Cinta itu manis, sampai kenyataan datang mengetuk.
Bagi Yuan, Reinan adalah rumah. Bagi Reinan, Yuan adalah alasan untuk tetap kuat. Tapi dunia tak pernah memberi mereka jalan lurus. Dari senyuman manis hingga air mata yang tertahan, keduanya terjebak dalam kisah yang tak pernah mereka rencanakan.
Apakah cinta cukup kuat untuk melawan semua takdir yang berusaha memisahkan mereka? Atau justru mereka harus belajar melepaskan?
Jika bertahan, apakah sepadan dengan luka yang harus mereka tanggung?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jemiiima__, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 11
...Eternal Love...
...•...
...•...
...•...
...•...
...•...
......🌻Happy Reading🌻......
Suasana mendadak hening setelah Yuan berkata penuh ketulusan. Reinan menunduk, wajahnya merah, tapi tiba-tiba matanya melirik ke sisi ruangan.
Ia membeku.
Dengan suara gemetar dan bingung, Reinan menunjuk ke arah seseorang yang sejak tadi bersandar santai di sofa ruang rawat.
"Kamu siapaaa??!"
Joseph melambai kecil dengan ekspresi pura-pura polos.
"Halo. Gue Joseph. Sahabatnya Yuan... sekaligus saksi drama gratis malam ini.. "
Reinan langsung melongo, wajahnya memerah dua kali lipat.
Reinan terbata-bata. "S-sejak kapan di sini???"
Joseph berpura-pura berpikir.
"Hmmm... dari momen dramatis '*Aku ada di sini selalu buat kamu*' itu kayaknya. Bagus, bagus, dalem banget. Kalau disyuting bisa trending, sumpah."
Reinan langsung menutupi wajah dengan bantal, setengah malu setengah ingin menghilang dari dunia.
Sementara Yuan menatap Joseph dengan tatapan kill mode.
"Joseph... keluar!"
Joseph berdiri, terkekeh.
"Okay okay. Gue kasih kalian waktu berduaan. Jadi... good luck ya."
Joseph melangkah keluar sambil bersiul santai.
Reinan hanya bisa menatap Yuan dengan muka super merah, sementara Yuan mengusap pelipis, setengah malu setengah ingin meninju sahabatnya itu.
*****
Beberapa minggu berlalu, suasana kantor masih saja ramai dengan gosip soal penangkapan Lee Yunrui. Nama itu jadi bahan bisik-bisik di pantry, di lobi, bahkan sampai di grup chat kantor.
"Katanya korban masih satu perusahaan juga, ya?" bisik salah satu karyawan sambil mengambil kopi.
"Serius? Jadi siapa? Kenapa ditutup-tutupin banget?" timpal yang lain.
Reinan, yang saat itu sedang ikut makan siang bersama Minji, berusaha tenang walaupun hatinya langsung berdegup kencang setiap kali gosip itu mampir ke telinganya.
Sambil menyuap nasi, Minji menoleh dengan nada penasaran, suaranya pelan.
"Nan, yang dimaksud orang-orang bukan lo kan?. Minji bertanya dengan hati-hati takut Reinan tersinggung dengan pertanyaannya.
Sendok di tangan Reinan berhenti di udara, matanya melebar sepersekian detik. Namun cepat-cepat ia tersenyum kaku.
Reinan menggeleng cepat.
"Hah? Apa sih lo?. Gak usah aneh-aneh. Masa iya gue"
"Eh ngomong-ngomong, lo udah coba ayam goreng di resto sebelah kantor? Katanya enak banget, lagi promo juga lho."
Minji menatap curiga, seolah ingin mengorek lebih jauh, tapi Reinan sudah sibuk mengalihkan perhatian. Ia dengan semangat membahas menu makan siang, sampai-sampai memaksa Minji fokus pada topik makanan ketimbang gosip.
Namun, jauh di dalam hatinya, Reinan sadar kalau semakin lama ia menghindar, semakin besar rasa penasaran orang-orang di sekitarnya.
Saat Reinan berusaha mengalihkan topik dengan membicarakan promo ayam goreng, tiba-tiba suara dalam yang familiar terdengar dari belakang.
"Reinan, ikut saya ke ruangan. Ada yang mau saya bahas." Ucap Yuan.
Minji spontan berhenti menyuap makanannya, matanya berkilat penuh rasa penasaran.
"Wah... dipanggil atasan nih. Lo ga bikin masalah kan?"
Reinan menggeleng heran. "Gak tahu, gue kesana dulu ya"
Begitu pintu ruang kerja Yuan tertutup rapat, Reinan menarik napas lega. Tapi ia langsung terdiam saat melihat meja Yuan. Di atasnya sudah tersusun rapi beberapa makanan pesan antar Ada beberpa Kimbab ,sandwich, dan boba milk tea.
