Jarang merasakan sentuhan kasih sayang dari suami yang diandalkan, membuat Mala mulai menyadari ada yang tidak beres dengan pernikahannya. Perselingkuhan, penghinaan, dan pernah berada di tepi jurang kematian membuat Mala sadar bahwa selama ini dia bucin tolol. Lambat laun Mala berusaha melepas ketergantungannya pada suami.
Sayangnya melepas ikatan dengan suami NPD tidak semudah membalik telapak tangan. Ada banyak konflik dan drama yang harus dihadapi. Walaupun tertatih, Mala si wanita tangguh berusaha meramu kembali kekuatan mental yang hancur berkeping-keping.
Tidak percaya lagi pada cinta dan muak dengan lelaki, tetapi jauh di dasar hatinya masih mengharapkan ada cinta tulus yang kelak melindungi dan menghargai keberadaannya di dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Harjanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Si Yapping yang Berulah
Fokus Mala kembali pada si kecil. “Permen ini Mamah simpan dulu ya Mia, permen ini kan berjumlah banyak, kalau Mia yang simpan.. nanti Mia langsung makan banyak ‘kan bahaya. Mia jadi sulit tidur, kan? Kalau terlalu banyak makan manis?”
Mia mengangguk, membenarkan ucapan Mala. Saat itu juga sebetulnya Mia sedikit mengalami sakit gigi. Malu bilang, tidak enak hati menolak pemberian papahnya. Mia berpikir, jika menolak permen dari papahnya akan membuat papahnya makin jarang pulang ke rumah.
“Ya, udah. Mamah aja yang simpan,” ucap Mia lirih.
Mala tersenyum puas. Mengusap kepala Mia dan mengacungkan jempolnya.
“Ya, sudah sana main dulu, ya!” perintahnya pada Mia.
“Pah, Mia main dulu ya Pah?” ucap Mia berpamitan, Bram pura-pura tak dengar, wajahnya merenggut menonton televisi.
Mia sedikit kecewa Bram tak merespons. Mala langsung menarik tangan Mia untuk menjauh dari Bram. Setelah mengantar Mia bermain di teras rumah, kemudian memanggil Moya untuk mengawasi adiknya. Mala berencana melanjutkan bekerja di depan laptop, sampai tiba-tiba …
Braak!
“Tidak ada makanan, apa?!” teriak Bram dari arah meja dapur.
Duh, Tuhan … apa lagi ini?
Mala terdiam sejenak. Berpikir untuk meladeni mode 'cari perhatiannya Bram' atau tidak menggubrisnya.
Tak mau anak-anak mendengar pertikaian, akhirnya Mala memilih mengabaikan Bram saja.
Yang diabaikan makin menjadi, membanting pintu kulkas setelah sibuk mengomentari isi kulkas yang berisi persediaan sosis dan nugget.
“Huh, nggak boleh permen tapi menyimpan makanan berbahan pengawet, sama saja tauk!” teriak Bram ke arah Mala.
Mala pura-pura tak dengar, mengenakan headset-nya untuk mendengarkan alunan musik saja. Tapi rupanya Bram tetap ingin memancing perhatian.
“Mah, kamu ngapain aja sih di rumah? Sampai nggak sempat masak? Masa anak-anak kamu kasih nugget terus?”
Mala melepas headset-nya pelan, kendati gemuruh dada menghantam ke sana ke mari. Menahan sabar dan menekan intonasi bicara serendah mungkin.
“Dari mana kamu tahu aku nggak pernah masak, Pah? Kamu ‘kan baru pulang?”
“Loh, kamu kok nyalahin aku nggak pulang? Aku kan kerja untuk kamu, untuk kalian di rumah!” bentak Bram sewot.
Yang nyalahin juga siapa.. batin Mala kesal
Menarik napas, dan mengembuskannya sabar. Mala tahu sebenarnya apa yang dikatakan Bram hanya asal bicara, intinya dia mencati perhatian Mala karena maunya sepulang dari menginap akan ada reaksi dari Mala, entah itu menyambut dengan wajah khawatir, menyambut dengan marah, atau menyambut dengan senang karena akhirnya Bram pulang. Selalu seperti itu yang Bram mau. Tetapi kecewa sekali kalau Mala justru bersikap biasa saja, tidak menanyainya dan seolah tidak peduli Bram mau pulang atau tidak.
“Padahal maksudku, kamu kan nggak tahu aku masak apa enggak,” ucap Mala mencoba menghindari pembahasan Bram tidak pulang. Ya, karena itu yang Bram mau—dibahas kenapa nggak pulang. Bukan sebab hendak menyampaikan alasan apa dia tidak pulang, tetapi lebih ke kesal karena Mala biasa saja.
“Tadi pagi aku masak, sayur dan daging, tapi sudah habis,” jelas Mala.
