Luka Vania belum tuntas dari cinta pertama yang tak terbalas, lalu datang Rayhan—sang primadona kampus, dengan pernyataan yang mengejutkan dan dengan sadar memberi kehangatan yang dulu sempat dia rasakan. Namun, semua itu penuh kepalsuan. Untuk kedua kalinya, Vania mendapatkan lara di atas luka yang masih bernanah.
Apakah lukanya akan sembuh atau justru mati rasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oksy_K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasa Yang Mulai Tumbuh
Deru motor Rayhan menggema di halaman Univ Merdeka, mengundang semua pasang mata untuk menoleh. Rayhan, dengan Vania yang duduk di jok belakangnya, sukses menjadi pusat perhatian. Sorakan kagum dan kecewa berbaur menjadi satu, seolah menyapa kehadiran mereka yang tak terduga.
“Wah gila! Rayhan beruntung banget bisa boncengin si Vania!” seru beberapa pria yang menatap takjub sambil menepuk teman di sebelahnya.
“Gimana caranya, Ray? Bagi tips boleh, kali!” timpal yang lainnya.
Rayhan hanya tersenyum, menempelkan telunjuknya di bibir, mengisyaratkan mereka untuk tenang, namun sorakan itu semakin riuh.
Vania membuka helmnya, membuat beberapa helai rambutnya berantakan. Tanpa sadar, tangan Rayhan terulur, menyelipkan rambut Vania ke belakang telinga. Sontak suasana bertambah riuh. Vania segera menepis tangan Rayhan, melangkah cepat tanpa menoleh, meninggalkan Rayhan tanpa berucap terima kasih.
Kini giliran kaum hawa yang berdecak kesal, menatap Vania dengan sinis.
“Apa sih! caper banget!”
“Kemarin aja pura-pura jual mahal, sekarang malah berangkat bareng!”
“Yang konsisten dong! Kalo suka tinggal bilang! Kasian tuh Rayhan di gantungin!”
Vania hanya membisu, melangkah dengan berat menuju gedung fakultas sastra, berusaha tuli dengan sindiran demi sindiran yang menusuk. Rayhan menatap nanar punggung Vania, berandai-andai, mungkinkah suatu saat dia akan berjalan beriringan dengannya, bisa menjadi tameng dan sandaran untuknya.
Rayhan kemudian berbalik, menghampiri beberapa mahasiswi yang tadi mencibir Vania. Melihat kedatangan Rayhan, mereka sibuk membenarkan poni dan pakaian.
Lalu Rayhan berkata dengan senyum manisnya, “Guys! Jangan salahin Vania ya, ini murni tindakan gue sendiri. Soal perasaan itu urusan gue dan Vania.”
Perkataan itu berhasil membungkam mereka, seakan terhipnotis dengan pesona Rayhan, mereka mengangguk patuh. Begitu Rayhan pergi, mereka pun menjerit histeris.
“Sumpah ganteng banget Rayhan dari deket!”
“Iri banget gue sama Vania! kalo aja gue yang di deketin sama Rayhan, gak bakal gue lepas!”
“Setuju! Langsung ke KUA!”
Di gedung fakultas manajemen, Rayhan kini sedang di kerumuni oleh Pandu dan Ali. Dengan tatapan penasaran yang menuntut penjelasan keramaian terjadi di area parkir.
“Bukanya lo udah nyerah buat deketin Vania?” tanya Pandu yang terheran dengan perubahan sikap Rayhan.
“Terus ini taruhannya lanjut apa gimana?” tanya Ali santai, tangannya sibuk dengan gim di ponselnya.
Mendengar perkataan itu, Pandu mendorong kepala Ali hingga ia kehilangan keseimbangan.
“Taruhan terus otak lo!” celetuk Pandu.
“Terlepas dari taruhan gila Ali yang memang sama gilanya ... Sepertinya Tuhan ingin gue deket sama Vania,” Rayhan menatap lurus gedung Sastra di mana ada Vania di dalamnya. Bibirnya tak lelah tertarik ke atas, seolah keberadaan Vania tepat di hadapannya.
“Kenapa yakin banget lo ngomong gitu?” tanya Ali, kini ia meletakkan ponselnya, topik Vania dan Rayhan ternyata lebih menarik perhatiannya.
“Karena ternyata kita tetanggaan!” ungkap Rayhan dengan bangga.
“Wah ... serius lo?” ujar Ali dengan mata berbinar, seolah mendapat mainan baru. “Habis ini gue mampir lah ke rumah lo,”
“Ngapain? Nggak usah cari masalah lagi, nanti kaya waktu di perpustakaan. Lo ngancurin rencana gue!” tukas Rayhan, mendengar itu Ali mengerucutkan bibir, membuat Rayhan bergidik jijik.
Pandu memperhatikan wajah konyol Rayhan, terlihat jelas telinganya yang memerah, seperti remaja puber yang sedang jatuh cinta.
“Lo suka sama Vania?” tanya Pandu memastikan.
Hening, ada jeda waktu sebelum Rayhan menjawab, mempertanyakan perasaan asing yang belum pernah ia rasakan. Lalu ia menjawab dengan ragu, “Mungkin?”