Reinan bingung. "...ini... untukku?"
Yuan menaruh dokumen di samping, lalu melirik Reinan dengan senyum tipis.
"Saya tahu kamu masih gak nyaman makan disana dengan suasana yang membahas soal Rui."
Reinan menunduk, memainkan sumpit.
"Iya... aku takut mereka akan tahu,kalo itu aku."
Yuan mendorong salah satu porsi makanan ke arah Reinan.
"Makanya, saya ajak kamu makan disini. Setidaknya kamu bisa tenang. Kamu gak perlu takut semuanya udah saya atur supaya informasinya ga bocor kemana-mana."
Reinan sempat menatap Yuan, matanya berkaca-kaca tapi juga tersipu. Suasana yang tegang barusan perlahan mencair, berganti jadi kehangatan aneh yang membuat jantung Reinan berdetak lebih cepat.
Setelah selesai makan, Yuan membereskan wadah bekal dan menaruhnya ke samping. Ia melirik Reinan sebentar sebelum berkata pelan:
"Nanti pulang kerja... tunggu saya di basement. Kita pulang bareng."
Reinan mengangkat kepala, agak terkejut.
"Eh... tapi gimana kalau orang lain lihat?"
Yuan tersenyum kecil, nada bicaranya tenang tapi meyakinkan.
"Saya masih ada lembur. Jadi kita tunggu sampai kantor agak sepi dulu. Gak akan banyak yang perhatiin. Gak keberatan kan? "
Reinan menunduk sebentar, lalu mengangguk pelan.
"Baiklah... aku tunggu."
Yuan tersenyum lega.
Sementara itu, Reinan kembali ke meja kerjanya.
Hari sudah larut, lampu-lampu kantor sebagian besar padam. Hanya beberapa ruangan yang masih menyala. Reinan melangkah perlahan menuju basement, membawa tas kerjanya. Setiap langkah menimbulkan gema kecil di ruang parkir yang lengang.
Ia sempat mengecek ponselnya, memastikan pesan Yuan benar , "*Tunggu di basement*."
Tak lama, terdengar suara pintu lift terbuka. Yuan keluar sambil membawa jas yang sudah dilipat di lengannya.
Begitu melihat Reinan, senyum tipis terukir di wajahnya.
"Udah lama nunggu?"
"Baru sebentar..." jawabnya pelan, sedikit gugup.
Yuan berjalan mendekat, langkahnya tenang tapi terasa mantap. Ia lalu membuka pintu mobil dan menunggu Reinan masuk terlebih dulu. Setelah keduanya duduk di dalam, suasana jadi senyap sejenak, hanya ada suara mesin mobil yang dinyalakan.
Di bawah cahaya temaram basement, Yuan sempat melirik ke arah Reinan yang sibuk merapikan sabuk pengamannya.
Mobil perlahan keluar dari basement. Di luar sudah benar-benar sepi, jalanan kota hanya dihiasi lampu jalan yang berkelip.
"Mau langsung pulang, atau kita cari minuman hangat dulu?"
Reinan menoleh sebentar, tersenyum tipis.
"Kalau ada tempat yang masih buka... boleh."
Yuan mengangguk pelan, sudut bibirnya terangkat.
Akhirnya mereka sampai. Kafe itu kecil, terletak di sudut jalan yang agak tersembunyi. Lampu kuning temaram berpadu dengan aroma kopi yang menenangkan. Karena sudah larut, hanya ada segelintir pengunjung lain, membuat suasana terasa intim.
Yuan mendorong pintu kaca, lalu menahan agar Reinan bisa masuk lebih dulu. Reinan sempat menunduk sedikit sambil berbisik,
"Terima kasih..."
Mereka memilih meja di pojok dekat jendela. Dari sana, lampu jalan terlihat samar menembus kaca yang berembun.
Seorang pelayan datang. Yuan yang lebih dulu bicara,
"Satu cappuccino hangat, dan kamu?"
Reinan sempat ragu sejenak, lalu menjawab,
"Hm... hot chocolate aja."
Yuan tersenyum tipis, lalu mengembalikan menu ke pelayan. Begitu pelayan pergi, keheningan sempat melingkupi mereka.
"Kamu... sering ke tempat seperti ini?" tanya reinan.
"Jarang. Hari-hari Saya sebetulnya membosankan. Kalo ga kerja ya lembur, atau sesekali saya pergi dengan Joseph. "Tapi sepertinya mulai sekarang hari-hari saya gak akan membosankan lagi selama ada kamu."