“Oh, begitu ya, kalau suaminya di rumah baru nggak ada makanan yang bisa dimakan, ya? Memang kau maunya aku makan di luar terus sih, ya!” ujar Bram masih dengan nada menyindir.
Huft! Serba salah menghadapi Bram.
Kepala Mala hampir meledak, kedua tangan mengepal menahan marah. Ditambah mendengar kan lagi si playing victim ini melakukan yapping.
“Aku loh kerja dari pagi sampai pagi, kamu sih enak diam di rumah… pas aku pulang mau makan saja nggak ada lauk, nasi juga udah dingin. Pernah nggak kamu tanya aku udah makan apa belum? Yang perhatian cuma Mia. Maya dan Moya juga cuek aja sama papahnya, hapeeeaaaaannn aja terooosss !!!” cerocos Bram. Kali ini Maya dan Moya tak luput dari sindiran Bram.
“Aku chat kamu nggak dibalas, ya udah, aku nggak mau gangguin kamu yang katanya lagi kerja,” balas Mala.
“Lah, emang aku kerja. Dari pagi ketemu pagi. Aku tuh nggak kayak kamu yang anti sosial, aku harus banyak bergaul nggak kayak kamu! Kalau banyak teman itu banyak rejeki, kita bisa menjalin bisnis dengan siapa saja. Memangnya kamu, satu teman aja nggak punya. Memang kamu aneh sih, Mah! Menarik diri dari lingkungan.”
Loh ...loh ... apa ini? Bergeser sudah topik perdebatan ini.
Deretan kalimat penuh dengan tusukan. Mengalir dari mulut Bram. Tahu betul kelemahan Mala yang jarang bergaul dan ngumpul-ngumpul dengan teman atau tetangga sekitar.
Apa sih maunya Bram? Bukan bicara yang penting, melainkan yang penting bicara!
Tiba-tiba terbesit ide, agar Bram menyudahi bentuk cari perhatiannya. Ada hal menarik untuk Mala coba lakukan, dan jika ini efektif … Mala bisa lakukan ini untuk terhindar dari yapping yang Bram lakukan.
Menyebalkan sekali memang kalau Bram sudah yapping begitu, keluh Mala.
Mengoceh terus tanpa memberi kesempatan Mala berbicara. Seakan yang dia katakan sesuatu yang penting, kenyatannya lebih berisi omong kosong dan nggak nyambung, merembet ke mana-mana. Justru lepas dari inti yang dibahas mengenai tidak ada lauk itu tadi.
“Kalau memang kamu kerja dari pagi sampai pagi, mana coba sini bagi ke aku hasilnya,” ujar Mala menyodorkan telapak tangan.
“Apaan sih!”
“Loh, iya toh? Katanya kerja demi aku dan anak-anak.. nah sekarang mana uang belanja untuk kami makan sehari-hari?”
“Sudah aku kasih, toh!” bentak Bram nyolot.
Mala tersenyum kecut, “Terakhir kamu kasih itu 250 ribu itu pun tiga minggu lalu Pah, sedangkan kamu lihat kan … rak kulkas terisi, kantung beras juga nggak kosong, sementara anak-anak kita tiap hari sekolah itu ada bekal dan uang saku, yang besar sudah ada transport karena naik ojek, jadi 250-mu itu memangnya cukup buat tiga minggu?”
Wajah Bram berubah merah padam. Mala mengatakan itu semua dengan tenang tapi terasa menusuk-nusuk ulu hatinya.
“Dasar kamu memang tidak bersyukur Mala!” bentak Bram ngambek.
Braak!!! Membanting pintu kamar dan tidak terdengar lagi kicaunya. Mala mendengus, sudah kuduga reaksinya akan begitu.
“Dia ini nggak bisa ngitung atau gimana sih, atau matematikanya nggak jalan sama sekali?” gumam Mala berkeluh kesah pada dinding kamar yang penuh warna-warni coretan dinding hasil karya Mia.
Dan … Bram menyebutnya “Mala”, bukan “Mah” seperti biasa. Itu artinya Bram benar-benar tersinggung dan terdesak.
***
Mala kembali meneruskan pekerjaan yang tertunda. Dibacanya notifikasi masuk dari klien yang menginginkannya melakukan revisi.
"Oh, no!!! Ini sudah yang ke tiga kali, aaargh!!!"
Menelungkupkan wajah di hadapan laptop yang masih menyala. Mala ingin sedikit menumpahkan air mata, supaya lega. Tapi tidak bisa.
Air matanya mungkin sudah malas mengalir. Ada banyak sekali tekanan. Menghimpit dada, parahnya ... bahkan untuk sekadar menangisi nasib saja tak mampu.
Huft! Orang seperti Bram dan Ayah ... Apa pernah ya, merasa bersalah?