Di sisi lain, Okta menatap tajam Vania yang fokus dengan buku tebalnya, sesekali mulutnya sibuk mengunyah roti coklatnya, seolah melupakan kedatangannya dengan Rayhan yang sempat menggemparkan area parkir pagi itu. Padahal Vania masih menjadi bahan gosip yang entah kapan selesainya.
“Kenapa lo bisa berangkat bareng Rayhan? Papasan di jalan?” tanya Okta sembari menyodorkan air mineral pada Vania yang terlihat kesulitan menelan.
Vania menerima, lalu meminumnya hingga separuh.
“Disuruh mama gue,” jawabnya datar.
“Tante Sekar kenal Rayhan?” tanya Okta setengah terkejut.
“Iya dia tetangga gue.” Jawab Vania seadanya.
“Di rumah baru lo itu?” tanya Okta sekali lagi. Vania hanya mengangguk pelan.
“Kebetulan apa lagi ini? Lo gak digangguin Rayhan lagi, kan?” mendengar pertanyaan itu mata Vania mulai tidak fokus membaca, kejadian memalukan yang sempat terjadi di balkon tadi malam kembali berputar.
“Hmmm ... biasa aja kok.”
Namun, Okta tak sempat bertanya lagi, sebab derap langkah di koridor yang mendadak berhenti, di susul langkah teratur dan mantap dari dosen memasuki ruangan. Kelas pun dimulai, tak ada lagi bisik-bisik rumor, semua fokus dengan raut serius.
“Kita bahas lagi nanti di jam istirahat,” bisik Okta.
Aroma berbagai makanan menguasai kantin, berbaur dengan suara tawa para mahasiswa yang beradu di setiap sudut.
Tak pernah terlintas dalam pikiran Vania, ia akan duduk di meja kantin dengan berbagai makanan manis di hadapannya. Ia hanya tahu, semua ini ulah Rayhan.
“Gue minta satu boleh kali, banyak banget kaya mau mukbang!” celetuk Ali yang entah kapan sudah duduk manis bersama pasukannya—Rayhan dan Pandu.
“Enak aja! Gue beliin buat Vania bukan buat lo!” balas Rayhan, tak terima jika makanan yang ia beli untuk Vania hendak di rampas Ali.
“Makan aja, Van. Gue lihat lo paling suka sama coklat. Nih, ada cookies coklat, ini enak banget, gue udah sering makan. Cobain deh.” Rayhan mengambil cookies dan membuka bungkusnya.
Vania menoleh pada Okta, tangannya ragu namun ia sedikit tergoda dengan harum manis dari cookies yang menguar.
“Makan aja, tapi jangan kebanyakan.” Ujar Okta, memberi izin.
“Kaya emaknya aja lo, Ta!” ledek Ali pada Okta.
“Emang! Mau apa lo? Gangguin anak gue? Hadapin gue dulu!” jawab Okta dengan mengangkat lengan bajunya, seolah siap untuk beradu otot.
Pandu menggelengkan kepalanya, melihat tingkah kekasih dan sahabatnya yang tak pernah akur jika bertemu. Ia menahan bahu Okta, dan berkata. “Udah, Ta. Nggak usah diladenin. Nggak bakal menang adu bacot sama ni anak dajal.”
Dan seperti dejavu, rayhan dan Vania terdiam tak memperdulikan kehebohan yang lain. Rayhan memperhatikan wajah Vania yang terlihat berbeda jika berhadapan dengan makanan manis. Alisnya yang biasanya bertaut tegang, kini luruh. Senyum tipis menghiasi wajah cantiknya.
“Vania, gue boleh tanya gak?” ujar Rayhan, matanya kini beradu tatap. Hanya satu detik, tapi mampu terekam jelas di benaknya bersamaan desiran hangat di dadanya.
“Apa?” jawab Vania dengan suara pelan.
Rayhan menelan ludah dengan susah payah, seakan tenggorokannya kering kerontang. Menyiapkan kata-kata yang mungkin saja di tolak untuk kesekian kalinya.
“Gue ... boleh minta nomer hp lo gak?” tanya Rayhan, ada sedikit ragu di setiap katanya.
Vania terdiam, ia pun ragu untuk menjawabnya. Tangannya menggenggam bungkus cookies dengan gelisah. Sekelebat bayang wajah Jalu terlintas, ia takut jika dekat dengan sembarang pria, akan membuatnya salah paham menyesal.
“Buat apa?” tanyanya memastikan.
“Iya sekedar bertukar kabar, mungkin lo butuh ojek dadakan seperti tadi pagi,” jawab Rayhan berusaha meyakinkan.
Vania menggigit bibir mungilnya, seolah kata yang akan terlontar begitu berat. Lalu, Vania menatap Rayhan yang terlihat sedang menahan napas.
“Boleh ...” ucapnya pelan.
Mata Rayhan membelalak, senyumnya merekah dengan sempurna.
“YESS!!” seru Rayhan dengan melayangkan tinjunya ke udara, seolah baru saja mendapatkan lotre.
Satu kata “boleh” sukses membuat Rayhan merangkai kemungkinan kedepannya. Mungkin, suatu saat, giliran perasaannya yang akan diterima oleh Vania. Hanya dengan membayangkannnya, hari-harinya terasa penuh dengan bunga-bunga.
Bagus k, saya suka yg temanya sekolahan gini. jadi kangen masa” skolah 😄
aww gemes ih