NovelToon NovelToon
INGRID: Crisantemo Blu

INGRID: Crisantemo Blu

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:775
Nilai: 5
Nama Author: I. D. R. Wardan

INGRID: Crisantemo Blu💙

Di balik nama Constanzo, Ingrid menyimpan luka dan rahasia yang bahkan dirinya tak sepenuhnya pahami. Dikhianati, dibenci, dan hampir dilenyapkan, ia datang ke jantung kegelapan-bukan untuk bertahan, tapi untuk menghancurkan. Namun, di dunia yang penuh bayangan, siapa yang benar-benar kawan, dan siapa yang hanya menunggu saat yang tepat untuk menusuk dari bayang-bayang?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I. D. R. Wardan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11 Mia Sorella

...Lambang La Cosa...

...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...

Frenzzio berjalan perlahan mendekat, langkahnya tenang namun penuh perhitungan. Tatapannya menyapu wajah Ingrid yang basah oleh air mata. Tangannya yang kokoh menggenggam erat buket krisan merah, kontras dengan ketegangan yang mulai menyelimuti ruangan.

"Apa yang telah kulewatkan, amore?" Suaranya terdengar santai, tetapi matanya menelisik dengan tajam.

Ingrid membuang muka. Ia tak ingin melihat wajah tampan itu, wajah yang selalu dihiasi dengan senyum yang terasa seperti ejekan di matanya.

"Bagus, iblis lainnya muncul," gumamnya dingin.

Marcello berdiri tegak, rahangnya mengeras saat melihat Frenzzio yang kini berdiri di antara dirinya dan Ingrid.

"Ayah memanggilmu," ucap Frenzzio, suaranya terdengar malas tetapi ada sesuatu di balik nada itu yang menyiratkan bahwa ia menikmati situasi ini.

Marcello mendengus. Ia menoleh ke Ingrid, tetapi Ingrid tetap menatap sprei kasur yang berantakan, enggan melihatnya. Sebuah rasa sakit menusuk hatinya, namun ia tidak mengatakan apa-apa.

"Jaga mulutmu, Frenzzio," desis Marcello sebelum akhirnya melangkah pergi.

Frenzzio hanya tersenyum, lalu mengalihkan perhatiannya kembali ke Ingrid.

Diamnya lebih menyakitkan daripada kata-kata. Tanpa sepatah kata lagi, Marcello berbalik dan pergi.

Frenzzio hanya tertawa kecil. Kemudian, dengan santai, ia menyodorkan bunga yang ia bawa kepada Ingrid.

"Aku menyelamatkanmu dari laki-laki menyebalkan itu," ujarnya enteng.

Ingrid tetap bergeming. Frenzzio mengernyit, menyadari pipi Ingrid yang memerah. Seketika, matanya menggelap.

"Kau ditampar."

"Keluar!"

Frenzzio bergerak, ingin menyentuhnya, tapi Ingrid menepis tangannya dengan kasar.

"Apa tidak ada yang mengerti? Aku bilang keluar! Keluar!" Ingrid berteriak, suaranya bergetar di antara amarah, ketakutan dan, kesedihan.

Tanpa peringatan, Frenzzio menariknya ke dalam pelukan. Ingrid meronta, menghantam dadanya, mencoba melepaskan diri. Tapi Frenzzio tetap diam, tetap memeluknya erat.

Dan akhirnya, Ingrid menyerah. Tubuhnya melemas, tenggelam dalam kehangatan yang seharusnya tak terjalin. Ia menangis—bukan karena Frenzzio, bukan karena tamparan itu, tetapi karena sesuatu yang lebih dalam.

Sesuatu yang membawanya kembali ke masa lalu.

...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...

Ingrid berdiri di sudut ruangan besar, memeluk boneka yang menjadi satu-satunya teman setianya. Suara Irina dan Ian terdengar ramai di tengah rumah. Bercengkerama dengan ibu mereka. Mata Ingrid menatap ke arah keluarga kecil itu, tetapi tatapan ibunya yang dingin seakan berkata bahwa dia tidak diinginkan di sana.