Reinan terdiam, pipinya merona pelan. Tatapannya tanpa sadar jatuh pada wajah Yuan yang diterangi cahaya lampu café, menampilkan sisi hangat yang jarang terlihat di kantor.
Minuman pun datang. Asap tipis mengepul dari cangkir. Reinan meniup pelan cokelat panasnya, lalu menyeruput sedikit. Bibirnya tersentuh busa cokelat, membuatnya buru-buru mengusap dengan ibu jarinya. Yuan hanya tersenyum samar, menatapnya dalam.
Detak jantung Reinan terasa semakin kencang tatkala ibu jarinya Yuan menyentuh bibirnya.
*Ini gue keliatan salting gak ya, malu banget kalo keliatan* ucap Reinan dalam hati.
Waktu sudah hampir tengah malam, suasana café pun mulai sepi. Reinan melihat jam tangannya lalu buru-buru berdiri.
"Aduh, kita harus pulang sekarang. Kalau telat, gerbang asrama bisa keburu ditutup."
Yuan berdiri sambil mengambil jasnya. "Iya, ayo."
Mereka berjalan beriringan menuju parkiran. Di mobil, suasana sedikit hening, hanya ditemani lampu jalanan yang berkelebat. Tiba-tiba ponsel Reinan bergetar.
Reinan membuka pesan, membaca dalam hati lalu bergumam pelan "Oh... ternyata udah bisa ditempatin."
Yuan melirik sekilas sambil menyetir "Apa? Apartemenmu?"
"Iya. Agen properti barusan kabarin, apartemen yang kita lihat itu sudah siap ditinggali."
Yuan tersenyum kecil.
"Baguslah. Jadi kamu nggak perlu bolak-balik jauh dari asrama ke kantor lagi."
Reinan mengangguk.
"Kayanya akhir pekan ini aku mulai pindah"
"Butuh bantuan?"
"Sepertinya gak perlu deh, aku cuma bawa beberapa koper aja kok"
"Baiklah, hubungi saya kapan saja kalo kamu perlu bantuan"
Reinan mengangguk.
*****
Reinan baru saja selesai menata sofa dan beberapa kardus terakhir. Ia menjatuhkan diri ke atas sofa, menarik napas panjang, lega karena akhirnya apartemennya sudah rapi meski sederhana. Ponselnya bergetar sebuah pesan dari Yuan.
Yuan: *Reinan, saya ada disekitar apart kamu. Apa boleh mampir*?
Reinan membaca sekilas, jantungnya berdetak agak cepat. Ia mengetik balasan singkat.
*Reinan: Boleh. Ke sini aja*.
Tak lama kemudian, Yuan membalas.
*Yuan: Oke. Sekalian saya bawa sesuatu. Kamu sudah isi kulkas*?
Reinan menoleh ke arah dapurnya yang kulkasnya masih kosong melompong. Ia buru-buru membalas.
*Reinan*: *Belum... aku belum sempat belanja*.
Pesan balasan muncul cepat sekali.
Yuan: *Kalau gitu, saya mampir ke supermarket dulu. Ada yang mau dititip*?
Reinan menggigit bibirnya, merasa agak canggung.
*Reinan: Apa saja bahan makanan simple. Ga ngerepotin*?
*Yuan: Bukan repot, Reinan. Anggap aja hadiah pindahan*.
*Kamu tunggu di sana, sebentar lagi saya sampai*.
Reinan menatap layar ponselnya agak lama, lalu menyandarkan kepala ke sandaran sofa. Ia baru menyadari, untuk pertama kalinya ia merasa... apartemen barunya tidak terlalu sepi, karena seseorang akan datang menemaninya.
Suasana apartemen Reinan terasa hangat dengan aroma bawang putih yang baru saja ditumis. Yuan berdiri di dapur, sibuk mengaduk panci, sementara Reinan menatapnya dari meja makan.
"Eh, kamu bisa masak beneran ternyata?"
"Maaf, aku gak bisa masak soalnya hehe". Reinan nyengir sambil garuk-garuk kepala yang gak gatel.
Yuan melirik sekilas. "Kenapa? Kelihatannya saya tipe orang yang nggak bisa masak?"
Reinan tersenyum kecil. "Nggak, bukan gitu aneh aja liat kamu masak"
Yuan hanya menghela napas kecil, lalu berkata santai, "Kalau gitu mulai sekarang biar kamu gak aneh liat saya masak , saya akan masak untuk kamu kapanpun kamu mau."
Reinan terdiam sebentar, wajahnya agak memerah mendengar kalimat itu.
Tiba-tiba Yuan menambahkan, "Oh iya, boleh nggak saya ajak Joseph? Biar nggak sepi, sekalian rame-rame makan."
