka akan bekerja sama dengan Sanggana Group. Apalagi... denganmu.”

Gideon menatapnya untuk pertama kalinya dengan sungguh-sungguh.

Tatapan yang tajam tapi tak menusuk, hanya cukup dalam untuk membuatnya gugup sesaat.

“Aku juga tidak menyangka akan berhadapan langsung denganmu, Dokter Castella,”  ujarnya perlahan, hampir terdengar seperti sindiran lembut.

Keheningan sejenak menyusul.

Chesna memalingkan wajah, pura-pura memeriksa berkas.

“Baiklah, kita mulai dari tujuan kerja sama,” katanya datar, mencoba mengembalikan suasana formal.

“Castella Medical Center memang berfokus pada pasien dengan gangguan saraf berat, sementara Sanggana Group memiliki fasilitas rehabilitasi teknologi tinggi. Kombinasinya akan saling menguntungkan.”

“Kombinasi yang ideal,” sahut Gideon, menautkan jemari di atas meja. “Meski aku penasaran... kenapa kau menamai klinik ini Castella?”

Pertanyaan itu membuatnya menoleh cepat, sedikit terkejut.

“Namaku sendiri. Juga berarti benteng kecil.”

Senyumnya hambar. “Tempat orang-orang yang terluka bisa mulai berdiri lagi.”

Ada keheningan beberapa detik.

Lalu Gideon menunduk sedikit, tersenyum samar.

“Kau memang selalu punya alasan yang kuat untuk setiap hal.”

Chesna tidak menanggapi. Ia hanya memalingkan pandangan, merapikan map di depannya lagi tapi hatinya tidak tenang.

Ia bisa merasakan bagaimana setiap kata Gideon terucap dengan hati-hati, seolah mereka berdua sedang menapaki tanah rapuh, yang jika satu langkah salah, dan masa lalu bisa pecah di hadapan mereka.

“Jadi,” ujar Chesna akhirnya, memecah diam. “Kerja sama ini akan bersifat sementara sampai hasil uji program rehabilitasi selesai.”

“Tentu,” jawab Gideon datar. “Aku juga tidak berencana menjadikannya lebih dari itu.”

Kata-kata itu terdengar profesional, tapi entah kenapa menusuk aneh di dada Chesna.

Ia tidak tahu kenapa.

Mungkin karena suaranya terlalu dingin.

Atau mungkin karena sebagian dirinya masih belum terbiasa mendengar Gideon berbicara tanpa nada hangat yang dulu selalu ia kenal.

“Baik. Kami akan siapkan jadwal uji coba program minggu depan.”

“Aku akan datang langsung memantau,” jawab Gideon cepat. “Kalau kau tak keberatan.”

Chesna menatapnya sekilas, lalu mengangguk pelan. “Silakan.”

Beberapa detik hening lagi.

Lalu Gideon berdiri, menegakkan tongkatnya, dan mengulurkan tangan.

“Terima kasih atas waktumu, Dokter Castella. Aku harap kerja sama ini berjalan baik.”

Chesna ragu sejenak, tapi akhirnya menyambut uluran tangan itu.

Sentuhannya singkat tapi cukup untuk menyalakan sesuatu yang sudah lama padam.

Jantungnya berdetak cepat tanpa alasan yang bisa dijelaskan.

“Tentu,” jawabnya, dengan suara yang sedikit bergetar. “Kita akan lihat hasilnya nanti.”

Gideon tersenyum tipis senyum yang tidak bisa dibaca, antara formal dan terlalu pribadi.

Lalu ia berbalik, meninggalkan ruangan perlahan.

Begitu pintu menutup di belakangnya, Chesna akhirnya menghela napas panjang.

Tangannya masih terasa hangat dan entah kenapa, seolah setiap detak jam di dinding kini berdentang lebih keras dari biasanya.

“Kerja sama, ya…” gumamnya pelan, menatap map di hadapannya.

“Kalau saja itu benar-benar sesederhana itu.” Chesna tidak menyangka, kali ini diantara Gideon dan dirinya hanya ada sesuatu yang bernama kerja sama.

__

Sudah hampir dua minggu sejak pertemuan formal itu.

Dan selama dua minggu itu pula, Gideon Sanggana mulai muncul di Castella Medical Center… terlalu sering untuk ukuran seorang direktur yang katanya “hanya ingin meninjau kerja sama.”