"Irina, Ian, ayo ke taman!" ucap sang ibu sambil tersenyum pada dua anak kembarnya yang sempurna di matanya.

Ingrid menunduk, menahan rasa sakit yang sudah terlalu sering ia rasakan. Ia tidak pernah mengerti mengapa ibunya selalu menjauhkannya dari saudara-saudaranya.

Apa hanya karena ia sakit dan tubuhnya lemah ia dianggap tak berguna? Berbanding terbalik dengan dua saudaranya yang merupakan anak yang sehat dan dianggap sempurna oleh Sang ibu.

Sang Ayah datang mendekati Ingrid lalu berlutut mensejajarkan tinggi dirinya dengan putri kecilnya.

"Hei, putri Ayah yang manis. Ayo, kita pergi ke taman dan makan gelato bersama mereka." Ingrid yang semula murung seketika menjadi berseri. Ia memeluk ayahnya. "Aku menyayangi ayah." Ayah Ingrid yang biasa dipanggil Ricc itu tersenyum.

Ricc menggendong Ingrid. "Ayo!" Ingrid mengangguk senang.

Di taman, Ingrid mencoba mendekati Irina dan Ian yang sedang bermain di tepi danau. Dengan ragu, ia memanggil mereka.

"Irina, Ian, boleh aku ikut bermain?" tanyanya pelan.

Irina memutar mata, lalu tersenyum sinis. "Kau bahkan tidak bisa berdiri lama tanpa kelelahan. Apa yang bisa kau lakukan di sini?"

"Sudah, biarkan saja dia. Dia hanya akan jatuh dan menangis, lalu merepotkan kita." Ian menambahkan tanpa peduli.

Namun, Irina punya ide lain. Ia mendekati Ingrid, berpura-pura ramah. "Tentu, kau boleh bermain. Tapi, kau harus membuktikan bahwa kau berani."

Ingrid menatap Irina dengan ragu, tapi keinginan untuk diterima membuatnya mengangguk. "Apa yang harus aku lakukan?"

"Masuk ke air," ucap Irina sambil menunjuk ke danau.

Sebelum Ingrid sempat berkata apa-apa, Ian mendorong tubuh kecilnya.

Dalam sekejap, tubuhnya jatuh ke dalam air yang dingin. Panik menyelimuti pikirannya begitu tubuhnya tenggelam. Ia terombang-ambing, berusaha mengangkat kepalanya untuk bernapas, setiap kali ia mencoba menarik napas, ia hanya merasakan rasa sesak yang semakin dalam, seolah-olah udara itu ditarik keluar dari tubuhnya.

Gerakan tubuhnya semakin melambat, terhimpit rasa kelelahan yang luar biasa. Setiap detik yang berlalu, Ingrid merasa semakin dekat dengan keputusasaan. Tangan dan kakinya berusaha menggerakkan tubuhnya ke permukaan air, tetapi tenaga yang tersisa tidak cukup untuk membuatnya bertahan.

Tubuhnya mulai kehilangan keseimbangan, dan Ingrid merasa dunia sekitarnya meredup.

Dalam gelapnya danau, Ingrid merasa kesepian yang mendalam, seolah-olah dunia ini menutup diri darinya.

"Irina, dia tenggelam!" Ian berseru, wajahnya mulai panik.

"Biar saja, dia akan baik-baik saja, " jawab Irina sambil tertawa kecil. Tapi tawanya terhenti ketika ayah mereka datang berlari, melompat ke air untuk menyelamatkan Ingrid.

Ketika Ingrid diselamatkan dan diletakkan di tepi danau, ibunya sudah ada di sana. Namun, tidak ada rasa khawatir atau pelukan hangat yang menantinya. Sebaliknya, ibunya menatapnya dengan dingin.