Reinan berpikir sebentar lalu mengangguk. "Boleh... kenapa nggak."
Reinan lalu pamit sebentar ke kamar mandi. Saat ia masih di dalam, bel pintu berbunyi.
"Reinan, ada orang!" teriak Yuan.
"Bisa tolong bukain? Aku masih di kamar mandi!" sahut Reinan dari dalam.
Dengan santai Yuan melangkah ke pintu dan membukanya tapi langkahnya langsung terhenti.
Di ambang pintu berdiri Minji, dengan wajah kaget bukan main.
"PAK YUAN??!!"
Mata Minji membesar, ia kembali melihat no apart seolah tak percaya. Lebih tak percaya lagi seseorang di hadapannya ini adalah atasannya, bos besarnya, CEO Baekho Group memakai apron di apart milik karyawan magangnya???
Apa yang telah Minji lewatkan kali ini?
Keheningan sejenak. Keduanya sama-sama terkejut.
Minji buru-buru menoleh ke dalam apart mencari keberadaan Reinan. Ia melewati yuan begitu saja yang masih memegang gagang pintu, wajahnya agak kaku. Dia tidak menyangka yang datang justru Minji.
Reinan keluar dari toilet, "Siapa Yuan, joseph kah?" , Reinan melihat arah dekat pintu Ia pun terkejut pula.
"Minji-yaa" ucap Reinan melemah.
Minji melipat tangan di dada, matanya tajam menatap Yuan dan Reinan bergantian. "Kenapa bapak ada disini? dan lo Reinan! Lo gak mau jelasin sesuatu gitu ke gue?"
Minji masih berdiri dengan wajah campur aduk antara syok dan kepo. Reinan bingung harus menjelaskan dari mana, sementara Yuan cuma menghela nafas.
Tiba-tiba bel pintu berbunyi lagi.
"Ah, mungkin Joseph," kata Yuan cepat, seakan bersyukur ada pengalih perhatian.
Minji makin bengong. "Joseph?? Sahabat bapak yang suka ke kantor itu?? Dia juga mau ke sini??"
Yuan membuka pintu, dan benar saja , Joseph berdiri di sana sambil membawa sekantong besar minuman.
"Halo halo, gue bawa soda sama snack..."
Ucapan Joseph terhenti saat melihat ada orang lain di dalam.
"Eh? Ini siapa?"
Reinan buru-buru memperkenalkan singkat
"Oh iya, Minji ini teman kuliahku dia juga magang di tempat Yuan cuma beda divisi. Joseph... teman dekatnya Yuan."
Setelah itu, Reinan segera menarik Minji masuk ke kamar dengan alasan ingin bicara sebentar.
Begitu pintu kamar tertutup, Minji langsung melipat tangan di dada.
"Yuan?! Yuan?! Lo manggil dia gak pake embel-embel bapak reinan. Sumpah kalian pacaran?!"
Reinan terlihat gugup, matanya berkelit.
"Gue janji ,begitu mereka pulang, gue bakal jelasin semuanya. Tapi sekarang... please jangan bikin suasana jadi kaku atau awkward please...biasa aja okay"
Minji menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya terkekeh.
"Tenang aja. Kalau soal orang-orang tampan... gue nggak pernah canggung kok."
Reinan menepuk dahinya pasrah.
"Astagaa...bukan gitu maksud gue"
Minji hanya tersenyum penuh arti, lalu keluar kamar dengan langkah ringan.
Makanan sudah tersaji di meja. Padahal Yuan bilang masakannya "cuma simple aja," tapi tampilannya bener-bener mirip hidangan di resto bintang lima.
"Udah, udah. Yuk kita makan dulu sebelum keburu dingin."
Mereka duduk berempat. Suasana awalnya hening, sampai Minji mulai usil.
Minji dengan senyum jahilnya.
"Pak... bapak pacaran sama Reinan ya? Weekend bukannya hangout di luar, ini malah masak disini."
...(Minji & Reinan)...
Reinan langsung tersedak minumannya, buru-buru menyenggol Minji di sampingnya.
"Lo kalo nanya jangan yang aneh-aneh gitu bisa gak sih?"
Minji pura-pura polos, mengangkat bahu.
"Lah, gue kan cuma nanya doang. Kan keliatannya deket banget."
Joseph yang dari tadi fokus makan, ikut nimbrung.
"Pertanyaan bagus sih sebenernya. Gue juga penasaran..
...(Joseph)...
Yuan hanya tertawa kecil, sambil menambahkan lauk ke piring Reinan.
"Untuk saat ini belum"
"Menurut kamu gimana, Reinan?"