Kadang pagi-pagi sekali, saat para dokter baru datang.

Kadang sore menjelang malam, saat klinik hampir tutup.

Selalu dengan alasan yang terdengar masuk akal, “ingin memastikan data rehabilitasi,” “memeriksa laporan pasien,” “mengevaluasi hasil observasi.”

Tapi bagi semua orang di klinik, satu hal sudah jelas. Tuan Sanggana tidak datang hanya untuk urusan data.

Chesna sedang memeriksa hasil MRI pasien ketika suara langkah itu terdengar lagi.

Ritme langkah yang khas pelan, mantap, tapi penuh kendali.

Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.

“Kau datang lagi,” katanya tanpa mengangkat wajah dari layar monitor.

“Aku pikir kau akan senang melihatku bekerja keras memantau proyek kita,” jawab Gideon tenang, menurunkan jas hitamnya di kursi depan meja.

“Kau bukan tim medis, Gideon. Tugasmu hanya menandatangani laporan.”

“Ah, tapi kalau aku tidak melihat langsung, bagaimana aku bisa tahu laporanmu jujur?”

Nada suaranya tenang, tapi terselip senyum tipis yang membuat dada Chesna bergetar tanpa alasan jelas.

Ia menatapnya cepat, lalu kembali ke layar.

“Kau meragukanku?”

“Bukan meragukan,” katanya pelan, “hanya memastikan.”

Keheningan sesaat.

Hanya suara mesin pendingin ruangan dan detak jarum jam di dinding.

Gideon memandang ruangan itu dengan sorot mata penuh penilaian. Rapi, modern, tapi juga hangat.

“Klinik ini mencerminkanmu,” katanya tiba-tiba. "Dingin, tapi hangat."

Chesna menghentikan pekerjaannya. “Aku harap beneran evaluasi.”

“Sedikit keduanya,” jawab Gideon santai, membuatnya nyaris tersenyum tanpa sadar.

Lalu datanglah Nadia, asisten pribadi Chesna, dengan gaya bicara blak-blakan yang khas.

“Dokter, maaf mengganggu, tapi sepertinya Tuan Gideon suka sekali datang ke sini ya. Saya kira Direktur perusahaan besar tidak punya waktu nongkrong di klinik kecil.”

Chesna hampir tersedak udara.

“Na-dia,” suara Chesna dengan nada peringatan.

Tapi Gideon justru tersenyum kecil. “Tidak apa-apa. Aku justru senang diingatkan. Artinya aku cukup sering datang untuk dianggap… nongkrong.”

“Tentu, Tuan. Nongkrong yang elegan,” balas Nadia sambil tersenyum nakal sebelum cepat-cepat keluar, meninggalkan mereka berdua dalam keheningan yang kini terasa aneh.

“Aku harap stafmu tidak mengira hal-hal yang tidak perlu,” gumam Chesna akhirnya, menatap catatannya lagi.

“Aku tidak keberatan kalau mereka mengira aku terlalu bersemangat bekerja,” balas Gideon santai.

“Alasannya profesional, bukan?”

“Tentu saja.”

“Bagus.”

“Tapi profesional tidak selalu berarti tanpa rasa ingin tahu.”

Kalimat itu menggantung di udara tidak jelas apakah itu candaan atau sindiran.

Chesna pura-pura tidak mendengar. Ia bangkit dari kursinya dan berjalan ke layar monitor besar, menunjukkan hasil uji rehabilitasi.

“Ini data yang kau minta,” katanya datar. “Perkembangan pasien cukup signifikan. Kami gunakan metode stimulasi saraf adaptif-”

Tiba-tiba Gideon berdiri dan mendekat.

Langkahnya pelan tapi pasti, sampai ia berdiri di samping Chesna, cukup dekat untuk membuat jantungnya berdetak tidak karuan.

Aroma parfumnya samar, maskulin, bersih, dan entah kenapa terlalu akrab.

“Menarik,” gumamnya pelan, menatap layar, meski Chesna tahu ia tidak benar-benar fokus. “Padahal dulu cita-citamu ingin menjadi pemilik minimarket, tak disangka Kau semangat menyembuhkan orang lain.”