"Kenapa kau selalu membawa masalah?!" suara ibunya menggema seperti cambukan.

Air mata Ricc mengalir. "Hah~ Putri ayah, " leganya.

Ketika dibawa ke pinggir danau, napas Ingrid tersengal-sengal, tetapi ia masih bisa merasakan rasa sakit yang tajam di dada, seolah-olah paru-parunya terhimpit oleh batu besar. Tubuhnya menggigil, bukan hanya karena dingin, tetapi juga karena kekurangan oksigen. Rasa sakit yang datang dari dalam dirinya sangat mengganggu, dan tubuhnya hanya bisa menanggapi dengan batuk kering yang makin parah. Ayahnya dengan segera menggendong Ingrid dan membawanya ke rumah sakit.

"Tetaplah bersama Ayah, Ingrid."

...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...

Ingrid tersentak, napasnya terengah-engah seolah baru saja kembali dari ambang kematian. Frenzzio masih memeluknya erat.

Isakan tangisan Ingrid semakin menjadi. "Ayah, ayah, aku ingin ayahku," minta Ingrid dengan suara lirih serak. Frenzzio menutup matanya, mendekap Ingrid lebih erat. Ia tidak dapat memberikan apa yang Ingrid inginkan. Itu mustahil.

...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...

Marcello berjalan dengan langkah mantap menyusuri lorong rumahnya. Setiap derap sepatunya menggema, menciptakan irama yang memenuhi kesunyian koridor. Setibanya di ujung lorong, ia memasuki lift tanpa ragu. Tangannya menekan tombol nomor satu tiga kali, dan dalam sekejap, lift bergerak turun.

Tak butuh waktu lama, pintu lift terbuka kembali, memperlihatkan lorong lain yang lebih panjang. Dua pria berpakaian hitam berdiri berjaga di depan pintu, bahu mereka tegap, ekspresi mereka tanpa cela. Begitu melihat Marcello, keduanya menundukkan kepala sebagai tanda hormat. Marcello hanya memberi satu anggukan kecil sebelum melangkah keluar.

Lorong yang kini dilaluinya lebih luas, dengan pencahayaan temaram yang memberikan kesan dingin dan penuh rahasia. Di tengah pertigaan yang ada di hadapannya, sebuah figura besar terpajang di dinding, menampilkan lambang khas La Cosa. Namun, Marcello bahkan tidak meliriknya. Ia sudah terlalu sering melihat simbol itu—terlalu familiar hingga terasa seperti bagian dari latarnya sendiri.

Tanpa ragu, ia memilih berbelok ke kiri. Di sepanjang lorong itu, banyak pintu berbaris rapi. Beberapa di antaranya dijaga oleh orang-orang berseragam hitam, sementara lainnya dibiarkan tanpa pengawasan.

Beberapa anak buah berlalu lalang, berpatroli dengan penuh kewaspadaan, memastikan keamanan tetap terjaga.

Marcello terus berjalan hingga tiba di depan pintu ganda berwarna abu-abu pekat dengan desain minimalis. Ia berdiri di depan pemindai wajah yang tertanam di dinding. Cahaya merah berkedip sejenak sebelum berubah menjadi hijau.

Wajah dikenali.

Seketika, pintu terbuka dengan suara mekanis yang halus. Tanpa membuang waktu, Marcello melangkah masuk.

Ruangan itu dipenuhi oleh aroma tembakau halus yang tercampur dengan udara berat. Lampu gantung menerangi ruangan dengan cahaya kekuningan, menciptakan bayangan panjang di sepanjang dinding. Di balik meja besar dari kayu mahoni, duduk seorang pria berwibawa—Tuan Giorgio. Wajahnya penuh ketegasan, garis-garis usia menambah aura dominasi yang tak terbantahkan. Di sampingnya, berdiri tegap seorang pria lain, Carlo—orang kepercayaannya yang selalu berada di sisinya.

Marcello melangkah maju, berhenti tepat di depan meja ayahnya. Bahunya tegap, tatapannya dingin namun penuh hormat.

"Marcello, ada masalah dengan perdagangan senjata api di pelabuhan utama. Selesaikan sebelum matahari terbit besok. Pastikan semuanya bersih."

Tanpa ragu, Marcello mengangguk. "Baik, Ayah."

Tanpa membuang waktu, ia berbalik, siap melaksanakan perintah itu. Namun, langkahnya terhenti saat suara berat ayahnya kembali terdengar.

"Kau tahu ... tapi kenapa kau tidak memberi tahu tentang saudarimu?"

Hening.

Marcello tak langsung menjawab. Rahangnya mengencang, jemarinya mengepal di sisi tubuhnya. Saat akhirnya ia bersuara, suaranya tenang, tapi tegas.

"Karena ini."

Tuan Giorgio terkekeh.

Perlahan, Marcello berbalik, menatap lurus ke mata ayahnya dengan keberanian yang tak tergoyahkan.

"Semua ini, identitas kita, pekerjaan kita, cara kita hidup. Ingrid tidak seharusnya merasakan semua ini. Hidup dalam bayang-bayang kematian, selalu menjadi target, kehilangan kebebasannya. Dan ..." Marcello menarik napas dalam, nada suaranya semakin dingin, tapi Marcello memilih tak melanjutkan perkataannya.

Sejenak, keheningan menyelimuti ruangan.

Tuan Giorgio menatap putranya, lalu perlahan, sudut bibirnya terangkat dalam senyum samar—bukan tanda persetujuan, melainkan tantangan terselubung.

"Aku ingin dia menerima takdirnya. Pada akhirnya, tidak ada yang bisa menghindar dari keluarga ini," jawab Giorgio tanpa ragu.

Marcello menatap ayahnya untuk waktu yang lama, sebelum akhirnya berbalik menuju pintu.

"Tidak akan kubiarkan, Ayah."

Pintu tertutup di belakangnya, meninggalkan Tuan Giorgio dan Carlo dalam keheningan.

"Apa Anda ingin saya mengawasinya, tuan?" tanya Carlo akhirnya.

Tuan Giorgio hanya tersenyum samar. "Tidak perlu. Dia akan kembali. Pada akhirnya, semua yang melawan akan menyerah, awasi saja dia."

...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...

Sementara itu, Ingrid masih berada dalam dekapan Frenzzio. Isakannya perlahan mereda, tetapi tubuhnya masih terasa lemah.

Frenzzio menatapnya dalam diam. Tangannya secara refleks mengusap rambut Ingrid, mencoba menenangkan gadis itu dengan caranya sendiri.

"Apa ayahmu begitu berharga bagimu?" tanyanya tiba-tiba.

Ingrid terdiam memandang Frenzzio dalam. "Dia hidupku."

Ada luka dalam kata-katanya yang membuat dada Frenzzio terasa berat.

"Jika begitu ..." Frenzzio menarik napas dalam, lalu memiringkan kepalanya untuk menatap Ingrid dengan lebih serius. "Aku akan membantumu."

Ingrid membeku. Matanya melebar, tetapi sebelum ia bisa mengatakan apa-apa, Frenzzio sudah lebih dulu berbicara lagi.

"Aku bersumpah, amore."

Jantung Ingrid berdetak lebih cepat. Ia menatap mata tajam lelaki itu, mencoba mencari kepalsuan di dalamnya.

Namun, tidak ada.

Dan itu membuatnya takut.

                 •┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•

1
minato
Terhibur banget!
I. D. R. Wardan: makasih udah mampir, semoga gak bosan ya🥹💙
total 1 replies
Yuno
Keren banget thor, aku jadi ngerasa jadi bagian dari ceritanya.
I. D. R. Wardan: Makasih ya🥹
total 1 replies
Yoh Asakura
Menggugah perasaan
I. D. R. Wardan: Makasih ya🥹 author jadi makin semangat nulisnya 💙
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!