“Tentu saja, dulu kita masih remaja dan labil dan suka berkhayal. Tapi setelah dewasa semuanya berubah.” balas Chesna cepat, mencoba terdengar dingin.

“Jadi, Kau sudah lupa dengan apa yang kau katakan saat terakhir kita bertemu di heli pad?”

Chesna menoleh sedikit dan menemukan mata Gideon yang kini menatapnya.

"Heli pad? Memangnya aku pernah bilang apa?"

Hening.

Gideon membisu. Ada rasa semacam kecewa sedikit menghantamnya. Cahaya dari layar monitor membuat sorot mata tampak berkilau, seolah menyimpan sesuatu yang tak terucap.

Beberapa detik berlalu tanpa satu pun dari mereka berbicara.

Hanya napas pelan, dan detak jantung yang saling bertabrakan di ruang sempit itu.

Lalu Chesna memecahnya dengan nada datar. “Kau terlalu dekat.”

“Kau tidak mundur,” sahut Gideon tanpa mengalihkan pandangannya.

Dan seketika itu juga, Chesna melangkah mundur, menahan napasnya dalam-dalam.

“Sebaiknya kau pulang, Gideon. Aku masih punya pasien lain.”

“Baiklah,” katanya perlahan, sambil mengenakan jasnya lagi. “Aku akan kembali besok, Dokter Castella. Masih banyak hal yang perlu kupastikan.”

“Tentu,” balasnya pelan. “Sepertinya kau Kau boleh datang kapanpun.”

Gideon hanya tersenyum tipis sebelum berbalik dan melangkah keluar.

Begitu pintu tertutup, Chesna baru sadar tangannya menggenggam pena terlalu erat, napasnya masih tak beraturan.

“Profesional,” gumamnya pada diri sendiri. “Ini semua hanya urusan profesional…”

___

Bersambung.. jangan lupa jadiin favorit  kalian yaa

1
RaveENa
aku kira neneknya chesna sama kek neneknya gideon/Grin/
Reetha: 🤣🤣🤣🤣🤣
total 1 replies
RaveENa
ini kenapa sihh para nenek2 kepo bgt,ikut campur bgt.
bukannya nikmatin hr tua,ehh malah ikut campur urusan cucu2 nya/Left Bah!/
thor lidya biang gosip ya,apa2 selalu aja tau/Facepalm/
Reetha: 🤣🤣🤣🤣🤣🤣
total 1 replies
Dar Pin
haduh bangun tidur dibuat spot jantung 😄💪
Nurminah
sudah bau tanah aja bikin rusuh ceptin mati aja Thor nenek peot nya nyusahin aja
RaveENa: bikin emosi ya kak tu nenek2
total 1 replies
Dar Pin
haduh ada aja yg ngalangin 🤣
Nurminah
lanjutkan makin seruuuu
Eva Karmita
so sweet nya 💓💓💓💓💓💓💓😍
Mela Nurmala
slalu ingin baca... utk alan diperbanyak jg ya thor. penisirin pengen alan cepet2 tau klo di pny anak ternyata😄
Dar Pin
meleyot Thor hatiku tunggu gebrakan Alan nih ayo jangan kalah dengan pasangan satunya 👍😄
Ophy60
Alan....kerahkan orang² mu untuk mencari. Shenia sudah didepan mata.
Dar Pin
ayo Alan berjuang semoga cepetan ketemu titik terang biar bisa kumpul menjadi keluarga 💪😄
Dar Pin
deg deg hatiku Thor lanjut 💪
Umi Kolifah
ayo Thor pertemukan keduanya agar si kembar bisa sama2 membina keluarga yang bahagia
Nurminah
aku kira bakal kehamilan simpatik biar alan tambah gencar nyari sherina tau bakal jadi ayah
tari
ayo thor pertemukan alan dan shenia
tari
bacanya sambil senyum senyum nih thor😀🥰
RaveENa
meleyot aq bacanya...seneng bgt kl disuguhin yg manis2 kek gini.
thor kapan giliran alan??
Dar Pin
ketawa terus bawaannya thor JD semangat nunggu lanjutannya kawal sampai halal chesna Gidion 💪😄
Iin Wahyuni
lanjut thor💪
Dar Pin
mudah mudahan cepet ketemu Alan dan shenia ya JD ikut gregetan nih lanjut Thor 💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!